Setelah kuliah selama 4 tahun lebih di salah satu kota besar, akhirnya pandemi membuat saya berdiam cukup lama di rumah, di salah satu pedesaan di kabupaten kecil. Kembali ke desa sendiri untuk waktu yang lebih lama, saya jadi lebih sering mengamati kehidupan masyarakat di desa. Siapa sangka, saya menyadari dan belajar banyak hal dari orang desa tentang bagaimana mereka menjalani hidup di desa. Lalu, saya sampai pada kesimpulan bahwa orang desa—bahkan yang miskin sekalipun, adalah orang yang paling bahagia dan sejahtera.
Saya tahu persis bagaimana rasanya hidup di kota besar selama kuliah. Akses apa pun tersedia, banyak mal, banyak café, nongkrong, dan belanja di mana pun mudah. Aduh, kalau kalian masih merasa hal tersebut adalah yang paling membahagiakan, berarti kalian belum mengenal way of life ala orang desa.
Sebagai orang yang berasal dari desa dan sempat tinggal di kota besar, saya akan memberi beberapa alasan mengapa orang desa yang miskin sekalipun adalah orang yang paling bahagia dan sejahtera. Tapi sebelumnya, taruh dulu pola pikir kalian yang ruwet ala orang kota dan orang kaya itu. Saya akan mengajak kalian berpikir sangat sederhana nan bahagia.
Pikiran tidak terkontaminasi informasi tidak penting
Poin pertama, rendahnya akses informasi, terutama mereka yang tidak memiliki smartphone. Sekali lagi, jangan dulu berpikir bahwa rendahnya akses informasi merupakan hal buruk. Justru poin pertama ini yang paling penting menurut saya pribadi.
Sebagai anak muda yang selalu menerima informasi apa pun di berbagai media sosial tanpa diminta, saya mulai menyadari bahwa percepatan informasi itu sangat merugikan. Memangnya kepala kalian tidak kewalahan mencerna informasi yang kalian baca setiap hari di media sosial? Apalagi dalam situasi seperti ini. Jika dibandingkan dengan orang desa yang tidak memiliki akses untuk informasi, mereka terlihat lebih rileks. Tidak perlu repot-repot ikut berpikir tentang perdebatan Jerinx dan dr. Tirta, tidak perlu repot-repot ikut menyumpah serapahi kinerja pemerintah yang payah, bahkan tidak perlu buang-buang waktu menonton konflik romansa remaja di TikTok.
Tak seperti kita yang sedikit-sedikit sambat, “Haduh, aku stres!” Pikiran orang desa tidak terkontaminasi oleh informasi semacam itu, sehingga pikiran menjadi tenang, timbul rasa bahagia dan bisa bikin sehat.
Prinsip “Nggak usah ruwet, yang penting kenyang”
Sebagai orang desa, saya merasa sangat beruntung dengan tersedianya bahan makanan di lingkungan rumah, entah menanam sendiri atau berbagi dengan tetangga. Jangan kira orang desa kesulitan untuk urusan mengenyangkan perut, justru itu yang paling mudah bagi mereka. Sayur-sayuran banyak sekali tersedia untuk dipetik, untuk membeli di pasar pun masih dengan harga yang sangat murah.
Belum lagi kehidupan orang desa yang guyub dengan tetangga dan bisa berbagi sayuran yang mereka tanam sendiri. Talas dan singkong juga sangat mudah untuk dicari di lingkungan desa lalu dikukus dan dimakan. Persoalan kandungan nutrisi jangan diremehkan, coba saja kalian googling nutrisi apa saja yang terkandung dalam talas dan singkong.
Pola hidup dan pola berpikir seperti itulah yang membuat mereka bahagia. Selain makanan mereka sehat dan alami, mereka juga tidak perlu kebingungan memilih ayam goreng KFC atau McD, tidak perlu ikut berpihak tim bubur diaduk atau tidak diaduk, dan mereka juga tidak perlu kerepotan memilih boba Chatime atau boba Kokumi.
Udara bersih dan lingkungan sehat
Poin ini sudah sangat jelas lah ya, lingkungan dan udara segar yang menjadi sasaran orang kota untuk berlibur karena suntuk melihat gedung-gedung tinggi. Lalu mereka mengunggah konten media sosial dengan caption: Morning coffee with a view.
Unggahan-unggahan semacam itu yang kemudian membuat saya sangat bersyukur menjadi orang desa. Hal sederhana yang sangat mahal bagi orang kota, bisa saya nikmati setiap hari sepuasnya. Angin semilir yang sejuk, suara gesekan daun karena diterpa angin, udara segar dan terjamin bersih, suara-suara jangkrik ketika malam hari, wuaaah rasanya tenang dan damai sekali. Apalagi ditambah dengan pisang goreng dan teh manis hangat. Wuaaah… Sudah, sudah, saya tidak mau congkak, nanti kualat sama orang kota.
Tidak bingung mencari pekerjaan
Percaya tidak kalau di desa, pekerjaan sangat mudah dicari? Saya pun awalnya tidak percaya. Tapi setelah sempat berbincang-bincang dengan beberapa masyarakat, lahan pertanian yang sangat luas menjadi sumber utama potensi pekerjaan orang desa. Kalau kalian masih berpikir, “Memangnya bisa bertahan hidup dengan hanya bertani? Gajinya berapa?” berarti kalian masih saja menggunakan pola pikir ala orang kota dan orang kaya.
Kembali lagi pada poin utama, pola hidup dan pola pikirlah yang membuat orang desa bahagia dengan hanya bertani. Mereka mengedepankan pola pikir “Apa yang tersedia, maka itu yang harus dimaksimalkan.” Lahan pertanian di desa sangat luas dan potensial untuk dimaksimalkan, maka itulah yang mereka kerjakan.
Kalau kalian pergi ke desa dan bilang pengin jadi marketing executive di perusahaan atau dokter spesialis kulit, yang ada kalian malah ditertawakan lantaran dianggap terlalu muluk-muluk. Orang desa tidak mau ruwet-ruwet berpikir bagaimana caranya bekerja untuk mendapatkan uang banyak. Ketika kebutuhan mereka tercukupi, maka sudah cukup. Itulah mengapa mereka tetap selalu bahagia, mereka tidak memiliki keinginan yang neko-neko. Selain itu, bertani bisa sangat menyehatkan, karena tubuh kita terkena sinar matahari setiap harinya, bukan terkena AC dengan sirkulasi udara yang tidak sehat.
Jadi, untuk orang desa siapa pun dan di mana pun, yang miskin sampai yang muiskin pol, bangga dan bersyukurlah menjadi orang desa. Poin-poin di atas, jika disimpulkan, syarat untuk menjadi orang yang bahagia dan sejahtera adalah dari pola pikir. Sama saja kalau kalian tinggal di desa tapi masih pakai pola pikir ruwet ala orang kota dan orang kaya. Hidup ini akan ruwet kalau kalian berpikir ruwet juga.
Biarkan orang kota dan orang kaya saja yang memikirkan banyak hal dengan ruwet, kita sebagai orang desa tinggal berbahagia saja. Hidup mau cari apa, sih? Bukannya rasa bahagia itu sudah terlampau cukup?
BACA JUGA Orang-orang di Desa Saya Nggak Butuh Kelas Fitness agar Badannya Terbentuk.