Jelas saja di seluruh nusantara atau bahkan dunia, lebaran merupakan “selebrasi” yang harus dirayakan tanpa menyentuh zona berlebihan. Sebatas pulang ke kampung halaman, bersilaturahmi kepada tetangga hingga hal-hal yang membuat hati menjadi tenang lainnya. Tak terkecuali di Bantul, di seluruh kecamatan yang memeluknya.
Ritus religius berupa halal bi halal ini menyambangi sekitarnya dan saling bermaaf atas apa yang dilakukan dalam satu tahun belakangan. Skopnya dari yang terkecil menuju yang terbesar. Mulai dari keluarga, tetangga, lalu sanak saudara. Di Bantul, kebanyakan dari mereka memiliki saudara yang berdekatan dan hanya berjarak dalam kecamatan yang berbeda saja.
Dapat ditandai bahwa jam tujuh sampai jam sembilan di Bantul adalah keheningan. Semua berpusat di lapangan desa masing-masing, masjid desa dan musala terdekat guna menjalankan salat Idul Fitri. Jam sembilan hingga sepuluh biasanya warga Bantul memilih keluar dengan berjalan kaki, menyambangi rumah-rumah yang ada orang dituakan dan dihargai.
Selepas jam jam 10 selanjutnya mereka memutuskan dua hal, berkumpul dengan keluarga kecil dan menyantap hidangan lebaran atau memilih langsung berkumpul dengan saudara dan menyantap hidangannya di tempat yang sudah ditentukan. Intinya, lebaran di Bantul adalah suka cita dengan penuh kesederhanaan.
Dari suka cita tersebut kadang tersembunyi sebuah pesan subliminal yang sering kali diperlihatkan warga Bantul dalam perayaan lebaran. Bisa jadi ciri khas Bantul itu sendiri, atau hal ini juga terjadi bagi warga di sekitar Bantul seperti Gunung Kidul, Jogja, Sleman dan Kulonprogo. Dan berikut adalah rangkuman outfit warga Bantul saat merayakan Syawalan.
Satu: Batik kelap-kelip yang mbois
Biasanya dipakai oleh pria berumur 30 ke atas. Kematangan seorang pria di Bantul, dapat dilihat dari outfit yang ia pakai ketika lebaran. Semakin blink-blink, maka semakin pria itu mendekati kata matang dan diperhitungkan secara pemikiran. Lihat saja jika kumpul keluarga, pengguna batik kelap-kelip biasanya orang yang membuka sesi halal bi halal.
Dengan tangan ngapurancang, suara yang diberat-beratkan, batik berjenis sutera atau sutera kecewa ini konon bisa meningkatkan kepercayaan diri para bapak-bapak di Bantul guna membuka percakapan serius di keluarga besar.
Bentukan batik ini seperti hologram yang menandakan bahwa pria yang memakai memiliki sifat ajeg dan kuat dalam menghadapi permasalahan. Sebagaimana hologram yang berbeda jika dilihat dari sisi yang berbeda, hal ini juga menunjukkan bahwa pengguna batik kelap-kelip memiliki pandangan yang luas dan bijaksana.
Biasanya dipadukan dengan sarung yang tak lebih sederhana dari bagian atas. Yakni sarung kotak-kotak dengan berbagai brand yang ada dipasaran. Luntungannya harus tiga kali, mata kaki terlihat supaya ketika melewati galengan sawah tidak ceblok. Dan tak kalah penting, sebagai aksesoris kebangsaan, kopiah hitam yang turut menyertai.
Dua: Outfit ibu-ibu dengan warna nabrak
Kebanyakan ibu-ibu menggunakan atribut pakaian yang warna ngejreng dan jilbab, kebaya dan roknya biasanya nggak nyambung atau nabrak. Misalkan jilbab oranye, pakaiannya merah, bawahannya biru dan kaos kaki berwarna krem. Ketika kebanyakan sibuk menentukan pakai baju lebaran, ibu-ibu kuat di Bantul bodo amat terhadap budaya ini. Loh, kan niatnya kumpul keluarga, bukan darmawisata. Jadi yang terpenting sopan dan nyaman.
Tapi, hal ini biasanya memiliki filosofi yang menarik. Mengapa warnanya ngejreng dan berbeda? Hal ini menunjukkan suka cita. Jika tiap warna memiliki karakteristik semisal merah adalah berani dan hijau adalah asri, maka ibu-ibu Bantul menggunakan semua warna agar supaya semua perasaan bisa ia miliki selama Syawalan. Tidak hanya monopoli warna, ibu-ibu Bantul cinta akan keberagaman.
