Pendekar Kopi, Pengacau Kafe dan Musuh Abadi para Barista Seluruh Dunia

Jangan Jadi Barista. Gajinya Kecil, Gengsinya Tinggi, Nggak ada Jenjang Karier pula! pendekar kopi

Jangan Jadi Barista. Gajinya Kecil, Gengsinya Tinggi, Nggak ada Jenjang Karier pula! (Unsplash.com)

Jadi barista itu susah. Harus ramah, harus bikin kopi enak (ini wajib), dan harus berhadapan dengan manusia-manusia yang kesombongannya sudah nyenggol langit. Salah satu orang sombong yang harus dihadapi barista adalah pendekar kopi.

Pendekar kopi itu kira-kira begini. Mereka mengaku expert di bidang kopi, tapi sebenarnya ya kosong. Nggak sejago itulah pokoknya. Pendekar kopi ini hanya segerombolan orang bermodalkan kenal dengan beberapa owner kedai kopi, atau beberapa barista dan roaster yang kemudian merasa sudah paling jago karena sering diajak ngobrol perihal kopi oleh kenalannya tadi. Biasanya mereka akan mendatangi kedai-kedai kopi kecil atau yang baru buka untuk unjuk gigi.

Pendekar kopi ini, biasanya dibenci barista. Ya wajar lah, sifatnya menyebalkan. Kenal kagak, kritiknya kenceng.

Tapi, biar kebencian barista bisa dilihat dalam perspektif yang lebih masuk akal, saya ceritakan beberapa hal yang bisa bikin kalian paham.

“Harusnya pakai susu merek Yamaha!”

Teman kerja di kedai tempat saya kerja dulu cerita, kalau dia pernah kedatangan pendekar kopi. Orang ini datang, dan menanyai merek susu yang dipakai di kedai tersebut. ketika dijawab, eh pendekar ini bilang kalau susu merek tersebut, lebih enak susu merek lain.

Padahal, yang direkomendasikan oleh si pendekar tersebut malah jelas nggak cocok buat kopi. Teman saya sih cuman meringis melihat jurus cocot pendekar tersebut yang gagal. Setelah adu argumen perkara susu, tau apa yang dipesan pendekar tersebut?

Ice americano. Terserah dah.

“Gini-gini saya pencinta kopi, Mbak”

Cerita kedua adalah pengalaman saya sendiri. Saya kedatangan seorang pendekar kopi yang cukup stylist dan mengaku teman dari barista di kedai kopi ternama di daerah tempat saya bekerja. Ketika sampai pendekar kopi tersebut langsung memesan espresso. Saya pun menanyai apakah dia sudah tahu dan pernah mencoba espresso sebelumnya. Takutnya jika belum pernah mencoba nanti dia tidak bisa menikmati pesanannya karena lidah yang belum terbiasa dengan kentalnya rasa kopi pada espresso. Namun sayang, niat baik saya malah dijawab dengan tidak menyenangkan.

“Mba jangan remehin saya ya, gini-gini saya pencinta kopi.” Widih, ampus bon.

Baca halaman selanjutnya

Minta espresso, berakhir americano

Baiklah, setelah mendapat kalimat seperti itu saya langsung membuatkan pesanannya, kemudian mengantarkan ke meja pendekar kopi tadi. Ketika pesanan sampai, wajah pendekar kopi tersebut sedikit kebingungan karena yang tersaji hanya gelas kecil berisi espresso dan segelas air hangat. Dia pun bertanya kepada saya, “Memang begini ya penyajian espresso di sini?” Saya mengangguk dan menjawab rata-rata di kedai kopi lain pun memang begitu penyajian espresso.

Mungkin lebih kurang lima menit saya meninggalkan si Pendekar Kopi, kemudian sudah bertemu lagi di bar karena dia ingin meminta gula cair. Saya mengiyakan permintaannya dan menyuruhnya untuk menunggu di meja karena gula cairnya akan diantarkan.

Kalian tahu bagaimana kondisi espresso tadi? Akhirnya menjadi americano panas.

Ketua geng pendekar kopi berbagi resep V60 dari neraka

Terakhir, cerita saya dan suami yang kedatangan segerombolan bapak-bapak dari pusat kota. Salah seorang bapak yang terlihat seperti ketua geng pergi ke bar, berniat ingin memesan manual brew. Sebelumnya dia mengatakan kalau berteman dekat dengan salah satu roaster dan headbar kedai kopi terbesar di pusat kota. Dia mengatakan dengan percaya diri ingin memberi tahu resep V60 yang enak dan harus dibuatkan seenak itu. Katanya ini resep dari temannya tersebut.

Akhirnya saya iyakan, dan beliau menjelaskan bahwa biji kopi harus digiling halus, suhu 40°C, dan diseduh selama 4 menit. Saya dan suami pun cukup kaget mendengar penjelasannya. Ingin sekali rasanya menjelaskan bagaimana gilingan, suhu, dan waktu penyeduhan yang efektif dalam membuat V60. Namun, karena si Bapak tidak mau dibantah, akhirnya saya turuti permintaanya. Alhasil kopi yang diseduh terasa sangat pahit dan mengganggu di lidah. Bapak tersebut menghabiskan kopi terenaknya dengan bantuan dua botol air mineral.

Nah, dari tiga cerita di atas bisa dilihat betapa menyebalkannya pendekar kopi ini dengan sifat mereka yang terlalu sombong. Padahal di setiap kedai kopi tentu saja memiliki standar minumannya tersendiri, memilih bahan-bahan yang sudah dikalibrasi terlebih dahulu sehingga menghasilkan minuman dengan ciri khas. Cukup dinikmati saja, nggak usah rewel.

Buat pendekar kopi di luar sana, jangan terlalu menganggap remeh seorang barista di balik bar sebuah kedai kopi. Mereka pastinya sudah dibekali ilmu tentang kopi sebelum akhirnya ahli dalam membuat kopi. Bukan hanya sekedar ilmu yang didapat dari obrolan selintas.

Kalau mau diskusi, diskusi aja. Nggak usah nyolot gitu lah. Lagian pendekar kok minta gula.

Penulis: Zuinal ‘Aini
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Celaka, di Warmindo Tak Ada Manual Brew!: Secanggih Apa pun Lidahmu, Kopi Saset Tetaplah yang Jadi Juara

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version