Tuhan menciptakan Bandung ketika Dia tersenyum. Sementara itu, Jogja, konon katanya, berhasil membuat Tuhan tersenyum. Nah, untuk kamu yang lebih suka tersenyum ketimbang membenci, Tuhan menciptakan Pekalongan.
Sudah 24 tahun saya tinggal di Pekalongan. Selama itu, saya tidak pernah sekali saja merantau. Dan selama itu pula, saya hampir tidak pernah melihat kekerasan terjadi di kota ini.
Iya, saya menggunakan kata “hampir” karena tidak mungkin benar-benar bersih. Namun, jika boleh membandingkan dengan daerah lain, tingkat kekerasan di Pekalongan sangat rendah. Rasanya selalu adem dan ayem di kota ini.
Jadi, tidak heran jika Ki Cempaluk memilih daerah Kesesi sebagai tempat menyepinya setelah purna tugas dari Mataram. Daerah ini memang sedamai itu.
Geografis Pekalongan yang menyenangkan
Secara geografis, Pekalongan memiliki gunung dan laut. Gunung di daerah selatan dan laut di utara. Namun, keduanya termasuk ke wilayah kabupaten. Yang sedang saya tulis adalah bagian kotanya. Yah, anggap saja, secara batiniah, kabupaten dan kota masih satu kesatuan. Aku wong Kalongan, koe wong Kalongan.
Yang menyenangkan bagi anak-anak muda adalah di Pekalongan ada banyak tempat menepi. Pengin ke pantai, tinggal datang ke Slamaran, Pantai Sari, Wonokerto, atau Siwalan. Mau lihat ijo-ijo, tinggal ke Petungkriyono, Lebakbarang, Paninggaran, dan masih banyak yang lainnya.
Budaya dan masyarakat yang mencerminkan kedamaian
Kita sama-sama mengenal Pekalongan sebagai kota batik. Nah, aktivitas membatik sendiri lekat dengan ketenangan. Melihat ibu-ibu pembatik canting dengan lembut, sebelum menggoreskannya ke kain, pranggok-pranggok yang mengepul, membuat mata ini jadi adem.
Selain kota batik, Pekalongan punya atribusi baru, yakni kota salawat. Status ini muncul seiring dengan menjamurnya majelis-majelis salawat. Tentu yang terbesar ada di Gedung Kanzus Sholawat, asuhan Habib Luthfi bin Yahya.
Energi menenangkan di Pekalongan
Di pelosok-pelosok, barzanji, diba’, simtudduror, dan burdah sudah akrab di telinga kami. Apalagi kalau bulan maulid tiba. Hampir setiap hari, kitab-kitab yang menerangkan Nabi Muhammad SAW itu terbaca di berbagai majelis maupun musala.
Menurut para ulama, yang saya tahu, energi salawat adalah sebagai energi yang menenangkan. Berbeda dengan wirid yang katanya bisa membuat badan panas atau bahkan mudah emosi jika dibaca melebihi dosisnya apalagi tak ber-sanad.
Oleh karena itu, tak heran jika di Pekalongan, hal-hal berbau kekerasan sulit berkembang. Wong secara historis, geografis, sampai budaya saja mendukung ke arah ketenangan, kok.
Walhasil saya berkesimpulan. Tuhan menciptakan Pekalongan untuk kamu semua yang lebih suka tersenyum, bukan membenci.
Penulis: Aghistna Moh Ibrahim Sulaiman Al Warist
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Hidup di Kota Pekalongan Itu Menyenangkan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















