Ada sebuah “doktrin” lama yang disampaikan oleh orang tua saya ketika saya baru saja diterima sebagai mahasiswa baru di FISIP UI: kuliah itu harus pakai kemeja atau atasan berkerah lainnya dan celana bahan. Kalau mau lebih lengkap, sekalian pakai sepatu yang menutup jari kaki dan gesper (kalau bisa hitam).
Tak ayal, salah satu persiapan saya pada masa awal perkuliahan adalah membeli kemeja (dan baju berkerah lainnya) serta celana bahan sebanyak mungkin.
Namun, setelah menjalani setahun perkuliahan di FISIP UI, ada satu hal yang saya sadari. Aturan mengenai kemeja dan celana bahan itu nyatanya sudah usang, tidak relevan lagi.
Memang, aturan itu tidak sepenuhnya menghilang. Saat mahasiswa harus menghadiri acara penting atau kegiatan formal lainnya, khususnya yang mewajibkan dress code tertentu, ia biasanya memakai kemeja dan celana bahan. Sama juga kalau magang, kemeja dan celana bahan hitam putih itu sudah menjadi ciri klasik.
Selain itu, ada beberapa dosen yang tegas soal berpakaian, misalnya dengan melarang mahasiswa memakai kaus oblong atau sandal jepit. Selain itu, memang sudah menjadi aturan tidak tertulis bagi kami para mahasiswa untuk memakai kemeja, atau setidaknya pakaian rapi berkerah, ketika mendapat giliran presentasi di hadapan kelas.
Namun, sesuai yang saya amati, secara umum, aturan tersebut sudah tidak berlaku sepenuhnya lagi. FISIP UI menjadi lingkungan fesyen yang unik, tempat mahasiswa bereksperimen tentang selera berpakaiannya dan menghadirkan warna baru ke lingkungan kampus.
FISIP UI tak kalah “liberal”
Saya pernah mendengar bahwa dalam soal per-outfit-an, FIB (Fakultas Ilmu Budaya) memegang juara satu outfit kampus paling “liberal”. Memang, pernyataan itu benar. Namun, outfit anak FISIP juga tidak kalah “liberal”.
Di FISIP UI, saya menyaksikan segala macam tren fesyen “aneh” bermunculan. Saya sebut “aneh” bukan karena saya menganggapnya buruk, melainkan karena memang saya tidak pernah melihat gaya berpakaian seperti itu sebelumnya.
Misalnya saja, ada yang memakai dasi nyentrik, biasanya dengan kaus oblong biasa. Padahal, sebelumnya, saya hanya pernah melihat orang memakai dasi dengan kemeja dan jas (atau seragam tertentu).
Ada yang memakai baju dengan warna-warna nabrak, kain tradisional, sarung kotak-kotak, hingga outfit yang menunjukkan selera musik tertentu. Bahkan, saya pernah menjumpai laki-laki dengan setelan jas lengkap atau pakaian adat ke kampus sebagai pakaian sehari-hari. Dengan kata lain, walaupun di FISIP UI sedang tidak ada acara, penampilannya tetap always on.
Terkadang, saya juga menemukan gaya berpakaian yang lumayan mengejutkan. Memakai crop top atau bustier ke kampus, misalnya. Semacam kemben terbuka.
Entah dapat inspirasi dari mana, orang-orang pada jago memadu padankan outfit yang dikenakannya sehingga tampak ciamik, sopan, dan tidak norak. Misalnya, dengan menggunakan blazer sebagai outer.
Jujur, saya kagum dengan para mahasiswa FISIP UI yang berani tampil “beda” dengan percaya diri di kampus. Terus, kombinasinya macam-macam, jadi yang dipakai harus banyak pula. Kok bisa, ya, mereka bawa pakaian sebanyak itu ke kosan?
Untuk melengkapi outfit, banyak juga yang sekaligus menggunakan tas, sepatu, dan perhiasan yang sepadan. Kalau sudah begini, ada kemungkinan harus bangun lebih pagi demi berdandan. Punya niat yang besar untuk tampil all out di kampus juga membuat saya salut.
Menurut saya, kampus menjadi salah satu tempat yang cocok untuk menunjukkan jati diri melalui gaya berpakaian. Apa lagi, bagi anak-anak rantau yang jauh dari mulut keluarga yang julid (“mau kuliah apa fashion show…”).’
Fakultas lain
Yang saya perhatikan, di UI, tiap fakultas memiliki ciri berpakaian yang berbeda-beda. Di fakultas yang terkenal ketat seperti FMIPA atau FK, misalnya, rata-rata pakaian mahasiswanya rapi, berkerah. Wajar, soalnya mereka banyak kegiatan di lab.
Biasanya, perempuan sering pakai hijab syar’i dan rok A line, sementara yang laki-laki pakai outer kemeja flannel merah-hitam kotak-kotak. Ngomong-ngomong, kemeja kotak-kotak ini juga sering diidentikkan dengan cowok Teknik. Soalnya kebanyakan cowok Teknik outfit-nya begitu.
Nah, di FISIP UI sendiri, uniknya, tidak ada satu “ciri khas” tertentu. Tidak ada pakem yang membuat kita bisa langsung tahu, “oh, itu anak FISIP, ya” dari caranya berpakaian, kecuali ia memang sedang memakai kaus merchandise fakultas. Soalnya, gaya berpakaian anak FISIP memang sevariatif itu.
Tetap harus rapi
Saya akui, berpakaian sopan dan rapi di kampus memang tetap diperlukan. Apa lagi, dosen-dosen tertentu terkenal ketat soal aturan berpakaian mahasiswa. Pakaian sopan dan rapi yang dimaksud, kalaupun tidak berkerah, setidaknya tidak terbuka dan pantas. Sebagai mahasiswa ilmu sosial, saya tetap meyakini bahwa fesyen dan ekspresi identitas dalam lingkungan kami di tingkat fakultas merupakan fenomena sosial yang unik dikaji.
Hal ini yang, bagi saya, merupakan ciri khas anak FISIP. Jangankan di satu fakultas, di satu jurusan yang sama pun, mahasiswanya beda semua. Walaupun aturannya kami mempelajari ilmu-ilmu sosial dan politik, nyatanya banyak mahasiswa yang menggeluti dunia kesenian di sini, jadi selera berpakaiannya seperti seniman semua.
Saya tidak yakin bisa menemukan keunikan yang sama di fakultas lain. Keunikan fesyen anak FISIP ini saya anggap kekhasan sendiri. Anggap saja identitas. Apa lagi jika di jalan ketemu dengan sesama mahasiswa FISIP yang sedang memakai kaus merchandise bertuliskan “FISIP Juara”. Beuh, rasa kekeluargaannya tiada tara.
Penulis: Dinar Maharani Hasnadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Outfit Anak UGM : (Dulu) Nggak Segitunya Deh!