Pachinko: Perjuangan Bertahan Hidup Zainichi Korea di Jepang

Pachinko: Perjuangan Bertahan Hidup Zainichi Korea di Jepang Terminal Mojok.co

Pachinko: Perjuangan Bertahan Hidup Zainichi Korea di Jepang (Akun Instagram Apple TV)

Mari berhenti mengeluhkan ending drama Pachinko yang menggantung. Simpan dulu semua pertanyaan kalian tentang bagaimana nasib Noa (Park Jae Joon), anak dari Ko Han Su (Lee Min Ho) dan Sunja (Kim Min Ha). Sebab, pertanyaan tersebut akan terjawab pada Pachinko season dua. Untuk saat ini, mari kita bahas hal penting yang banyak dilewatkan orang saat menonton drama Korea yang diangkat dari novel New York Time Best Seller karya Min Jin Lee ini.

Tayang di Apple TV+ sejak bulan Maret dalam delapan episode, Pachinko menjadi drama Korea paling bagus yang pernah saya lihat. Perpaduan sinematografi yang cemerlang, soundtrack yang indah, cerita yang menggugah dan pemilihan aktor yang sangat sesuai dengan karakter tokohnya, membuat drama ini layak mendapatkan pujian tertinggi.

Disutradari oleh Kogonaga dan Justin Coan, Pachinko sering kali dilihat semata-mata tentang cinta segitiga antara Sunja (Kim Min Ha), Ko Han Su (Lee Min Ho), dan Baek Isak (Steve Sanghyun Noh) di era sebelum Perang Dunia II. Meskipun hal tersebut tidak keliru, tapi drama ini pada dasarnya mengangkat isu penting yang sangat jarang dibahas oleh drakor lainnya, yaitu tentang perjuangan untuk bertahan hidup zainichi Korea di Jepang yang mengalami diskriminasi.

Zainichi sendiri berarti orang asing yang tinggal di Jepang. Tapi, secara khusus digunakan untuk menyebut masyarakat pendatang dari semenanjung Korea dan keturunannya yang menetap di Jepang.

Secara historis, zainichi Korea mulai bermigrasi ke Jepang sejak masa penjajahan Jepang antara 1910 hingga 1945. Perjuangan untuk bertahan hidup zainichi Korea di Jepang yang berlangsung lama, bahkan setelah Perang Dunia II, dikisahkan dengan apik dalam serial Pachinko melalui tokoh utama bernama Sunja (dipernakan oleh Jeon Yu Na ketika kecil, Kim Min Ha ketika dewasa dan Youn Yuh Jung ketika tua) yang hidup dan menyaksikan perubahan zaman dalam tiga generasi zainichi Korea di Jepang.

Sunja dan sahabatnya (Akun Instagram Apple TV)

Dalam serial Pachinko, Sunja direpresentasikan sebagai generasi awal zainichi Korea di Jepang. Sunja yang menikah dengan Baek Isak (orang Korea Utara) diajak suaminya menetap di Osaka. Pasalnya, Baek Isak mendapat pekerjaan sebagai pastor di sana. Dalam perjalanan menuju Osaka menggunakan kapal, terlihat banyak sekali orang Korea yang akan bekerja di Jepang berada satu kapal dengan Sunja (di bagian paling bawah kapal). Orang Korea di zaman itu dianggap sebagai kelas bawah. Oleh karena itu, posisinya tidak boleh sejajar dengan orang Jepang yang duduk dengan nyaman di bagian tengah kapal sambil mendengarkan lagu.

Sesampainya di Osaka, Sunja dan Isak tinggal bersama kakak Isak bernama Baek Yosep (Han Joon Woo) di pemukiman kumuh. Lingkungan tempat tinggal Sunja diisi oleh sesama zainichi Korea yang terlihat miskin. Beberapa tetangga Sunja bahkan tinggal bersama hewan peliharaan di dalam rumahnya. Ketika Sunja melahirkan, yang membantu persalinannya adalah perempuan tua yang terbiasa membantu babi melahirkan.

Yosep yang sewaktu kecil hidup berkecukupan di Korea Utara, justru hidup berkekurangan di Osaka dan mengandalkan gaji yang amat kecil dari perusahaan biskuit tempat dia bekerja. Untuk bisa membelikan tiket kapal Isak dan Sunja dari Korea menuju Osaka, Yosep terpaksa meminjam uang ke rentenir dengan bunga yang besar.

Kondisi Yosep dan orang di lingkungan tempat tinggalnya mencerminkan fakta sejarah ketika banyak orang Korea ditarik ke Jepang tidak memiliki pekerjaan yang layak dan hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka terpaksa harus bekerja di pabrik kaca, biskuit, dan batu bara dengan susah payah, tapi tetap saja kekurangan uang.

Di zaman itu (sekitar 1910-1945), orang Korea di Jepang dianggap sebagai kelas bawah atau subordinat. Sepintar apa pun orang Korea, posisi mereka selalu di bawah orang Jepang. Hal ini dicerminkan oleh tokoh Ko Han Su (Lee Min Ho), orang Korea yang pintar tapi tidak punya kesempatan bersekolah dan harus bekerja bersama Yakuza karena utang ayahnya.

Ko Han Su (Akun Instagram Apple TV)

Menjadi zainichi Korea di Jepang tidaklah mudah, bahkan untuk anak-anak Korea yang lahir dan bersekolah di sekolah Jepang. Representasi generasi kedua zainichi Korea di Jepang dicerminkan pada sosok Noa (anak Sunja). Anak ini bersekolah di sekolah Jepang dan sangat mahir berbahasa Jepang. Noa selalu menjadi translator ibunya saat berkomunikasi dengan warga Jepang. Namun, Noa pun tak luput dari diskriminasi.

