Aktivis perempuan dan akademisi sosial telah mempersoalkan berita-berita kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sejak pertengahan 1990-an. Saat itu, penggunaan internet belum seperti saat ini sehingga yang disoroti adalah berita-berita di media cetak yang menggunakan diksi yang bias dan merugikan perempuan dan anak.
Studi-studi terhadap media cetak didapatkan sejumlah istilah dan diksi yang diciptakan oleh jurnalis untuk menggambarkan kekerasan seksual, namun sebagian dari istilah dan diksi menempatkan korban sebagai orang yang terhukum. Sementara di sisi lain, pelaku justru mendapatkan perlindungan dari berita.
Setelah lebih dari 20 tahun berlalu, apakah media massa telah membuat berita yang lebih baik? Tentu ada ada kemajuan, apalagi sekarang ini terdapat sejumlah media alternatif yang diterbitkan secara online yang menggunakan istilah dan diksi yang lebih baik.
Namun, sebagian media cetak masih menggunakan istilah dan diksi seperti 20 tahun yang lalu. Ini dilihat dari analisis media cetak di beberapa wilayah di kawasan timur Indonesia, yang dilakukan oleh Yayasan BaKTI. Dalam sebuah program, Yayasan BaKTI menganalisis 21 media cetak yang terbit di Ambon, Mataram, Lombok Timur, Kupang, Kendari, Parepare, Palopo, dan Makassar.
Selama lima tahun (2015-2019), dikumpulkan 1.314 berita mengenai kekerasan terhadap perempuan, sebanyak 80 persennya adalah berita kekerasan seksual. Jumlah ini cukup tinggi karena beberapa media hampir tiap hari memberitakan kekerasan terhadap perempuan.
Diksi bias dan menjauhkan
Namun, jumlah berita kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi di media, tidak selalu menguntungkan perempuan. Sebagian besar berita sangat bias dan menjauhkan pembaca dari fakta sebenarnya.
Berita-berita kekerasan seksual yang dipilih untuk dianalisis umumnya masih menggunakan diksi atau pilihan kata yang merugikan perempuan sebagai korban. Diksi untuk peristiwa kekerasan seksual, masih menggunakan kata-kata: “pelecehan,” “cabul,” “setubuh,” “digilir,” “digagahi,” “ditiduri,” dan sejumlah kata yang mengaburkan peristiwa kekerasan seksual. Diksi untuk korban juga menggunakan kata-kata yang menempatkan korban pada posisi dirugikan, misalnya “gadis,” “gadis belia,” “gadis polos,” “anak baru gede,” dan “gadis ABG.” Sedangkan diksi untuk pelaku adalah diksi yang sudah umum, sebagiannya merupakan bahasa resmi hukum, seperti “tersangka” dan “terdakwa.”
Ada sebuah berita dijuduli “Lagi, Siswi di Lotim Diduga Alami Pelecehan Seksual”, padahal berita ini adalah perkosaan yang dilakukan oleh tiga pemuda. Si jurnalis menggunakan kata “pelecehan seksual” pada judul berita maupun di dalam isi berita. Istilah lain yang digunakan adalah “digilir”, ABG, dan gadis ABG.
Istilah “pelecehan seksual” yang digunakan oleh jurnalis dan penegak hukum tidak tepat untuk menjelaskan kekerasan seksual atau gangguan seksual, sebagaimana di dalam bahasa Inggris disebut sexual harassment. Istilah yang tepat adalah perundungan dari kata rundung yang artinya ‘mengganggu, menggoda, dan usilan’. Perundungan seksual atau sexual harassment adalah tindakan yang mengganggu, menggoda, atau mengusil yang berbau seksual, seperti berbicara/bercanda, bersiul, memberi tanda, atau bahasa tubuh yang berbau seksual, sengaja menyentuh bagian vital, mengirim SMS/gambar porno, memperlihatkan kelamin.
Diksi Kekerasan Seksual | Diksi untuk Korban | Diksi untuk Pelaku |
· Cabul, cabuli, pencabulan, mencabuli. · Pelecehan, pelecehan seksual · Setubuh, setubuhi, menyetubuhi, persetubuhan · Digilir · Digagahi · Ditiduri · Aksi tak senonoh, senonoh · Asusila · Melayani nafsu · Melampiskan nafsu birahi · Diperkosa, memperkosa | · Korban · Gadis · Gadis belia · Gadis polos · Gadis di bawah umur · Anak baru gede, Gadis ABG · Anak di bawah umur · Anak usia TK · Siswi · Pelajar putri · Siswi gangguan mental · Wanita · Perempuan
| · Pelaku · Tersangka · Terdakwa · Pemuda · Pemerkosa · Pelaku pemerkosa · Pria bejat · Tua bangka · Duda · Lelaki paruhbaya · Si pacar korban
|
Namun, peristiwa di dalam berita berjudul “Lagi, Siswi di Lotim Diduga Alami Pelecehan Seksual” tidak bisa disebut sebagai perundungan seksual. Berita tersebut adalah kekerasan seksual atau perkosaan. Jika penulis ingin mempertegas bahwa peristiwa itu adalah kejahatan yang merendahkan martabat kemanusiaan, lebih bijak menggunakan istilah kekerasan seksual terhadap anak, kekerasan seksual terhadap siswi, perkosaan terhadap anak, perkosaan terhadap remaja perempuan, atau perkosaan terhadap siswi.
