Kekerasan pada perempuan yang terjadi di dunia nyata adalah masalah serius terhadap martabat kemanusiaan, yang sampai saat ini tidak tertangani dengan serius. Masih banyak korban kekerasan tidak berani melaporkan kasusnya karena menganggap membuka aib pribadi dan keluarga ke publik, di samping khawatir terhadap pemberitaan di media massa yang memojokkan.
Kasus-kasus yang dilaporkan pun tidak selalu selesai di ranah hukum. Bahkan korban kekerasan, terutama kekerasan seksual, mengalami kekerasan berulang karena aparat hukum yang tidak mempunyai perspektif terhadap perempuan dan terhadap korban. Korban yang seharusnya dilindungi, dikuatkan, dan dipulihkan, justru sebaliknya: makin distigma dan dicap sebagai perempuan tidak baik.
Akhirnya, banyak pihak pun ikut menyalahkan korban. Kebiasaan menyalahkan korban adalah sesuatu yang asli di masyarakat penganut tradisi “bapak benar” alias patriarki. Perempuan dan anak adalah manusia yang harus patuh dan tunduk di bawah “bapak benar”. Karena itu, jika ada perempuan dan anak yang tidak berperilaku sesuai dengan tradisi “bapak benar”, berarti dia melawan budaya tersebut, dan itu salah.
Budaya “bapak benar” adalah budaya kekuasaan dan penundukan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan oleh bapak, laki-laki, dan mereka yang berpikir dan bertindak patriarkis. Budaya ini mengalami transformasi di dalam masyarakat modern. Ia telah beradaptasi dengan berbagai aturan dan perangkat informasi dan komunikasi yang lebih canggih hari ini.
Lihatlah postingan di media sosial yang umumnya menyeru kepada perempuan untuk tidak mengunggah (upload) dan memposting informasi dan foto yang berhubungan dengan masalah rumah tangga atau keluarga. Karena jika sampai terjadi, perempuan akan disalahkan dan dirundung.
Media massa yang diharapkan menjadi salah satu pilar dalam upaya penegakan Ham perempuan, pun sering memberitakan korban dalam posisi sebagai orang bersalah. Jurnalis yang tidak mempunyai perspektif HAM, perempuan, gender, dan korban tidak hanya membuat berita yang menempatkan korban sebagai tersudut dan terhukum, tetapi juga membangun persepsi baru untuk pembaca dengan menggunakan istilah yang menjadikan pelaku sebagai orang benar dan orang baik.
Media massa konvensional (cetak, radio, televisi) tidak hanya memberitakan fakta, tetapi juga menggiring audiens semakin menjadi “bapak benar”. Dengan memberitakan fakta saja, korban kekerasan berada pada posisi tersudut dan terhukum karena akan teridentifikasi dan diketahui oleh publik. Apalagi dengan menggunakan berbagai istilah yang menghukum korban dan menempatkan pelaku pada posisi benar dan baik, maka media berperan besar dalam membangun persepsi publik yang bias dan merugikan perempuan.
Kekerasan pada perempuan di internet
Kondisi menjadi semakin kompleks karena masyarakat juga terhubung dengan internet, di mana setiap orang di berbagai negara dan benua dapat terhubung dan berinteraksi tanpa batas. Media daring pun ikut menambah deretan kekerasan terhadap perempuan.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah mencatat kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber (KtP cyber) yang merupakan bagian dari kejahatan berbasis jaringan (cyber crime). Jika pada media konvensional, kekerasan di media hanya dilakukan oleh jurnalis, di internet setiap orang yang terhubung dapat melakukan kekerasan pada perempuan. Bahkan media sosial menjadi media baru bagi kekerasan pada perempuan.
Kekerasan pada perempuan di internet atau KtP cyber umumnya berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi dan kekerasan seksual. Beberapa bentuk kekerasan terhadap perempuan di media daring antara lain:
- Cyber harassment atau perundungan dan gangguan daring biasanya berbau seksual.
- Cyber grooming yakni memperdayai perempuan.
- Malicious distribution, atau penyebaran konten yang merusak reputasi korban, misalnya ancaman distribusi foto atau video pribadi di medsos atau di website porno.
- Revenge porn adalah bentuk khusus dari malicious distribution yang dilakukan dengan menggunakan konten pornografi korban atas dasar balas dendam.
- Cyber recruitment (rekrutmen daring), yaitu menghubungi, mengganggu, dan mengancam korban. Juga untuk trafficking atau perdagangan perempuan dan kejahatan lainnya.
- Cyber hacking atau penggunaan teknologi untuk mengakses suatu sistem secara ilegal dengan tujuan mengubah atau merusak reputasi korban.
- Morphin atau mengubah gambar atau video untuk merusak reputasi orang atau korban.
- Sexting atau pengiriman gambar atau video porno kepada korban.
Selain itu, ada praktik doxing yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu, yang kemudian mengarah pada persekusi dan kekerasan lainnya terhadap perempuan. Doxing (document tracing) adalah kegiatan mengumpulkan dokumen seseorang atau perusahaan, yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan kejahatan terhadap pemilik dokumen.
Sedangkan persekusi adalah perlakuan buruk atau penganiayaan secara sistematis terhadap seseorang atau kelompok, karena suku, agama, dan pandangan politik. Perempuan sangat rentan mengalami persekusi, baik karena jenis kelamin maupun suku, agama, dan pandangan politiknya.
Rekrutmen daring untuk trafficking perempuan dan anak semakin mudah karena jangkauan perekrut yang tidak dibatasi oleh daerah, negara, dan benua. Di sisi lain, pengguna medsos—yang rentan menjadi korban—dengan mudah terhubung dengan jaringan perekrut.
Internet menambah panjang daftar bentuk kekerasan terhadap perempuan. Perempuan yang mengalami kekerasan di dunia nyata, begitu mudah dipotret dan diunggah yang kemudian dikomentari oleh siapa pun. Tentu tidak semuanya bersimpati, tetapi ada yang merundung dan menyalahkan. Artinya, perempuan tersebut mengalami kekerasan di dunia nyata dan di dunia maya.
Karena itu, perhatian para pihak harus diarahkan pada internet. Kampanye dan edukasi harus diarahkan kepada pekerja media daring dan pengguna medsos. Pengguna medsos tentu lebih sulit dijangkau, diedukasi, apalagi diatur. Lebih sulit lagi karena masyarakat kita adalah masyarakat dengan tingkat literasi sangat rendah. Masyarakat kita adalah pembaca judul dan langsung membagikan, alias masyarakat berjari. Dengan jari itulah, pengguna medsos juga melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Namun, internet juga menjadi ranah baru bagi advokasi dan penulisan yang baik yang berperspektif perempuan, ditunjukkan dengan beberapa media daring yang telah memuat berita, tulisan, video, dan meme yang melindungi dan berpihak pada perempuan.
BACA JUGA Penelitian: Diksi Berita Kerap Menormalisasi Kekerasan Seksual pada Perempuan dan tulisan M. Ghufran H. Kordi K. lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.