Anak-anak seperti Noa, kerap dikucilkan dan dihina bau bawang oleh teman-teman di sekolah Jepangnya. Pasalnya, keluarga Korea sering makan dengan kimchi yang baunya menyengat. Saking miskinnya, zainichi Korea di masa itu hanya bisa mengkonsumsi kimchi, hampir tidak pernah makan daging, jarang makan nasi dan telur.

Jurnal ilmiah yang ditulis oleh William James Osborn menyebutkan kalau diskriminasi yang dilakukan orang Jepang terhadap zainichi Korea justru menimbulkan kebencian dan memicu terjadinya perlawanan etnis Korea di Jepang. Dalam Pachinko, hal tersebut tercermin pada sikap Bae Isak yang melakukan propaganda tentang keadilan dan kesetaraan sosial hingga dia ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara sebagai tahanan Politik. Di masa itu, menyuarakan kesetaraan dan keadilan artinya berafiliasi dengan komunisme dan tindakan seperti itu dilarang karena dianggap menantang Kaisar Jepang.

Perjuangan hidup zainichi Korea di Jepang dalam Pachinko terus berlangsung bahkan setelah Perang Dunia II berakhir dan Korea merdeka. Generasi ketiga zainichi Korea direpresentasikan oleh tokoh bernama Solomon (Jin Ha). Solomon adalah cucu Sunja. Takut bernasib sama dengan Noa, Solomon dikuliahkan ke Amerika.

Solomon adalah generasi zainichi yang sudah tercerabut dari tradisi Korea. Anak-anak seperti Solomon sudah sangat mirip dengan anak-anak Jepang, bersekolah di sekolah Jepang, mahir berbahasa Jepang, bahkan sudah kesulitan ataupun tidak mampu berbahasa Korea. Namun, hidup di Jepang tetap tak mudah bagi anak-anak seperti Solomon.

Sekeras apa pun usahanya untuk sejejar dan diakui identitasnya sebagai orang Jepang, itu tidak mudah. Ketika Solomon bekerja di perusahaan real estate Jepang, Solomon tetap saja mendapatkan perlakukan berbeda dari orang Jepang.

The Missiouri Review pernah menulis kisah berjudul “Motherland” pada 2002 yang menceritakan tentang remaja etnis Korea di Jepang yang sidik jarinya diambil dan menerima kartu identitas warga negara asing. Padahal, anak-anak etnis Korea ini sudah lahir, tumbuh, dan besar di Jepang dan tidak lagi punya sanak-saudara di Korea.

Anak-anak etnis Korea di Jepang tidak bisa langsung menjadi warga Jepang. Mereka dianggap tamu di Jepang, tapi sekaligus tidak diakui sebagai warga negara Korea. Potret tersebut digambarkan dengan apik dalam serial Pachinko oleh sosok Solomon. Laki-laki yang tengah berjuang menemukan identitas dirinya.

Kisah Solomon mengingatkan saya pada teman-teman saya yang keturunan China di Indonesia. Mereka sering dipanggil sinyo atau singkek bahkan kerap kali diragukan nasionalismenya. Padahal, mereka ini sudah tidak bisa berbahasa China, ikut upacara bendera setiap 17 Agustus, membayar pajak, dan memiliki KTP Indonesia.

Sunja, Noa, dan Solomon adalah potret kehidupan zainichi Korea di Jepang yang mencoba bertahan hidup di tengah gempuran diskriminasi rasial dan sosial. Mereka berjuang menemukan identitasnya.

Mungkin banyak di antara kita yang bertanya-tanya, kenapa drama ini diberi judul Pachinko? Dari episode awal sampai akhir, kita hanya diberi petunjuk jika anak Sunja yang bernama Mozasu (Soji Arai) bekerja di Pachinko.

Pachinko adalah arena judi. Dalam catatan sejarah, Pachinko adalah pekerjaan yang paling banyak digeluti imigran Korea di Jepang. Pachinko seringkali dianggap sebagai bisnisnya orang tidak berpendidikan, orang kotor dan gangster atau yakuza. Pachinko di Jepang sangat identik dengan etnis Korea.

Pachinko (Akun Instagram Apple TV)

Mozasu yang menjalankan bisnis Pachinko dengan jujur dan selalu membayar pajak kepada pemerintah Jepang pada akhirnya berhasil menjadi orang kaya raya di Jepang. Meskipun sukses dengan Pachinko, tapi Mozasu melarang Solomon terjun dan menggeluti bisnis Pachinko. Kenapa? Sebab Mozasu ingin melihat Solomon dipandang sebagai orang Jepang secara utuh. Orang Jepang tidak berbisnis Pachinko, melainkan bekerja di perusahan Jepang seperti perusahaan elektronik ataupun perusahaan konstruksi.

Meskipun mengangkat isu yang terbilang berat, serial Pachinko bukan jenis tontonan yang membosankan berkat audio visual yang bagus dan akting pemainnya yang jempolan. Drama Pachinko juga menunjukkan detail kecil seperti barang-barang yang menjadi simbol setiap zaman. Lokasi film Pachinko yang di-setting semirip mungkin dengan tahun kejadiannya membuat penonton mudah larut dalam suasana di zaman tersebut.

Pada akhirnya, selain berfungsi sebagai hiburan, film dapat memotret sejarah di masa lalu yang bisa dijadikan pelajaran untuk generasi mendatang. Pachinko adalah drama yang mencoba melakukan kedua fungsi tersebut.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Audian Laili

BACA JUGA 8 Perbedaan Kebiasaan Sehari-hari Orang Korea dan Jepang

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version