Dulu petani di desa saya kerap menyambut musim hujan dengan penuh suka cita. Memilih benih terbaik untuk disemai, dengan harapan hasil panen kali ini jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Ari Wibowo pada dekade 1980-an juga sempat menciptakan lagu “Kodokpun Ikut Bernyanyi”. Tapi, beberapa tahun belakangan, hujan tak lagi menghadirkan suasana romantis layaknya dulu. Terbukti, makin sedikit musisi yang menelurkan karyanya atas inspirasi hujan. Di beberapa daerah, hujan bahkan kerap menimbulkan bencana alam.
Mulai dari erosi bibir sungai yang menggerus perkampungan, tanah longsor, dan yang paling umum yakni banjir. Demikian di wilayah kabupaten yang saya tinggali, Cilacap. Bencana banjir dan tanah longsor dari wilayah ini kerap mewarnai pemberitaan beberapa media cetak lokal dan online.
Saya pernah bergabung dalam persatuan Relawan Siaga Bencana. Memang melihat kondisi demikian, terutama anak-anak yang menjadi korban bencana alam dan harus tinggal di posko pengungsian membuat hati terenyuh. Banyak pihak yang tergerak untuk memberikan bantuan semampunya. Baik yang disalurkan secara mandiri, maupun kolektif melalui lembaga dan yayasan sosial.
Yang menarik, peristiwa bencana alam ini kerap diikuti kemunculan mas-mas dan mbak-mbak yang siaga di perempatan lampu merah dan beberapa sudut kota. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, baik mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, komunitas, dan lain sebagainya. Dengan latar belakang yang berbeda, tujuan mereka sama, yakni mengetuk kepedulian sosial dari pengguna jalan yang melintas.
Sebenarnya upaya ini bagus, sangat bagus malah. Tapi, kalau saya pikir-pikir lagi kok ada beberapa hal yang malah berpotensi menjadi kontraproduktif. Pertama, kegiatan semacam ini rawan diikuti (baca: ditiru) oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Memang, kita harus husnuzan kepada saudara sebangsa dan setanah air. Akan tetapi, di era gombalisasi semacam ini kadang kebaikan kita kerap disalahgunakan.
Bukan tidak mungkin to? Dengan mengatasnamakan komunitas sosial tertentu atau organisasi yang bahkan sama sekali tidak kita kenal, uang yang kita sumbangkan tidak pernah sampai ke tangan yang berhak. Siapa yang memastikan kardus kardus itu berlabel organisasi resmi? Siapa yang akan mengawasi kalau tumpukan receh itu akan sampai, atau minimal dibelikan nasi bungkus buat korban bencana? Apakah ada auditor independen yang akan mengawasi cash flow dari dana yang dihimpun?
Tentu saja, saya sangat ikhlas memasukan selembar atau dua lembar uang berwarna hijau daun untuk para korban bencana alam. Tapi, memasukkan uang ke kardus yang berseliweran di perempatan lampu merah, saya rasa itu bukan ide terbaik. Saya bilang tadi hal ini kontraproduktif. Terutama ketika pemerintah kota setempat berupaya menggalakan kawasan tertib. Memang, mereka yang mengumpulkan sumbangan bukanlah kelompok PGOT, atau pedagang kaki lima. Tapi, bukankah aktivitasnya sama?
Kedua, ini masih menyangkut alasan yang pertama tadi. Kegiatan semacam ini masih mencerminkan pola pikir dan mentalitas masyarakat kita yang meyakini tangan di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah. Betuuul. Itu sangat betul. Tapi, kenapa kita tidak memulai sesuatu yang baru, mengadakan kegiatan sosial untuk membantu korban bencana alam dengan lebih elegan? Tidak “mengemis” kepada pengguna jalan? Sesuatu yang kreatif yang bahkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat lainnya?
Saya menuliskan hal ini tentu bukan tanpa solusi. Sekadar berbagi pengalaman, kami (saya dan beberapa anggota relawan bencana alam lainnya) pernah mengadakan kegiatan amal yang sifatnya jauh dari kegiatan semacam itu. Dengan latar belakang profesi yang berbeda, kami mengadakan seminar kecil-kecilan ke sekolah dan kampus di kota kami. Kebetulan ada anggota kami merupakan praktisi jurnalistik, kami mengadakan seminar jurnalistik.
Ada anggota kami yang berasal dari persatuan organisasi broadcasting, kami mengadakan pelatihan broadcasting, dan sebagainya. Tentu selama berkegiatan kami menyampaikan misi utama kami bahwa dari seminar tersebut, peserta kami minta menyumbangkan dana seikhlasnya tanpa paksaan untuk membantu korban bencana alam. Di luar dugaan, hasil yang kami peroleh jauh dari perkiraan. Tidak hanya peserta, banyak pula guru-guru dan wali murid yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Aksi tersebut tidak hanya berfokus pada pengumpulan dana, tetapi penyaluran dan seluruh mekanismenya terdokumentasi dengan baik. Kami bahkan bekerjasama dengan media massa untuk mempublikasikan kegiatan ini. Bukannya bermaksud ria, tetapi tujuannya untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa tiap rupiah uang yang mereka sumbangkan sampai kepada yang berhak dengan selamat tanpa kurang suatu apa.
Nah dengan kondisi saat ini, jujur saya nelangsa. Terutama buat mas-mas dan mbak-mbak yang ganteng dan cantik, masih ada cara elegan untuk mengumpulkan sumbangan bencana alam. Terlepas dari independensi dan kejujuran para relawan itu sendiri, mari kita berkreasi, merumuskan kegiatan yang lebih bermanfaat ketimbang mengedarkan kardus-kardus itu dari satu kendaraan ke kendaraan lainnya. Katanya millenial?
Saya paham, apabila tulisan ini naik tayang tentu beberapa pihak akan memberikan komentar bernada kecaman. Betul, saya benar-benar memahami karena tipe pembaca media online kita hampir sama dengan tipe-tipe netizen di Info Cegatan Jogja saat menanggapi postingan yang ditulis Mas Fatony Royhan Darmawan. Tapi memang begitulah kondisinya, tiap peristiwa tentu menuai pro dan kontra.
BACA JUGA Bukan RoboCop atau Transformers, T-800 Adalah Robot Tercanggih di Dunia dan tulisan Dony Rudi Bintoro lainnya.