Ketika membeli sebuah produk, misalnya sepeda motor atau HP, pernahkah Anda berpikir siapa atau apa yang membuat produk itu berfungsi dengan baik? Apa yang membuat sepeda motornya ketika digas bukannya berjalan mundur atau ketika hape dinyalakan tampilan layarnya tidak terbalik?
Saya yakin beberapa di antara Anda pernah memikirkannya. Saya juga yakin ada yang tahu jawabannya. Nah, bagi yang belum tahu, jawaban dari pertanyaan itu adalah, para operator quality control, atau bahasa kerennya Operator QC.
Quality Control adalah bagian yang diberi tanggung jawab untuk memastikan agar produk yang dihasilkan sudah sesuai dengan standar yang disepakati. Mereka adalah elemen penting dari sebuah perusahaan manufaktur. Bisa dibilang mereka adalah lini pertahanan terakhir yang menyelamatkan nama baik perusahaan dari klaim quality dan hujatan konsumen. Semakin tangguh Bagian QC-nya, maka semakin terjamin pula kualitas barang-barang yang diedarkan, yang berimbas pada semakin dipercayanya perusahaan tersebut oleh para konsumen.
Sayangnya, meskipun penting, posisi sebagai operator QC adalah posisi yang tidak enak. Walaupun tugasnya tidak terlalu mengandalkan kekuatan fisik atau menguras pikiran, menjadi operator QC membutuhkan mental baja, karena bekerja di posisi ini berarti harus siap-siap makan hati.
Mengapa? Ketika kualitas produk perusahaan memenuhi ekspektasi konsumen sehingga penjualannya bagus, bagian QC tidak akan disebut-sebut apalagi dipuji. Mungkin karena dianggap sudah tugasnya. Namun ketika terjadi klaim quality yang berimbas pada menurunnya kepercayaan konsumen, maka bisa dipastikan Bagian QC-lah yang paling menanggung akibatnya. Mereka akan dicecar dan disalahkan. Malah terkadang individu yang menyebabkan terjadinya kelolosan akan langsung diberi sanksi berupa teguran dan hukuman plus omelan.
Mungkin maksud perusahaan baik, menghadirkan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Namun metode tersebut akan sangat merugikan individu yang bersangkutan. Dia akan malu, bahkan terkadang ada yang mentalnya ambruk dan kinerjanya menjadi kacau.
Penderitaan Operator QC bukan itu saja. Terkadang mereka menjadi sasaran kemarahan bagian lainnya. Oleh bagian Pengiriman, misalnya.
Bagian QC biasanya memiliki wewenang untuk menghentikan proses produksi jika terjadi abnormal pada produk yang dihasilkan. Penghentian proses produksi ini tentunya akan menyebabkan keterlambatan dalam aliran barang. Akibatnya, stok barang untuk pengiriman pun jadi berkurang.
Ketika stok barang kurang, maka proses pengiriman barang ke konsumen akan tertunda hingga berjam-jam bahkan berhari-hari. Untuk mengejar deadline pengiriman, bagian pengiriman harus pontang panting bekerja mengemas barang berkali-kali lebih cepat dari biasanya. Terkadang mereka harus bolak-balik menjemput barang ke stok output QC. Jika sudah begini pastinya mereka akan kelelahan, lalu mencak-mencak menyalahkan Bagian QC.
Selain Bagian Pengiriman, bagian lain yang seling berselisih dengan Bagian QC adalah Bagian Produksi. Kadang-kadang mereka tidak terima ketika Bagian QC menggunakan wewenangnya untuk menghentikan proses produksi dan meminta perbaikan. Mereka tentunya malas saat dipaksa harus memperbaiki mesin atas abnormal yang terjadi.
Di sini kita ambil contoh di proses produksi pencetakan produk berbahan logam. Ketika terdapat abnormal/cacat pada produk yang dihasilkan, maka harus segera dilakukan perbaikan. Caranya dengan menurunkan cetakan/mold dan membersihkannya.
Ini proses yang rumit dan melelahkan. Apalagi kalau tidak ada cetakan cadangan, mereka harus buru-buru. Pastinya bagian produksi akan malas atau bahkan marah-marah saat diminta melakukan hal tersebut.
Respon negatif tidak hanya berasal dari rekan satu perusahaan. Terkadang pengalaman tidak mengenakkan datang dari para konsumen. Dalam hal ini maksudnya karyawan perusahaan yang kita suplai. Saya pernah mengalaminya
Ketika terjadi klaim dari perusahaan yang menggunakan produk perusahaan tempat saya mengabdi, biasanya perusahaan saya mengutus beberapa orang untuk melakukan double check di tempat perusahaan yang disuplai. Beberapa kali saya menjadi orang utusan untuk double check.
Ketika sampai di bagian stok perusahaan yang mengajukan klaim, saya menanyakan baik-baik di mana produk yang akan kita cek. Namun reaksi yang saya dapatkan sangat tidak mengenakkan. Kata-katanya sih biasa saja, tapi dingin. Sedangkan tatapan matanya menyiratkan kesinisan; seolah-olah berkata, “Matamu picek opo rabun, Cuk? Kok iso lolos?”
Dibilang kesel, ya sudah risiko. Dibilang enggak kesel, ya sebenarnya pengen nonjok, sih. Namun demi profesionalitas, saya memilih bersabar dan menjalankan tugas sebaik-baiknya sambil bersumpah enggak akan mau kalau disuruh “sowan” ke sana lagi.
Ya itulah segelintir kegetiran menjadi operator QC. Di balik tampang-tampang tegar dan kacamata tebal, ada jiwa yang merana. Terkadang kami ingin meringis, tapi tak bisa, malu sama tampang. Dan demi keberlangsungan hidup, kami tidak punya pilihan lain selain menerima takdir ini, sambil tetap bekerja dengan baik sehingga para konsumen puas.
BACA JUGA Belajar Menerima Penolakan Cinta dari Naruto atau tulisan Agung Setoaji lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.