Lagi-lagi wisata Jogja tercoreng. Kali ini bukan karena harga makanan yang nuthuk, sampah yang tidak dikelola, atau klitih. Kali ini, Jogja tercoreng karena perkara harga parkir yang dipandang terlalu mahal. Parkir bus seharga 350 ribu selama dua jam ini diviralkan melalui akun salah satu wisatawan melalui media sosial.
Postingan yang viral di salah satu grup Facebook ini membahas bagaimana parkir seharga 350 ribu ini tidak masuk akal. Padahal, mereka hanya parkir sebentar dan tidak ada kegiatan cuci bis seperti yang ditagihkan dalam kwitansi pembayaran. Saya bilang kwitansi karena memang tagihan parkir ini menggunakan kertas kwitansi yang old school itu.
Pemkot segera mengambil kebijakan. Selain mengusut dan memperkarakan tukang parkir yang nakal ini, wisatawan yang bikin viral kasus parkir juga dilaporkan ke kepolisian. Alasannya sangat mulia: karena telah mencoreng nama baik pariwisata Jogja. Menurut wakil walikota Jogja Heroe Poerwadi, si wisatawan yang sambat di medsos ini ikut mencoreng nama Jogja seperti oknum tukang parkir.
Bravo, Pemkot Jogja! Keputusan Anda semua untuk melaporkan wisatawan sudah sangat tepat. Nama baik pariwisata Jogja memang tidak boleh dicoreng, bahkan oleh keluh kekecewaan wisatawan yang datang. Pokoknya, yang wisata ke Jogja harus memberikan review positif. Meskipun memendam kecewa menggunung di hati.
Tolong, kota ini sangat romantis. Kalau ada kejadian yang menyebalkan seperti parkir mahal, makanan harga selangit, jebakan becak yang memaksa belanja oleh-oleh, tour guide yang tidak informatif, macet sampai berjam-jam, lampu merah yang hampir dua menit, desak-desakan tanpa prokes, copet, sampai klitih, semua bukanlah untuk diviralkan.
Yang harus Anda viralkan adalah perkara Jogja yang terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Yang wajib Anda suarakan adalah betapa istimewa kota ini karena ada Sultan yang mengayomi. Yang wajib Anda unggah adalah foto-foto yang bernuansa romantis.
Ingat kata pepatah: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jadilah wisatawan yang mengikuti kultur budaya masyarakat setempat. Jika Anda berwisata ke Jogja, junjunglah budaya narimo ing pandum. Ketika Anda mendapat pengalaman tidak menyenangkan, narimo saja. Selayaknya warga yang narimo ketika jurang ketimpangan sosial makin melebar.
Ketika kekecewaan Anda diviralkan melalui media sosial, jelas Anda mencoreng nama kota yang harumnya sundul langit ini. Viralnya kasus tagihan parkir 350 ribu ini misalnya. Kalau tidak viral, orang tidak akan tahu betapa bobroknya sistem perparkiran Jogja yang penuh preman dan oknum nakal. Biarlah mereka merajalela menggerogoti kenyamanan wisatawan tanpa harus viral. Tapi ketika nama baik dilecehkan, maka baru diusut tuntas.
Meskipun ada kemungkinan pihak bus ikut bermain nakal dengan mark up biaya parkir, sudah sewajarnya Anda diam saja. Kenapa? Ya karena kalau Anda bicara akan mencoreng nama Jogja yang harum dan istimewa. Biarlah kalau ada borok dalam pengelolaan, baik pariwisata atau pemerintahan, jangan sampai itu terdengar khalayak ramai.
Wajar jika Anda yang memviralkan bobroknya kota ini akan ditanyai “KTP mana boss?” Kalau warga asli pasti tidak akan berbuat demikian. Warga ber-KTP Jogja yang sejati akan selalu menyimpan kekecewaan terhadap kota istimewa ini di dalam hati.
Meskipun digusur dari Sultan Ground, digaji rendah, air tanahnya disedot hotel dan apartemen, bahkan tiap malam jadi simulasi GTA, mereka akan bilang “Jogjaku istimewa! Pejah gesang nderek Sultan!”
Terima saja bahwa Anda kecewa dengan pengalaman berwisata di Kota Istimewa ini. Ingat, yang dibutuhkan itu adalah perputaran uang Anda di pariwisata Jogja! Bukan keluh kesah karena pelayanan yang mengecewakan. Kota ini tidak perlu koreksi, tapi perlu uang wisatawan! Karena Jogja istimewa tanpa pendatang, tapi butuh uang pendatang!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya