Penyakit Orang Ngapak yang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak

Penyakit Orang Ngapak yang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak

Penyakit Orang Ngapak yang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak (Unsplash.com)

Penyakit adalah sesuatu yang harus diobati dan dihilangkan. Maka dari itu, selaku orang ngapak, saya berkewajiban mencari “obat” dari penyakit orang ngapak yang malu menggunakan bahasa ngapak. Kok bisa ya ada orang yang malu dengan bahasanya sendiri? Padahal bahasa ngapak kan memiliki penutur yang cukup banyak di Jawa Tengah.

Masyarakat yang menggunakan bahasa ngapak adalah seluruh masyarakat Karesidenan Banyumas (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen), masyarakat Kabupaten Tegal, dan sebagian besar masyarakat Kabupaten Brebes. Fyi, sebagian masyarakat Brebes ada yang berbahasa Sunda,  tepatnya mereka yang tinggal di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Bantarkawung, Salem, dan Banjarharjo. Hal ini disebabkan ketiga kecamatan tersebut berbatasan langsung dengan Kuningan, Jawa Barat.

Sebagai warga Purbalingga, bahasa ngapak adalah bahasa yang saya gunakan sehari-hari. Sejak kecil hingga SD, saya selalu menggunakan bahasa ini di rumah dan pergaulan. Hingga tiba waktunya saya melanjutkan sekolah ke salah satu pondok pesantren di Kabupaten Banyumas. Di sana ada peraturan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Bagi santri yang menggunakan bahasa daerah (ngapak) akan dikenakan takzir atau hukuman.

Sejak mondok itulah saya mulai jarang menggunakan bahasa ngapak. Lha, mau gimana lagi? Niat hati pengin melestarikan bahasa sendiri, eh malah dihukum kalau ketahuan menggunakannya. Ya sudah ikut aturan saja. Jadilah saya menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Arab sebagai bahasa keseharian selama nyantri.

Di kampus, teman-teman saya yang berasal dari Barlingmascakeb enggan menggunakan bahasa ngapak

Saat ini, saya melanjutkan studi di salah satu universitas Islam negeri di Purwokerto. Universitas tempat saya menimba ilmu ini menjadi tujuan utama kebanyakan orang ngapak yang hendak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Letaknya yang tepat berada di pusat Kota Purwokerto membuat universitas ini dihuni banyak orang ngapak.

Akan tetapi saat saya baru masuk kuliah, banyak teman saya—yang berasal dari Barlingmascakeb—yang sok-sokan menggunakan bahasa Indonesia gaul untuk percakapan sehari-hari. Kadang, saya merasa risih mendengar mereka ngomong elu gue tapi menggunakan logat ngapak. Bukannya saya nggak suka bahasa Indonesia, ya, saya justru menyukai bahasa Indonesia yang dilafalkan dengan baik dan benar.

Salah satu penyebab banyak teman-teman saya dari Barlingmascakeb menggunakan bahasa gaul karena semakin banyak warga Jabodetabek yang merantau ke Kota Satria. Harusnya sebagai warga lokal, kami yang me-ngapak-an para pendatang supaya belajar bahasa ngapak, bukan malah jadi ketularan mereka, kan. Wqwqwq.

Lagi pula pakai bahasa gaul buat apa, sih? Biar dikira gaul? Menurut saya, orang yang gaul adalah orang yang punya banyak teman, nggak tergantung pada bahasa yang digunakannya. Bukankah kalau orang ngapak menggunakan bahasa gaul elu gue dengan logat ngapaknya malah bikin teman-teman lain minggir karena dikira sok-sokan. Wong ngapak ngomonge ya nyong karo ko, Lur, udu gue elu!

Orang-orang di kampung halaman saya yang merantau ke luar kota kehilangan identitasnya sebagai penutur bahasa ngapak

Saya juga memperhatikan teman-teman dari desa yang merantau untuk kuliah ke luar kota, salah satunya teman saya yang kuliah di Jogja. Saat kembali ke kampung halaman kami, dia justru bicara menggunakan bahasa Jawa khas Jogja. Begitu juga dengan teman saya yang kuliah di Semarang, dia pulang membawa oleh-oleh bahasa kesehariannya di Semarang. Lha, kalau kayak gini terus bukan nggak mungkin bahasa ngapak bakal punah.

Menurut saya, sebelum kebanjur, hal ini harus kita cegah. Salah satu cara agar bahasa ngapak tetap lestari adalah orang ngapak harus bangga menggunakan bahasanya. Nggak usah malu kalau logatnya medok. Hilangkan stereotipe kalau bahasa daerah ini adalah bahasa primitif dan jadul. Sebanyak apa pun pendatang dari luar daerah, jika kita tetap bangga dan istikamah menggunakan bahasa daerah (ngapak), bahasa kita akan tetap lestari dan nggak terkontaminasi.

Selain itu, sepertinya kita memerlukan slogan yang bisa membangkitkan gairah orang ngapak untuk mau menuturkan bahasa ini. Kalau perlu semua daerah di Barlingmascakeb, Brebes, dan Tegal mengadakan program hari bahasa di lingkungan pendidikan dan pemerintahan. Khusus di hari itu, para siswa dan pegawai pemerintahan wajib menggunakan bahasa ngapak. Gimana menurut kalian? Jangan sampai bahasa satu ini punah apalagi diakui negara asing! Pokoke aja ngasi ya, Lur!

Nyong ngapak!

Nyong bangga!

Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Perbedaan Bahasa Ngapak dengan Bahasa Jawa Bandek yang Perlu Diketahui.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version