Berbekal uang kurang dari lima ribu rupiah, seorang balita bisa menikmati perjalanan di dalam mobil warna-warni dan diiringi musik yang tengah beken di TikTok. Sembari mobil itu berjalan di jalanan desa yang sempit, si ibu dengan santai menyuapi si anak yang tengah fokus menatap layar televisi di kokpit. Itu adalah pemandangan umum di sekitar saya, dan jelas bukan fiksi. Setiap sore odong-odong dengan beragam hiasan rajin mencari pelanggan. Dan setiap hari ada saja yang menantikannya.
Ia berbentuk mirip Tayo kecil, minus pintu dan jendela. Semua serba terbuka, dan musik bersuara keras selalu mengiringi perjalanannya. Dengan nuansa yang ceria, tak ada anak-anak yang tak menyukainya. Begitu pula para orang tuanya, senang karena tak perlu mengeluarkan uang yang banyak untuk menyenangkan anaknya. Dan sang pemilik odong-odong juga pasti bahagia mendapati mobil miliknya penuh sesak.
Umumnya mereka terbuat dari mobil bekas dengan banyak modifikasi. Beberapa orang menggunakan mobil sejenis pickup, lebih banyak lagi yang menggunakan mini bus lawas bekas angkot. Mitsubishi L300, Daihatsu Zebra, Daihatsu Hijet, Jetstar, hingga Suzuki Carry, adalah beberapa jenis mobil yang jadi langganan untuk dimodifikasi. Beberapa menggunakan body sekaligus mesin originalnya, beberapa yang lain dibangun dengan menggabungkan banyak bagian mobil dari jenis yang berbeda-beda. Mengingatkan saya pada mobil ala film Mad Max.
Di satu sisi, ini adalah hiburan rakyat yang murah meriah. Di sisi lain, ia membuat banyak pihak khawatir akan keselamatan rakyat. Kita tahu odong-odong memang perlu dipertanyakan soal regulasi keselamatan publik. Namun, kita juga tahu jika odong-odong adalah sesuatu yang sangat Indonesia: yang penting masih bisa jalan. Apalagi jika sudah dibenturkan dengan “namanya juga hiburan murah meriah!”.
Kekhawatiran banyak orang memang beralasan. Kelebihan kapasitas hanyalah satu dari sekian hal yang terlihat. Standardisasi pembuatan odong-odong memang tak ada, dan itu memberikan keleluasaan bagi penyedia jasa untuk membuat sesuai yang diinginkan, bukan yang diizinkan. Apalagi saat kita dapati banyak kasus kecelakaan yang melibatkan odong-odong. Selain pengendara dan penumbang, odong-odong tanpa standarisasi dan regulasi yang jelas juga mengancam keselamatan pengguna jalan lain.
Odong-odong memang bisnis yang menggiurkan, itu terlihat dari banyaknya orang yang ikut nimbrung di bisnis ini. Entah sudah ada berapa armada yang lewat di kampung saya, pokoknya mereka ada banyak. Peminat yang tak sedikit, membuat odong-odong tak kekurangan pasar. Anak-anak yang paling sering jadi sasaran pelanggannya. Karena itulah, perlu hukum yang dijalankan, bukan hanya sekedar formalitas. Pasalnya, perihal keselamatan publik kita masih sangat tertinggal. Dan itu bukan hanya tanggung jawab pemilik usaha saja.
Jangankan odong-odong, bus lawas yang rajin mogok dan jika menganut aturan yang ada seharusnya sudah kedaluwarsa, nyatanya masih tetap dibiarkan beroperasi. Kendaraan umum yang hobi ngebut dan ugal-ugalan juga masih tetap tak jera. Begitu juga transportasi publik kita yang masih sangat senang menerapkan prinsip melebihi kapasitas. Sudah banyak korban berjatuhan, kecelakaan sering terjadi, dan pungli sebagai tokoh utama juga bukan rahasia lagi.
Itu juga baru sedikit dari banyak masalah yang sebenarnya terjadi. Yang pasti, kendaraan umum dan sarana publik memang tak pernah menjadi prioritas utama.
Pada akhirnya rakyat yang tak punya akses ke tempat hiburan yang aman, memang hanya akan menerima begitu saja. Saya juga tak serta merta membenci bisnis odong-odong. Misalkan bisnis itu tetap berjalan, tolong dibuatkan aturannya saja. Karena kalau sudah kejadian, ujung-ujungnya hanya si pemilik usaha yang kena hukuman. Padahal ada pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab soal regulasi dan keamanan. Kalau memang tak boleh ya, ditertibkan, jangan hanya pura-pura nggak lihat.
Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Nasionalisme Gojek Tidak Ada Apa-Apanya Dibanding Grab Odong-Odong