Usaha Pak Midun adalah bukti bahwa Tragedi Kanjuruhan belum selesai, dan tuntutan serta perjuangan belum usai!
Di mana letak keadilan? Saya dan kalian jelas tak bisa menjawabnya dengan pasti. Keadilan mungkin saja terletak di bawah palu hakim saat persidangan. Dia juga bisa terselip di antara kalimat pada berkas-berkas di pengadilan. Atau, ia berada di tempat yang semestinya: hati nurani setiap manusia. Tapi, satu yang pasti, keadilan tidak tiba-tiba datang. Sama seperti cinta, ia harus diperjuangkan.
Miftahudin Romli atau yang akrab disapa Pak Midun, pria paruh baya yang memiliki misi mulia. Misi mencari “keadilan” selepas Tragedi Kanjuruhan. Sama seperti kita semua, blio juga tak tahu letak pasti dari “keadilan”. Ia akan mencarinya dengan teliti di sepanjang jalan Malang menuju Jakarta. Menggunakan sepeda tua yang telah ia modif sedemikian rupa, lengkap dengan replika keranda mayat sebagai pengingat. Tak hanya itu, Pak Midun juga ingin menagih bukti kepada negeri ini. Bahwa apa yang gurunya ajarkan bertahun-tahun silam tak hanya bualan belaka: di mata hukum, semua manusia setara.
Daftar Isi
Pak Midun dan usaha untuk tidak melupakan Tragedi Kanjuruhan
Usianya sudah menginjak 53 tahun. Tak lagi muda. Otot-ototnya sudah tak seperkasa sebelumnya. Tapi, tekadnya jelas jauh lebih bulat dari saya. Semangatnya pun lebih merah. Nuraninya jauh lebih putih dari kebanyakan orang-orang di luaran sana. Dengan aksinya bersepeda beratus-ratus kilometer, singgah di pelbagai stadion yang ia lewati, Pak Midun ingin menunjukkan bahwa perjuangan ini belum usai.
Dilansir dari Times Indonesia, “Melalui sepeda ini saya ingin berekspresi supaya masyarakat tidak melupakan Tragedi Kanjuruhan. Target saya sampai Jakarta pada 17 Agustus nanti atau bertepatan dengan Hari Kemerdekaan.” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Bagi saya, dalam misi ini, jarak bukanlah musuh utama. Lawan terbesar Pak Midun adalah cibiran dari mereka yang tak menyukainya. Saya yakin betul, tak semuanya pro dengan apa yang dilakukannya. Pasti akan ada segelintir orang yang tak menyukai apa yang ia lakukan. Mereka berusaha untuk memadamkan semangatnya. Berupaya untuk menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan akan berujung sia-sia.
Namun, pria yang juga bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Pariwisata Batu juga mendapatkan dukungan banyak pihak. Setidaknya dari para pencinta sepak bola yang masih waras. Terpenting adalah restu dari sang istri, Nowo Dyah Sihkanti, yang mengatakan sangat mendukung aksi yang dilakukan sang suami.
Itu semua sudah cukup untuk meyakinkan Pak Midun bahwa ia tak sendirian, di belakangnya ada ribuan, puluhan, bakan jutaan kepala yang siap mendukungnya. Doa-doa dirapalkan agak ia selalu mendapat lindungan dari Yang Maha Kuasa.
Mencoba merangkul semua elemen
Pak Midun memang bukan satu-satunya yang senantiasa berjuang untuk memperjuangkan hak para korban Tragedi Kanjuruhan. Kita juga mengenal Devi Atok, sosok Ayah yang kehilangan kedua putrinya di malam tersebut. Seperti tanpa lelah, keduanya tetap ingin mencari hal yang sampai saat ini masih belum ditemukan: keadilan.
Berat untuk diakui, tapi banyak elemen yang saat ini mulai terpecah. Di Malang sendiri, aksi-aksi perjuangan perlahan mulai meredup, hal ini sedikit banyak karena imbas ditangkapnya delapan suporter beberapa waktu silam. Sebagai Arek Malang, satu yang bisa saya pastikan bahwa masih ada dan masih banyak manusia yang tak kenal lelah memperjuangkan apa yang semestinya didapatkan.
Pun di media sosial, saat saya membaca sebuah twit yang berkaitan dengan tragedi ini, selalu saja ada suara-suara sumbang dengan tujuan memecah belah. Kembali, jika kasus ini tak diurus dengan sebaik dan sebenar-benarnya, bukan tak mungkin, ke depannya akan ada Tragedi Kanjuruhan jilid dua. Ahh, coba sejenak kita lepas baju bernama rivalitas antarklub tersebut. Bukannya kita telah sepakat bahwa tak ada nyawa yang sebanding dengan sepak bola?
Saya yakin, perjuangan seperti apa yang dilakukan Pak Midun, Devi Atok, Rini Hanifah, Cholifatul Noor, dan yang lainnya akan berbuah manis di kemudian hari. Saya yakin betul bahwa di setiap putaran roda sepeda Pak Midun akan menggerakkan setidaknya satu hati nurani untuk tetap hidup memperjuangkan mereka-mereka yang telah tiada.
Hadiah di ulang tahun Indonesia
Dalam beberapa hari ke depan, Pak Midun dengan sepedanya akan melintasi beberapa stadion yang ada di Jawa—setidaknya di kota-kota yang ia lewati. Misinya adalah sampai di Stadion Gelora Bung Karno pada 17 Agustus 2023, bertepatan dengan hari kemerdekaan republik ini.
Saya pribadi sangat berharap bahwa blio bisa tiba di Jakarta tepat waktu. Memberikan kado paling istimewa yang dibawa dari Malang. Kue dengan “bau paling busuk” di hari ulang tahun Indonesia. Ya, sebuah kegagalan dalam menyelesaikan kasus yang telah berjalan setidaknya 10 bulan lamanya.
Sebagai salah satu manusia yang selamat dari malam mencekam tersebut, bagi saya, ini merupakan kado terindah di hari bahagia republik ini. Pasalnya, Bumi Pertiwi masih diingatkan bahwa di umurnya yang telah menginjak 78 tahun, terlampau banyak lubang yang perlu dijahit, pun banyak noda yang harus dihilangkan.
Tidak mudah memang bagi manusia menghadapi sesuatu yang sangat besar. Keraguan dan ketakutan jelas menghantui. Bayangan terkait kegagalan jelas tak bisa lepas di kepala. Namun, tekad yang kuat, semangat yang membara, serta nurani yang masih hidup—selama bukan Tuhan—agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan apapun.
Pak Midun, selamat menempuh perjalanan panjang. Semua tahu bahwa ini merupakan pertarungan yang mungkin saja tak akan kita menangkan. Namun, saya yakin bahwa akan ada hal manis di akhir sebuah perjuangan. Serta, seperti sebuah kata-kata yang dengan mudah kita temukan di setiap sudut Kota Malang, ‘setidaknya kami akan terus berjuang’.
Penulis: Devandra Abi Prasetyo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tragedi Kanjuruhan: Menormalisasi Hal yang Tidak Normal Adalah Mula Malapetaka
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.