Derita Jadi Warga Banyumas: Bangga dan Fasih Bahasa Ngapak, Dituduh Nggak Bisa Bahasa Jawa

Derita Jadi Warga Banyumas: Bangga dan Fasih Bahasa Ngapak, Dituduh Nggak Bisa Bahasa Jawa

Derita Jadi Warga Banyumas: Bangga dan Fasih Bahasa Ngapak, Dituduh Nggak Bisa Bahasa Jawa (unsplash.com)

Sebagai orang Banyumas, kadang saya merasa resah. Masalahnya banyak yang memandang saya hanya jago bahasa Ngapak, tapi nggak bisa bahasa Jawa. Padahal kan bahasa Ngapak juga bahasa Jawa.

“Ora ngapak, ora penak” sudah menjadi slogan andalan orang-orang yang tumbuh besar di daerah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen). Ngapak menjadi bahasa kebanggaan yang digunakan untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Sebab, kalau pakai bahasa daerah lain atau bahasa Indonesia sudah pasti dianggap sok-sokan.

Saking bangganya, pernah teman sekelas saya waktu MTs menulis kalimat “ora Ngapak, ora kepenak” di lembar jawaban UTS Bahasa Inggris. Saat itu, menulis kata-kata selain jawaban di lembar jawaban memang sedang menjadi tren dan tidak dikenakan sanksi oleh guru. Jadi beberapa siswa juga menuliskan kata-kata motivasi. 

Akan tetapi teman saya yang menuliskan kalimat “ora Ngapak, ora kepenak” ini tidak selamat dari sindiran guru Bahasa Inggris kami. Saat guru menjelaskan di kelas dan kami para siswa mengalami kesulitan, beliau mengatakan, “Memang ora Ngapak, ora kepenak.” Beliau masih mengatakan kalimat lain, tapi yang masih saya ingat sampai sekarang hanya kalimat itu.

Perasaan banga terhadap bahasa Ngapak kian bertambah dengan kehadiran kreator konten asal Kebumen, Mukidi Ngapak Kebumen. Mereka ada grup yang viral dengan konten unggahan di YouTube. Kata yang paling viral dibawakan oleh mereka adalah “cingire” yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti mulut.

Ngomong bahasa Ngapak memang nyaman, tapi kenyamanan itu justru menjadi jebakan

Seiring bertambahnya usia, saya justru merasakan bahwa menjadi orang Banyumas yang fasih berbahasa Ngapak adalah sebuah kekurangan. Saya merasa wibawa saya jatuh ketika berbicara dengan orang Jawa bagian lain. Kadang saya jadi terbata-bata karena harus mengganti kosakata Ngapak dengan bahasa Jawa daerah tersebut. Kadang saya juga disindir sok-sokan jadi anak kota hanya karena pakai bahasa Indonesia. 

Ditambah lagi sempat ada FTV berjudul Cantik-cantik Ora Ngapak Ora Kepenak. Sebenarnya saya belum menonton FTV tersebut, baru trailernya saja. Dalam cuplikan film tersebut, tokoh utama terkena bullying karena logat Ngapak yang dia gunakan.

Sebenarnya saya juga mem-bully logat yang diucapkan tokoh tersebut. Rasanya aneh. Terlalu menonjolkan kata “inyong” padahal Ngapak asli cukup mengatakan “nyong”. Sedetik kemudian trailer film itu menyadarkan saya tentang satu hal. Bahwa menjadi orang Banyumas yang bisa bahasa Ngapak merupakan salah satu permasalahan hidup.

Orang Ngapak paling tidak bisa mempertahankan bahasanya sendiri

Saya harus bersusah payah mempelajari bahasa Jawa daerah lain agar obrolan tetap nyambung. Kadang, saya dicap budek karena kebanyakan “Hah? Heh?” saat tidak bisa mencerna perkataan lawan bicara. Kadang saya juga harus mengucapkan ulang perkataan pakai bahasa Indonesia biar lawan bicara paham dengan apa yang saya katakan.

Orang Ngapak sering merantau. Di perantauan bukan hanya mencari duit, tapi juga mempelajari bahasa daerah tersebut. Meskipun masih sama-sama suku Jawa, banyak banget kosakata asing yang harus dipelajari. Ini semua demi komunikasi lancar dan tidak ditertawakan teman-teman karena logat yang lucu. Aslinya, sih, ogah banget harus belajar banyak bahasa.

Saya pernah merantau ke Jepara. Orang sana enjoy saja waktu mendengar saya ngomong Ngapak. Mungkin karena mereka sudah terbiasa berinteraksi dengan orang Banyumas dan sekitarnya sebelum saya ada di tempat kerja. 

Satu yang paling bikin saya tercengang adalah saat berada di Jawa Timur. Beberapa orang menganggap bahasa Ngapak aneh. Mereka kesusahan mencerna kata-kata asing yang diucapkan dengan cepat dan lirih. Kadang mereka juga mengatakan capek saat berkomunikasi dengan saya karena saya kebanyakan nggak mudeng dengan kosakata bahasa Jawa bagian timur.

Bahasa Ngapak merupakan bahasa Jawa kuno

Tak jarang sampai ada yang bilang, “Wong Ngapak kok nggak iso basa Jawa.” Seketika rasanya dada saya mendidih. Rasanya ingin mengirim jurnal yang menjelaskan bahwa bahasa Ngapak merupakan bahasa Jawa Kuno. Tetapi daripada saya dibilang si kutu buku, lebih baik saya merespons pendek dengan berucap, “Memangnya bahasa Ngapak bukan bahasa Jawa?”

Akan tetapi saya sadar bahwasanya saya memang bukan orang Jawa tulen karena cuma bisa ngomong pakai Ngapak. Padahal bahasa Jawa memiliki tiga tingkatan, yaitu krama ngoko, krama alus, dan krama inggil. Nah, saya sama sekali tidak bisa menggunakan krama alus dan krama inggil. Mungkin itu yang menyebabkan teman saya yang dari Jatim mengatakan saya tidak bisa berbahasa Jawa.

Sebenarnya krama ngoko, krama alus, dan krama inggil sudah dipelajari semenjak SD. Tapi entah kenapa saya paling tidak suka dengan mata pelajaran ini. Selalu mendapatkan nilai di bawah KKM yang berujung remedial. Rasanya lebih mudah mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab ketimbang bahasa yang digunakan sehari-hari.

Terserah orang-orang mau ngomong apa sama saya yang fasih berbahasa Ngapak. Saya nggak mau effort belajar bahasa Jawa dari daerah lain karena seharusnya mereka yang harus belajar bahasa Ngapak. Sebab, kalimat viral mengatakan “orang Ngapak hampir menguasai dunia”. Hal ini dikarenakan orang Ngapak merantau di mana saja, asalkan merupakan sumber cuan.

Penulis: Ratih Yuningsih
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Istilah “Adoh Ratu Perek Watu”, Penyebab Orang Malu Menuturkan Bahasa Ngapak

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version