Berita tersebut juga menggunakan istilah “digilir”, “ABG,” dan “gadis ABG”. Istilah “digilir”, sebagaimana istilah “digagahi,” “ditiduri,” dan “melayani nafsu,” adalah pilihan kata yang amat menjauhkan pembaca dari kenyataan dan semakin mereduksi fakta yang sesungguhnya perihal tragedi perkosaan. Tindak kejahatan perkosaan dikesankan sebagai perbuatan yang normal saja, bukan suatu tindak kejahatan yang menjadi tragedi menyedihkan, memilukan, dan tak terlupakan bagi korban. Perkosaan digambarkan hanya sebagai peristiwa sederhana, biasa, main-main, remeh atau bahkan peristiwa biasa. Berita perkosaan kemudian berubah menjadi berita hiburan segara bagi pembaca (Abar, 1998).
Istilah “ABG,” dan “gadis ABG” adalah akronim dari anak baru gede yang merupakan bahasa gaul. ABG atau gadis ABG juga merupakan kata-kata yang peyoratif, dan digunakan untuk menghina perempuan remaja yang disebut sebagai perempuan sulit diatur. Penggunaan istilah atau kata-kata “pelecahan,” “digilir,” “ABG,” dan “gadis ABG,” serta isi berita ini terkesan menggiring pembaca membuat stereotip dan penghakiman kepada korban. Tidak ada penegasan di dalam berita mengenai kekerasan seksual atau perkosaan.
Berita mengenai kekerasan seksual banyak sekali menggunakan kata “cabul” dan “pencabulan”. Penggunaan diksi “cabul,” dan “pencabulan” ini terasa menyederhanakan fakta kekerasan seksual, seperti perkosaan. Kata cabul mengasosiasikan orang pada perbuatan asusila, tidak senonoh, tidak sopan, atau tidak patut. Padahal kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap fisik, psikis, dan harga diri.
Pembaca bisa terkecoh dengan kata-kata “cabul,” “pencabulan,” “digagahi,” “ditiduri,” dan “melayani nafsu,”. Kekerasan seksual, apalagi terhadap anak yang pelakunya orang dewasa, bisa dimaknai sebagai perbuatan biasa saja karena kata-kata yang digunakan jurnalis dalam mengemas berita menjadi peristiwa kejahatan menjadi peristiwa biasa. Berita juga menggunakan istilah “spontan” seakan-akan kekerasan tersebut terjadi secara kebetulan, padahal pemerkosaan terjadi berulang-ulang.
Dalam perspektif hak dan perlindungan anak, setiap perlakuan seksual terhadap anak adalah kekerasan. Sebab, orang dewasa mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memaksa, membujuk, melakukan tipu muslihat, melakukan kebohongan, dan memanfaatkan kerentanan anak (Kordi, 2015).
Berita perkosaan juga menggunakan kata “setubuh,” “menyetubuhi,” dan “persetubuhan”. Kata “setubuh” berarti berhubungan badan atau bersanggama. Kata “bersetubuh” atau “persetubuhan” bermakna hubungan badan tanpa kekerasan. Karena itu jika digunakan untuk menjelaskan peristiwa tragis semacam kekerasan seksual atau perkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan, akan mereduksi peristiwa, menyederhanakan fakta, dan menjauhkan pembaca dari kejadian sebenarnya.
Menurut Akhmad Zaini Abar, bagi kaum perempuan, terutama mereka yang menjadi korban perkosaan, penggunaan diksi yang demikian sesungguhnya semakin menempatkan kaum perempuan ke dalam kelompok yang tidak berdaya dalam struktur kekuasaan laki-laki. Sebab, berbagai kekerasan terhadap kaum perempuan, seperti perkosaan, dibahasakan secara halus dalam jurnalisme (yang maskulin). Akibatnya, apa yang menjadi tragedi bagi kaum perempuan tidak direkonstruksi secara utuh dalam bahasa pers dan, sebaliknya, justru cenderung berubah menjadi hiburan semata.
Dengan demikian, selain tidak edukatif, berita perkosaan dengan diksi-diksi tersebut sulit melahirkan keprihatinan, empati, dan simpati masyarakat terhadap korbannya. Sebab, masyarakat beranggapan bahwa perkosaan dianggap sesuatu yang biasa, remeh, dan lucu. Akhirnya, berita-berita perkosaan hanya akan menumpulkan daya kritis dan rasa solidaritas kemanusiaan pembaca terhadap perempuan-perempuan korban perkosaan.
Kekerasan seksual adalah peristiwa tragis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apalagi pelaku kekerasan seksual umumnya adalah orang dekat. Dari 10 berita kekerasan seksual yang menggunakan istilah-istilah yang sangat merugikan perempuan, hanya satu kasus kekerasan seksual yang korban tidak mengenal pelakunya. Di sembilan berita lainnya, pelaku adalah orang dekat dan mengenal korban, termasuk orang yang seharusnya melindungi korban.
Berita-berita kekerasan seksual yang dianalisis umumnya sudah menggunakan nama inisial, tidak memuat foto korban, dan pelaku anak. Namun, masih ada berita yang mencantumkan alamat korban sehingga bisa ditebak atau diketahui oleh pembaca.
Beberapa berita, dalam jumlah kecil telah menggunakan kata perkosaan atau pemerkosaan, walaupun masih dicampur aduk dengan kata “pencabulan” dan “persetubuhan”. Namun, kata “kekerasan seksual”, dan “kejahatan seksual” tetap tidak digunakan. Jurnalis tampaknya terpengaruh dengan aturan hukum di dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan KUHP yang juga mencampur aduk penggunaan istilah “perkosaan,” “kekerasan,” “pencabulan,” dan “persetubuhan.”.
Ketika DPR RI menghentikan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, maka harapan untuk penggunaan bahasa yang melindungi korban pun semakin jauh.
BACA JUGA Menjawab Release KAMMI Pusat yang Menolak RUU PKS
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.