Satu lagi film adaptasi sinetron tersaji. Nokta Merah Perkawinan yang merupakan sinetron populer era 90-an dibangkitkan kembali melalui format film yang diarahkan Sabrina Rochelle Kalangie. Saya asing dengan sinetronnya, malah kayaknya belum pernah nonton.
Satu-satunya informasi yang saya tahu adalah sinetronnya punya banyak adegan tampar menampar. Banyaknya cuplikan dan meme yang keluar untuk merespons hadirnya film ini ya cuma adegan-adegan tersebut. Apa sinetron ini yang mengawali populernya adegan tersebut di sinetron-sinetron Indonesia? Melihat cuplikan sinetron yang terangkat dalam merespons hadirnya film Noktah Merah Perkawinan, saya sempat bertanya-tanya kenapa judul ini dipertimbangkan untuk dibuat filmnya.
Ternyata hasilnya cukup mengejutkan. Filmnya berhasil meyakinkan saya bahwa konflik rumah tangga antara Ambar dan Gilang rasanya memang perlu dipertimbangkan untuk ditonton banyak orang, khususnya bagi mereka yang sedang mempersiapkan, mengarungi, atau belajar tentang pernikahan.
Pada awalnya, Noktah Merah Perkawinan memang berjalan lambat dan sabar, memperlihatkan rutinitas para karakternya terlebih dahulu. Namun, justru dari situ kita melihat bahwa hubungan rumah tangga Ambar dan Gilang tidak baik-baik saja. Keduanya sedang melalui masa sulit, dengan interaksi yang dingin antara keduanya.
Satu per satu masalah tersingkap, bahwa hubungan mereka sedang bermasalah karena masing-masing orang tua yang ikut campur, memberi andil retaknya rumah tangga. Namun, sumber masalahnya lebih rumit dari satu kasus tersebut. Ambar merasa sedang berusaha membenahi masalah yang ada di pernikahannya, sayangnya Gilang adalah orang yang menghindari konfrontasi, membuat tiap masalah selalu tak bisa dibicarakan, apalagi diselesaikan.
Bibit masalah baru pun muncul dengan hadirnya Yuli sebagai orang ketiga. Untungnya, Noktah Merah Perkawinan berhasil terhindar dari mengemas konflik pelakor dengan cara yang kampungan penuh stigma. Betul, film ini berhasil tampil elegan dalam mengemas cinta segitiga. Ketimbang memojokan dan menghakimi salah satu pihak, filmnya berhasil memberi dimensi pada tiap karakter, termasuk pada Yuli, yang menanggung risiko akibat jatuh cinta pada orang yang salah. Dan buat saya, aspek “pelakor” dalam film ini adalah aspek berhasil dikemas secara kekinian, dengan kata lain dimodernisasi. Dan masih ada beberapa hal lain yang berhasil dikemas kekinian dan relevan.
Secara cerita, Noktah Merah Perkawinan membawa isu persoalan komunikasi dalam rumah tangga, dan itu relevan buat penonton masa kini. Dengan penekanan fokus isu tersebut, film ini terasa berhasil menangkap inti cerita sumber aslinya dengan kemasan masalah yang lebih kekinian.
Bukan cuma pengemasan masalah atau konfliknya, Nokta Merah Perkawinan ini juga mengesankan dalam hal kemasan filmnya. Senada dengan tempo film di durasi awal yang cenderung lambat, tempo tersebut terasa cocok untuk menggambarkan situasi perasaan para tokohnya. Film ini berusaha sebisa mungkin menghindari adegan-adegan konfrontasi langsung, sehingga membuatnya terasa natural bahwa marahannya orang menikah yang selalu tinggal bersama mungkin memang seperti itu, banyak saling mendiamakan, banyak sindir-sindiran, dan banyak menghela napas.
Bukan berarti tidak ada adegan konfrontasi, tentu saja adegan tersebut harus ada. Cerdiknya, selain karena faktor ciri khas sinetronnya yang tampaknya punya banyak adegan bertengkar, dalam film ini adegan pertengkaran hanya dilakukan sesekali, tapi momentumnya sangat diperhitungkan.
Puncaknya adalah adegan pertengkaran di dapur. Keduanya saling adu argumen, tentunya bukan argumen yang kaleng-kaleng. Dari argumen pertengkaran tersebut, penonton yang sudah hanyut dan terasa terlibat akan ikut pusing menentukan siapa yang salah karena baik Ambar dan Gilang sama-sama memiliki opini yang masuk akal.
Bukan cuma itu, soal ciri khas lain sinetron perihal tampar menampar, juga cerdik dieksekusi dengan kemasan baru yang lebih relevan dengan penonton masa kini. Sebagai film dewasa yang berusaha membagikan insight perihal hubungan pernikahan ke penontonnya, tentu filmnya tidak mau memiliki adegan yang menjurus ke kesan KDRT. Gantinya, adegan tamparan diciptakan dengan maksud menghukum diri sendiri. Dengan begitu, adegan itu tetap ada dengan modifikasi, namun tetap berhasil mengeluarkan dialog khasnya, “Tampar aku, Mas, tampar!!!”
Daripada nampar Mbak Marsha Timothy, mending Mas Gilang nampar cocot tetangga yang seenaknya nyuruh orang nikah cepet aja, deh.
Bagi yang khawatir kalau nonton film ini bikin takut nikah, tenang, ujung filmnya akan memberi kita rasa optimis, kok. Setidaknya, Noktah Merah Perkawinan memberi tamparan pada kita semua bahwa pernikahan tidak cuma yang indah-indahnya saja.
Berkat film ini, setidaknya kita jadi bisa lebih mempersiapkan diri menghadapi sisi-sisi menakutkan dari pernikahan. Bahwa menikah itu akan membuat kita menghadapi pasangan yang memiliki pola komunikasi yang berbeda, menghadapi intervensi orang tua, hingga usaha memahami pasangan yang tak akan pernah berhenti sepanjang usia.
Penulis: Muhammad Sabilurrosyad
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Miracle in Cell No. 7: Dikemas Klise, tapi Tetap Ampuh Bikin Nangis.