Ketika melakukan rutinitas, rebahan misalnya, pastinya kamu pernah tiba-tiba seperti ada yang meraba-raba, gremet-gremet, atau bahkan cekit-cekit di salah satu bagian tubuhmu. Lalu, saya bisa jamin, secara spontan, tanganmu langsung mendatangi area tersebut. Setelah itu, tangan itu kamu angkat, dan boom! Di sana sudah ada sebujur bangkai semut yang tergeletak tak berdaya di telapak tanganmu. Pembunuhan kejam telah terjadi.
Sebenarnya saya nggak begitu tega melihat yang seperti ini (walaupun saya juga pernah, bahkan sering melakukannya). Apalagi ketika ada banyak semut yang berkerubung, tiba-tiba datang semprotan (bukan gas air mata) menghujani mereka. Yang ini malah lebih kejam, lha wong dia tidak bersalah, kok. Mereka cuma numpang untuk tinggal, lewat, dan terkadang juga mencari makanan.
Ketidaktegaan saya ini bukannya tidak masuk akal. Mereka para semut itu berbaris ke mana-mana sebenarnya ya seperti kita ini: mencari makanan, walaupun terkadang kesasar di tubuh kita. Kedatangan mereka ke tubuh kita ini sebenarnya terkadang juga memberi peringatan kepada kita. Ya, sudah waktunya mandi!
Lalu, mengapa saya sebut pembunuhan kejam? Alasannya jelas, semut merupakan hewan yang lumayan kecil jika dibandingkan dengan gajah (ya-iya-lah). Walaupun, di dunia perainan suit semut—yang diwakili jari kelingking—tetap menang melawan gajah—yang diwakili jari jempol. Namun, semut tetaplah hewan yang lemah. Terbukti dengan kalahnya jari kelingking melawan jari telunjuk yang mewakili manusia. Logika ini sebenarnya juga berlaku di dunia nyata, dengan catatan tidak ada yang membawa senjata yang bukan bawaan dari tubuh tiga makhluk ini.
Lanjut, di antara tiga makhluk ini, ternyata manusia adalah pemenang dalam kategori makhluk terkejam, terakus, dan terpelit. Manusialah yang paling sering melakukan pembunuhan terhadap semut dengan alasan mencuri makanan, ngrisih-ngrisihi, bahkan cuma dengan alasan “iseng”. Namun, nggak ada tuh kasus pembunuhan terhadap segerombolan manusia yang berjalan-jalan di hutan—tanpa mengancam gajah—oleh seekor gajah. Semut pun demikian, nggak ada tuh kasus semut tiba-tiba membunuh gajah dengan memasuki kuping, atau dengan cara yang lainnya, dengan alasan yang sama yang dipakai manusia.
Plis deh. Semut itu juga makhluk ciptaan Tuhan. Semua ciptaan Tuhan wajib kita kasihi. Mereka itu bahkan mengingatkan kita untuk bersedekah. Lagian, ternyata mereka itu pulang ke sarangnya kok setelah kenyang. Hal ini sudah saya coba. Ketika saya ngopi sambil nge-zoom: kuliah, segerombolan semut terlihat berbaris siap menyerbu kopi saya. Lalu, saya teringat Abah Guru Sekumpul yang rutin bersedekah dengan sesendok gula terhadap semut. Akhirnya, saya mengambil kopi sepucuk sendok dan saya tuangkan ke tempat lain. Benar saja, dengan sedikit gusahan, semut-semut ini pergi mendatangi sedikit kopi yang saya tuangkan. Mereka terlihat sangat gembira. Saya mengamati dengan teliti, saya lihat terus. Ternyata, semut yang sudah kenyang pergi meninggalkan pesta kopi ini dan digantikan semut lain yang mengantre di belakang (jangan bayangin ngantre memanjang seperti antreannya manusia, bukan seperti itu).
Bahkan, kita seharusnya bisa mengambil hikmah dari semut—dan semua yang ada di alam ini. Semut adalah cerminan kehidupan sosial yang sangat patut dicontoh. Mereka selalu mencari dan menikmati makanan bersama. Mereka juga sangat pintar dalam mengatur hidup, terbukti, mereka sangat giat bekerja bersama mencari makan lalu menyimpannya sehingga tidak akan ada lagi yang namanya “krisis makanan” atau kasus “gizi buruk” di dunia persemutan, walaupun di tengah pandemi seperti saat ini. Hehehe.
Pembunuhan kejam terhadap semut dengan alasan sepele adalah hal yang sangat tidak manusiawi, eh, semutiawi. Ya, mereka makhluk kecil yang cuma ingin makan dan memperbanyak keturunan. Iyaaa sama seperti kita. Untuk itu, Mylov, jangan pernah membunuh semut dengan alasan sepele apalagi dengan alasan cuma iseng. Jangan! Jangan diteruskan, Mylov. Imam Ghozali saja, salah satu hal yang bisa membuat beliau masuk surga, adalah membiarkan semut minum tintanya saat beliau tengah asik menulis. Jadi, dengan bersedekah, atau membiarkan semut—dan semua makhluk—tetap hidup adalah kebaikan yang pahalanya tidak bisa disepelekan.
Satu hadis penutup, “Irhamu man fil ardli yarhamkum man fis sama” (“Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.”) HR. Abu Dawud dan Timidzi.
Photo by Sebastian Stam via Pexels.com
BACA JUGA Bukan Benci, Ada Alasan Kenapa Perlu Mengusir Kucing dari Rumah dan tulisan Muhammad Rizqi Hasan lainnya.