Saya bertanya-tanya, di masa pandemi, kenapa tontonan kehidupan rumah sakit dan orang-orangnya justru jadi sangat menarik? Salah satunya drakor Hospital Playlist yang memasuki season kedua setelah sukses meraih atensi penonton di season pertama. Drakor ini mengisahkan persahabatan lima orang dokter dengan spesialisasinya masing-masing dan lika-liku kehidupan mereka.
Bisa dibilang 80% drama ini menampilkan adegan-adegan di rumah sakit. Mulai dari praktik dokter rawat jalan, visit pasien rawat inap, kegawatan di IGD, hingga ketegangan di ruang-ruang operasi. Yang menarik, kenapa banyak penonton Indonesia justru kecanduan mengikuti drakor ini di tengah situasi pandemi yang kian mencekam dan banyak fasilitas kesehatan kolaps?
Kalis Mardiasih di kolomnya bersaksi, menit demi menit di rumah sakit, khususnya di ruang isolasi, berjalan sangat lambat. Dan sepertinya banyak orang juga setuju bahwa kata “rumah sakit” terdengar begitu intimidatif dan sangat ingin dihindari belakangan ini. Namun, mengapa banyak orang tidak alergi, justru sebaliknya malah menggandrungi drakor yang jelas-jelas mengusung judul “hospital” ini?
Maria Monasias Nataliani dalam tulisannya di Terminal Mojok tak ragu-ragu mendapuk Hospital Playlist sebagai drakor favorit sejuta umat. Tidak berlebihan, sebab selain ratingnya yang terus mencetak rekor nun di Korea Selatan sana, di Indonesia pun euforia penonton begitu terasa. Beberapa di antara mereka bahkan tak ragu menjadikannya sebagai alasan hidup.
“Harus sehat sampai setidaknya September, akhir season 2, karena masih pengin tahu dan lihat IkSong (akronim Ik Jun dan Song Hwa, dua sahabat dekat di serial ini) berlayar (menjadi sepasang kekasih),” begitu cuit salah satu fans die-hard Hospital Playlist asal Sedayu, mBantul.
Banyak orang bilang, menariknya drakor satu ini adalah karena ceritanya yang heartwarming. Kesan rumah sakit yang angker dan dingin terpatahkan oleh hangatnya relasi sesama rekan kerja di dalamnya. Begitu pula sikap para dokter yang empati pada pasien.
Namun, alasan itu saja rasanya tidak cukup. Jika ditelisik lebih lanjut, saya menduga, alam bawah sadar para penikmat Hospital Playlist di Indonesia ini sesungguhnya tengah merindukan kondisi rumah sakit yang wajar tanpa adanya pandemi. Menonton Hospital Playlist adalah cara mereka berpaling sejenak dari realitas tragis kondisi rumah sakit-rumah sakit di Indonesia belakangan ini.
Hospital Playlist menyajikan kebalikan dari realita-realita pedih kondisi fasilitas kesehatan Indonesia di masa krisis pandemi Covid-19 belakangan ini. Apa saja?
#1 IGD tidak pernah overcapacity, bahkan tutup, dan tidak ada pasien yang ditolak
Tidak ada tenda darurat di halaman IGD Yulje Medical Center, rumah sakit yang jadi setting drakor ini, demi menampung pasien-pasien yang tak tertampung di dalam IGD. IGD juga tetap buka 24 jam. Pun, sif jaga para nakes masih berjalan ajek. Tidak ada tulisan “TUTUP sampai waktu yang tidak ditentukan” di jendela loketnya saking mereka tak sanggup lagi menerima para pasien.
Semua pasien yang datang tidak sekadar dilayani, melainkan dilayani sesuai slogan jamak BUMN-BUMN seantero NKRI itu, “dengan sepenuh hati.” Perawat atau dokter residen tak sungkan-sungkan menelepon dokter spesialis, yang dengan sekejap akan menjumpai pasien di kasur IGD.
#2 Tidak ada pemandangan nakes-nakes kelelahan karena harus berjam-jam pakai APD
Wajah para nakes yang kelelahan karena harus lembur pastilah ada. Tetapi, tidak ada adegan di mana mereka harus mengenakan APD selama berjam-jam, kecuali saat operasi. Para perawat tidak berjaga di bangsal isolasi sembari mempertaruhkan nyawa mereka. Tidak ada yang harus gugur saat melaksanakan tugasnya.
Mereka masih bisa saling berbagi makanan dan gosip apa saja di kantin atau saat berjaga. Maklumlah, di semesta Hospital Playlist, tidak dikenal virus Covid-19 berikut sederet varian turunannya.
#3 Tidak ada kelangkaan oksigen dan ventilator
Isu pasien kehabisan stok oksigen dan ventilator tidak pernah terjadi di RS Yulje. Oleh karena itu pula, para dokter juga tidak pernah melakukan triase demi memilih satu di antara beberapa pasien gagal napas untuk mendapatkan ventilator.
Memang ada kalanya para penonton Hospital Playlist menangis saat ada janin yang gagal diselamatkan, atau seorang pria yang harus meninggal di meja operasi. Tapi, mereka tidak pernah mendapati fragmen setragis 63 orang meninggal dalam satu hari di rumah sakit lantaran nihilnya stok oksigen.
#4 Dokter-dokter masih sempat nge-band dan melakoni kisah percintaannya
Yang jadi daya tarik utama drama ini tentu saja kisah lima sekawan dokter. Meski ponsel bisa bordering tiap saat menandakan panggilan darurat, mereka tetap bisa melakoni social life-nya: makan-makan dan nge-band tiap akhir pekan. Oh, mereka juga masih bisa berkencan atau setidaknya memikirkan masa depan kehidupan asmara mereka.
Intinya, penonton bahagia melihat para dokter ini bahagia. Sibuk di satu waktu, tapi masih bisa bersenang-senang di waktu yang lain. Yang terakhir itu, rasanya belakangan sangat sulit dilakukan oleh para dokter di negeri khatulistiwa ini.
Banyak yang mengakui, Hospital Playlist dicintai karena karakter dan penggambarannya yang realistis. Yang disebut realistis itu ya mencakup berbagai rasa yang dialami manusia: ada sedihnya, ada harunya, ada senengnya, ada lucunya, juga ada gemes-gemesnya.
Sementara, kebanyakan rumah sakit di Indonesia selama pandemi ini wajahnya terlampau muram, warnanya melulu kelabu. Terasa begitu sureal hingga seperti mimpi buruk yang kita ingin segera bangun darinya.
Begitulah, menonton Hospital Playlist adalah kerinduan melihat kehidupan rumah sakit berjalan wajar-wajar saja. Tidak menghadirkan kabar buruk terus-menerus yang tak ingin dipercayai bahkan oleh pemerintahnya sendiri!
Sumber Gambar: YouTube The Swoon
BACA JUGA Begini Jadinya Jika Drama Korea ‘Vincenzo’ Punya Latar Cerita di Indonesia dan tulisan Khalimatu Nisa lainnya.