Tiga: Outfit ibu-ibu dengan seragam dasawisma
Jika ibu-ibu di atas pakai warna nabrak itu untuk Syawalan keluarga, maka ibu-ibu dengan menggunakan seragam ini biasanya terhimpun dalam paguyuban dasawisma atau PKK. Seragamnya berkutat pada tiga hal. Pertama, jelas dengan batik dan warna coklat. Kedua, pakai warna senada, tapi warnanya biru. Ketiga, kaos lengan panjang dengan bahan yang biasanya ditipu oleh konveksi abal-abal.
Yang terakhir memang sedikit unik, tak jarang ibu-ibu dasawisma Syawalan dengan kaos polo yang sumuk dan berbahan jelek. Biasanya, selepas acara, kita tidak bisa membedakan ibu-ibu ini habis Syawalan atau habis senam. Karena kemringet saking sumuknya, tapi tidak akan melupakan swafoto yang akan dikirim di grup WhatsApp mereka.
Mereka ini biasanya datang ke lokasi dengan menyewa bus Kobutri atau P.O. Abadi. Nah, bayangkan saja betapa sumuknya duduk di dalam bis kota legendaris yang satu ini. Dengan polo bahan jelek, sumuknya Kobutri dan omongan Bu Bambang yang selalu membanggakan anaknya yang paling sukses, duh lengkap sudah Syawalan tahun ini.
Empat: Mas-mas dan mbak-mbak pakai korsa
Kita sepakat bahwa Jogja tempatnya institusi perkuliahan. Semua ada, tersedia di kota yang memiliki julukan kota pelajar. Tak banyak warga Bantul yang merantau jauh sampai Depok, Jakarta. Pol mentok Depok, Sleman, antara UNY, Sadar, atau UGM. Tidak semuanya, tapi kebanyakan dari mereka memilih untuk di Jogja ketimbang rantau.
Saat Syawalan, baik itu desa atau keluarga besar, tak jarang ada mas dan mbak yang ber-outfit korsa kampus, fakultas, organisasi, atau event yang pernah mereka ikuti terpampang di bagian belakang. Dengan perasaan bangga lantaran kerja keras mereka selama ini terpenuhi, tidak ada yang salah dengan outfit yang satu ini.
Biasanya korsa yang digunakan adalah fakultas yang bagian belakangnya bertuliskan begini, “SAYA MAHASISWA MESIN NICH!”. Atau organisasi di kampus, “IKATAN MAHASISWA PECINTA DIA”. Paling ndakik korsa hadiah event, “AKU SIE PERKAP DI ACARA FAKULTI FAIR LOCH!” Biasanya pakai capslock dan bordirannya masih ada kain yang nyatu.
Lima: Mas-mas rebel
Outfit berikutnya adalah mereka yang lossss alias kaosan dan tidak menunjukkan identitas keilmuan. Mereka lebih memilih menunjukkan orientasi bermusik atau kultur pop yang sedang mereka sukai. Ada yang pakai kaos dengan gambar Naruto, itu artinya mereka bangga dengan identitas ke-wibu-an yang uwu.
Ada pula yang pakai kaos NDX AKA FAMILIA, menujukkan kebebasan dan sisi bengal mereka dalam kumpul keluarga. Atau yang agak tua sedikit pakai kaos bertuliskan, “AKU BUKAN MAKLUK LEMAH, AKU KUPU-KUPU BAJA” biasanya mereka ini adalah fans Captain Jack, Monsterjacker.
Berikutnya ada mereka yang pakai jersey Persiba Bantul. Namun, seiring berjalannya waktu, tipe rebel yang satu ini mulai berkurang eksistensinya lantaran prestasi Persiba yang juga kian memudar. Lha piye to, sama Protaba Projotamansari Bantul saja sekarang seimbang. Lawan UGM FC juga belum karuan menang. Ealah, Ba, Ba.
Enam: Sobat ambyar
Tipe ini barangkali peleburan dari tipe keempat dan kelima. Ada yang pakai korsa, kaos atau bahkan rompi khusus. Bergambar sang maestro di dada, atau sempilan lirik yang diambil dari mahakaryanya, ini lah outfit yang terakhir, sudah ada sejak medio dekade 2000. Tua-muda, perempuan atau pria, bapak-bapak atau ibu-ibu, yakni tipe sobat ambyar, fans militan The Godfather of Brokenheart, Didi Kempot.
Masih banyak outfit lain yang belum dirumuskan lantaran membicarakan tradisi Syawalan di Bantul, maka sama saja membuka diskusi panjang beragamnya ritus yang masing-masing keluarga junjung. Satu pintu ke pintu lainnya saja beda, apalagi tradisi kecamatan ke kecamatan.
Ada yang mau bercerita tradisi dan outfit unik daerah kalian saat Syawalan? Tentu kolom komentar terbuka untuk kalian tuliskan.
BACA JUGA Membedah Berbagai Metode Petani Bantul saat Membawa Gabah atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.