Formula 1, the pinnacle of motorsport.
Klaim tersebut, agaknya tak berlebihan. Tak bisa dimungkiri, Formula 1 memang balapan yang amat bergengsi. Mobil dengan mesin mutakhir, pembalap dengan skill pilih tanding, serta brand-brand yang menjejali bodi mobil bukanlah brand kaleng-kaleng. Kalau mereka mengaku puncak dari segala balapan yang ada, wajar saja. Paling . misuh-misuh atas klaim itu.
Tapi, klaim kerap tak sejalan dengan kenyataan. Formula 1 memang bergengsi, tak bisa dimungkiri. Tapi, kalau jadi tontonan yang menyenangkan (terlebih di masa kini), sepertinya bukan. Bahkan, saya berani bilang, nonton Formula 1 sekarang hanyalah buang-buang waktu. Kenapa?
Minim overtake
Saat pertama kali rutin menyaksikan gelaran F1 tepatnya di musim 2018, sering sekali saya nyeletuk, “Lah, udah nih segini doang overtake-nya?”
Buat kalian yang belum tahu, overtake merupakan bahasa inggris yang artinya kurang lebih “menyalip pembalap lain”. Gimana nggak? Setelah lap pertama, which is jarak antar-driver masih sangat dekat, para driver mulai menunjukkan jarak cukup jauh satu sama lain dan membuat overtaking menjadi cukup sulit. Bahkan tidak jarang dalam satu balapan ada durasi sekitar 20-30 lap di mana posisi para driver tidak berubah sama sekali. Buset! kalau begini ceritanya, apa yang ditonton?
Para driver berkeliling lintasan seakan hanya untuk memamerkan indahnya livery dan bentuk mobil mereka. Sudah mirip seperti menonton acara fashion week. Tinggal ke SCBD ini mah.
Mari kita lihat salah satu lintasan balap paling bergengsi dalam kalender Formula 1, yaitu Monaco Grand Prix. Meskipun lintasan legendaris, aksi balap membalap sangat minim terjadi di sini dengan rata-rata hanya 40 kali overtake. Puncaknya ada di Monaco Grand Prix musim 2003 yang mencatatkan rekor balapan dengan jumlah overtake paling sedikit dalam sejarah F1 yaitu nol. Ya, kalian tak salah baca, NOL.
Coba kita bandingkan F1 dengan balapan sejenis. Formula E atau Formula Electric (anggap saja F1 dengan bahan bakar listrik) saat balapan di sirkuit Monaco pada musim 2019 mampu mencatatkan 150 kali pergantian posisi pembalapnya, termasuk 28 kali pergantian pemimpin balapan.
Pemenang mudah ditebak
Selain minimnya aksi di lintasan balap, para penggemar F1 kurang lebih sudah tahu siapa yang akan menang di setiap balapan. Bahkan sudah 4 tahun ini, hanya ada 2 nama yang rutin merebutkan posisi nomor wahid. Siapa lagi kalau bukan Sir Lewis Hamilton dan Si Bocah Ajaib, Max Verstappen. Tinggal dilihat saja siapa yang mendapatkan pole position di sesi kualifikasi.
Sebetulnya ada pembalap lain yang bisa sekali dua kali menang dalam satu musim, hanya saja tidak banyak. Coba kita lihat F1 di musim 2020. Tercatat dari total 22 balapan, hanya 5 dari 20 pembalap yang berhasil mencatatkan namanya sebagai pemenang.
Catatan ini bahkan menurun pada 2022. Hanya 4 dari 20 pembalap yang berhasil menang balapan dengan Max Verstappen memenangkan 15 dari 22 balapan. Supaya bisa lebih tergambar betapa membosankannya melihat pembalap yang itu-itu saja, lagi-lagi kita bandingkan dengan Formula E. Pada musim 2020/2021, Formula E memiliki 12 pemenang berbeda dari total 15 kali balapan. Bisa dibilang, Formula E menjanjikan balapan yang lebih menarik dan tidak terduga dibandingkan F1.
Kesenjangan antartim
Setiap tahun paling mentok hanya 3 tim, dari total 10 tim, yang memiliki mobil mumpuni guna bersaing memperebutkan posisi teratas di setiap balapan. Hal ini sangat dipengaruhi dengan berapa budget yang berani dikeluarkan tim dalam mengembangkan mobil mereka.
Dilansir dari EssentiallySport.com, 3 tim dengan pengeluaran terbesar menjadi top 3 dalam klasemen akhir di musim 2019. Ketiga tim ini secara berurutan adalah Mercedes dengan pengeluaran terbesar yaitu 484 juta dolar, Ferrari ada di angka 463 juta dolar, dan Red Bull 445 juta dolar.
Di urutan keempat, Renault menghabiskan sekitar setengah dari budget Mercedes. Bisa ditebak, Renault sama sekali tidak pernah mencatatkan finish podium musim itu. Williams yang “hanya” menghabiskan 141 juta dolar cuma mampu meraih 1 poin di musim itu dan otomatis menjadi juru kunci dalam klasemen tim. Jadi bisa disimpulkan, semakin kaya tim, semakin besar peluang mereka memenangkan balapan.
Drama
Pengurus Formula 1 tahu betul balapan mereka membosankan. Untungnya mereka memiliki ide brilian untuk tetap mampu memikat fans-fans baru (seperti saya) menonton balapan mereka. F1 memberikan akses kepada para fans untuk melihat dinamika yang terjadi pada masing-masing tim di balik layar. Kalau melihat kanal YouTube resmi Formula 1, setiap balapan selesai mereka merilis percakapan menarik yang terjadi antara sang pembalap dan race engineer. Percakapan lucu hingga konflik di dalam maupun antar tim dapat terungkap di sini.
Video kompilasi yang dirilis menimbulkan rasa haus bagi para fans untuk mengulik lebih jauh tentang dinamika apa yang terjadi di masing-masing tim. Hal ini yang menjadi motivasi kerjasama F1 dengan Netflix membuat series Drive to Survive. Singkatnya, series dari Netflix ini mengangkat setiap drama yang terjadi pada tiap musim dan menambahkan bumbu pemanis agar lebih dramatis.
Kesimpulannya, Formula 1 sudah kehilangan esensinya sebagai ajang balapan. Istilah Jawa “ora ngurusi dapuranmu” sepertinya tidak relevan karena justru lebih menarik apa yang terjadi di balik layar ketimbang balapannya sendiri.
Jelas sekali bahwa banyak yang harus diperbaiki oleh pihak penyelenggara terkait hal ini guna mengembalikan marwah F1. Cara yang bisa dicoba adalah dengan menerapkan budget cap. Cara ini tergolong ampuh karena sudah diterapkan di Formula E dan menjadi salah satu aturan kunci yang mampu memastikan semua tim memiliki mobil yang setara serta menyajikan balapan sengit di setiap pekan.
Namun kembali lagi, semua bergantung kepada kemauan, kesadaran, dan kesiapan Formula 1 untuk bermawas diri. Kalau memang puas jadi medioker ya, mau gimana lagi.
Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Melihat Kisah Venezuela dan Maldonado, Indonesia Harusnya Malu kepada Rio Haryanto