Kalau bicara mural, sebenarnya sudah jadi hal yang biasa saja. Gambar dengan media tembok dan cat ini punya tempat tersendiri dalam peradaban. Bahkan sejak era pra-peradaban, mural sudah dikenal dan jadi legacy tersendiri. Apalagi bicara mural politik dan kritik, boleh dibilang setua peradaban ini sendiri.
Tapi, orang gumunan memang tidak mengenal perjalanan sejarah. Dan tidak kenal posisi dan jabatan. Perkara mural kritik kali ini membuat Mas Faldo Maldini gumun. Bahkan saking gumun alias terkejutnya, opini Mas Faldo ini jadi offside.
Yang dimaksud adalah mural kritik kepada Presiden Joko Widodo. Mural di Batuceper, Tangerang ini memang multitafsir. Meskipun sudah jelas tujuannya kritik. Karya dengan gambar serupa dengan Presiden Jokowi ini dilengkapi tulisan “404: Not Found”.
Entah artinya Jokowi tidak bisa ditemukan, atau janjinya tidak diketahui implementasinya, semua tergantung sudut pandang. Tapi, sudah jelas tujuan mural ini untuk mengkritik Jokowi. Sayang sekali karya ini sudah “ditutup” dengan cat oleh aparat. Menurut penjelasan kepolisian, mural tersebut merendahkan presiden yang juga menjadi lambang negara.
Perkara hukum tidak akan saya bahas. Toh urusan mural tanpa izin memang melanggar hukum. Dan kalau bicara kritik pada pemerintahan, wajar saja jika ada upaya pembatasan seperti ini. Tapi, saya tertarik pada opini Mas Faldo Maldini terhadap karya ini.
Mas Faldo menekankan bahwa beliau tidak mempermasalahkan isi konten dalam karya tersebut. Pasalnya, kata Faldo, selama ini berbagai kritikan pada presiden dibalas dengan perbaikan kinerja. Tapi, yang ditekankan Mas Faldo adalah tindakan tanpa izin.
“Sekali lagi, saya minta maaf, agak keras. Yang jadi masalah, bukan konten atau kritiknya. Kritik selalu dijawab dengan kinerja yang baik. Tapi ini tindakan yang sewenang-wenang. Setiap warga negara harus dilindungi dari tindakan dengan sewenang-wenang,” tegas Faldo.
Mas Faldo mempermasalahkan bahwa pembuat karya tidak memiliki izin. Sehingga karya tersebut tidak pantas untuk tampil. Dan menurut Mas Faldo, pembuatan karya ini sewenang-wenang dan setiap warga negara harus dilindungi dari tindakan ini.
Kalau dibilang offside, ya jelas offside. Apalagi ketika ujaran ini disampaikan Stafsus Mensesneg. Mas Faldo ini menjadi representasi pemerintahan lho. Opininya seperti mewakili opini pemerintah. Lha kok sampai membuat statement berputar-putar dan bisa ditertawakan ini.
Memang menurut KBBI, sewenang-wenang berarti tidak mengindahkan hak orang lain. Dan tindakan seperti mural ini bisa digolongkan sebagai vandalisme yang melanggar hak orang lain. Tapi, lucu juga ketika Mas Faldo menggunakan istilah ini untuk membahas perbuatan rakyat. Toh akar kata tadi adalah wenang yang lebih dekat dengan pemilik hak dan kekuasaan.
Tapi, yang lebih lucu dari ini adalah logika ini patut dikecam karena tanpa izin. Menurut Mas Faldo, mural kritik bisa diterima selama dengan izin dari yang berwenang. Lha ini lho logika lucunya. Menuntut mural kritik mengantongi izin sama seperti menuntut maling untuk lapor RT RW sebelum beroperasi.
Tujuan karya yang dikecam ini memang kritik. Dan kritik yang disampaikan memang pedas dan “kasar”. Lha kalau pakai izin, berapa banyak pantangan yang diterapkan pada si pembuat karya. Bisa-bisa karya yang dihasilkan adalah mural berwajah tokoh dengan quote “Kepak Sayap Kebhinekaan”.
Pertama, kita perhatikan fungsi mural dalam peradaban. Karya ini punya dampak untuk membawa karya seni ke ruang publik. Untuk urusan ini, mural memang sering berizin bahkan berdasar pesanan pihak tertentu. Kedua, karya ini menjadi alat efektif untuk mencapai tujuan politis. Lahirnya mural politis ini memang sering melanggar hukum, apalagi jika yang dikritik adalah pihak otoritas. Tentu dengan tetap menjaga nilai seni di dalam karya ini.
Sejak era Romawi klasik, mural sudah jadi alat politik untuk menyampaikan kritik. Dan berbagai belahan dunia menyimpan karya kritik serupa. Beberapa sangat legendaris, misalnya karya si misterius Banksy. Tapi, untuk apa mencari contoh dari belahan dunia lain, kalau mural politik dan kritik juga dibuat oleh pahlawan kemerdekaan kita.
Dari tulisan “merdeka ataoe mati” sampai gambar gerilyawan menyerang tentara Belanda tersebar selama revolusi fisik. Dari tembok sampai gerbong menjadi media menyebarkan karya ini. Nah pertanyaannya, apakah para pejuang mendapat izin dari Belanda untuk membuat karya semacam ini?
Tentu saja tidak! Apakah Belanda senewen dengan karya ini? Tentu saja iya. Tapi, inilah tujuan mural kritik: untuk membuat pihak yang diserang tidak nyaman serta terbuka matanya. Di satu sisi, masyarakat ikut memahami isu yang disampaikan.
Meminta izin untuk membuat karya kritik jelas membuat ribet si seniman. Dari pembatasan ini itu, perizinan, sampai birokrasi pasti menjadi perkara baru. Padahal isu yang dikritik lewat karya ini terus berjalan dan terlewat dari radar masyarakat. Kan tidak lucu, mural kritik batal dibuat karena “Mas, fotocopy KTP-nya tidak jelas” sambil memasang wajah cengoh menyebalkan.
Mas Faldo perlu memahami kenapa karya kritik ini tidak berizin. Dan kalau memang setiap kritik dibalas perbaikan kinerja, kenapa harus marah-marah pada sebuah karya. Malah bagus dong, karya ini bisa dibalas kinerja terbaik pemerintahan. Kalau menurut logika Mas Faldo sih.
BACA JUGA Sulitnya Menjadi Fans SID dan JRX di Masa Pandemi dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.