Sebagaimana orang-orang yang berada dalam tahap perkenalan, mengajak jalan gebetan adalah kewajiban. Namun, tidak semua pejuang cinta berani mengajak secara terang-terangan. Sama seperti si doi. Baru beberapa minggu bertukar pesan, jurus andalannya langsung dikeluarkan. Dia meminta saya untuk mengajarinya akuntansi. Ceilah bisa aja Kang Ojek. Padahal PDKT saya dengannya bisa dibilang agak amburadul karena kami berujung tidur di masjid.
Sebagai perempuan, saya harus jual mahal dahulu dong saat diajak ini itu, gengsi kalau langsung mengiyakan, kok kesannya saya gampangan. Pesan yang dikirimnya tidak langsung saya balas, tapi saya endapkan selama tujuh jam. Soalnya saya tahu di balik alasan dia mengajak belajar, sebenarnya dia juga ingin mengajak jalan. Ketebak, Boy.
Malam harinya, saya yang biasanya tidak mandi sore langsung membersihkan diri dan sedikit memoles wajah dengan bedak. Bibir saya yang pucat saya warnai dengan lip cream. Walaupun nanti ketika bibir saya bersentuhan dengan air bisa menyebabkan lip creamnya memudar, tapi nggak apa-apa asal tampilan awal saya enak dipandang. Sial, doi punya magnet kali ya, bisa-bisanya menarik perhatian dan membuat saya melakukan hal-hal yang jarang saya lakukan.
Doi menjemput saya tepat di depan kos dengan motor matic-nya. Jujur saja saya sedikit canggung ketika di hadapannya, padahal setiap hari kami bertemu dan bertatap muka dalam ruang yang sama, namun kali ini rasanya berbeda. Kalau di dalam kelas kita sukar bicara, karena waktu yang sempit. Di sini kami bisa mengobrol sepuasnya.
Ketika saya duduk di jok motornya, hal pertama yang saya lakukan adalah memegang pundaknya biar nggak jatuh. Kalau di sinetron dan FTV, si cewek akan mengalungkan tangannya di perut cowoknya. Sedang dagunya ditempelkan di bahu sang cowok, lalu si cowok ini akan melihat ceweknya dari kaca spion. Sesekali dia mengusap lembut tangan ceweknya yang melingkar di perutnya. Sepertinya nyaman sekali ya, eeeh jangan halu deh.
Hampir sepuluh menit berkendara mengitari jalan Slamet Riyadi tak ada tempat yang cocok untuk singgah. Akhirnya saya memberi opsi ke angkringan Wedang Paito. Tepatnya di belakang Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Kartasura. Tempat itu memang menjadi andalan untuk nongkrong karena posisinya yang berada di pinggir jalan raya dan yang pasti buka sepanjang malam. Nggak, tentu saya nggak langsung ngajak tidur di masjid, edan po.
Saya kemudian memilih tempat di pojokan, agar nanti walaupun banyak orang berdatangan tidak terlalu berdampak pada kegiatan “pacaran belajar” kami.
Saat saya dan doi asyik mengobrol, tiba-tiba Doi mendapat video call dari teman-teman laki-laki sekelas kami. Mereka mengatakan sedang berada di tempat yang tidak jauh. Mati saya, apa jadinya besok di kelas kalau ada yang tahu saya jalan berdua dengannya.
Sebagai upaya pengelabuan isu, saya disuruh berjalan duluan ke luar dan menunggunya di motor. Beberapa menit kemudian dia datang, tapi dibelakangnya ada teman-temannya. Wajah saya langsung pucat pasi, seperti habis ketahuan melakukan hal yang dilarang. Namun, mereka berusaha memecah ketegangan itu dengan menggoda kami, alhasil saya cuma bisa nyengir kuda.
Seusai acara nongkrong itu, doi bergegas mengantar saya sampai depan kos. Gerbang kos sudah tertutup rapat, oh iya saya baru ingat kalau kos saya ada jam malamnya yaitu sampai pukul sepuluh malam dan saat itu sudah menunjukkan tengah malam. Lebih gobloknya, saya lupa membawa kunci gerbang utama.
Saya membuat pengumuman di grup penghuni kos, barangkali ada yang belum tidur dan membawa kunci gerbang utama. Hasilnya ada satu yang belum tidur, tapi dia tidak membawa kunci gerbang. Sama aja dong.
Saya menyerah dan terduduk di kursi depan kos. Si doi ikut duduk di samping saya sambil memikirkan tempat yang aman dan nyaman untuk saya tiduri malam ini. Dia merasa bertanggung jawab karena telah membuat saya tidak bisa masuk kos.
Ada beberapa opsi yang dia tawarkan. Kebetulan kakak perempuannya adalah juragan kos sehingga dia menawari saya tidur di sana, namun kunci kamarnya harus diambil dahulu. Sebetulnya saya mau-mau saja, tapi yang saya pikirkan adalah, apa yang bakal kakaknya pikirkan ketika melihat si adik membawa perempuan malam-malam dan memintakan izin saya untuk menginap di kosnya? Oleh karena cukup beresiko, saya menolak.
Opsi kedua, doi menawarkan bagaimana kalau saya tidur di kos milik teman sekelas saya. Pasti akan lebih aman bukan? Tetapi, saya berpikir ulang, saya saja belum mengenal lebih dekat teman-teman perempuan saya kalau saya datang ke sana bersama doi berarti sama saja saya bunuh diri. Teman perempuan saya itu pasti akan bertanya banyak hal seperti polisi yang suka menginterogasi. Saya juga menolak opsi yang kedua ini.
Lalu dia menawari saya untuk tidur di kontrakannya. Memang dia akan memberi saya kamar khusus, sedangkan dia dan teman-teman yang lain akan tidur di luar, tapi tetap saja saya menolak. Siapa yang bisa menjamin kalau mereka tidak khilaf?
Opsi yang terakhir adalah dia menawari saya tidur di masjid. Saya berpikir agak lama. Sebab mata saya sudah sangat sulit diajak berkompromi, akhirnya saya mengangguk setuju pada opsi yang terakhir. Doi membawa saya ke masjid yang berada di Jalan Slamet Riyadi, Dusun III, Makam Haji.
Jadilah malam hari itu saya tidur di masjid dengan doi yang masih setia mendampingi saya hingga fajar menyingsing. Eits tapi jangan berpikiran aneh-aneh ya, kita jaga jarak kok! masa iya mau berbuat maksiat di masjid kan nggak lucu. Kami hanya tidur di masjid yang sama dan nggak aneh-aneh. Lagian masih PDKT juga, ah!
Sebenarnya pengalaman ini cukup konyol. Sebab, bisa-bisanya saya tidak memperhitungkan soal jam malam kos dan rencana cadangan seandainya saya kemalaman. Duh, namanya juga kencan pertama, banyak amburadulnya.
*Kencan Amburadul adalah segmen khusus, kisah nyata, momen asmara paling amburadul yang dialami penulis Terminal Mojok dan dibagikan dalam edisi khusus Valentine 2021.
Photo by Chansereypich Seng via Unsplash
BACA JUGA Tempat Pacaran di Jogja yang Sungguh Nrimo Ing Pandum atau tulisan Denies Vey lainnya.