Kendati di Indonesia begitu banyak orang mempunyai kendaraan bermotor, entah itu sepeda motor atau mobil, tidak semua orang mampu berkendara dengan baik. Berkendara dengan baik tak sekadar menyalakan kendaraan bermotor melalui starter, selah atau apa pun, dan menarik atau menginjak gas. Tetapi juga tentang menentukan kapan harus menyalakan lampu sein ketika belok, bagaimana cara belok yang baik dan benar, kapan momentum yang tepat saat menyeberang, berapa kecepatan minimal seorang pengendara di jalan-jalan besar, dll.
Dalam istilah Jawa, orang yang sudah benar-benar pandai berkendara disebut iguh. Seorang anak SMP mungkin sudah bisa menyalakan sepeda motor, menarik gas, mengatur kecepatan di jalan, tetapi belum tentu ia iguh. Sangat mungkin kalau di jalan besar masih belum tepat menentukan kapan lampu sein dinyalakan ketika belok, bagaimana cara belok yang benar, dan seterusnya, dan seterusnya.
Berdasarkan pengamatan saya, salah satu kekurangan banyak orang perihal iguh dalam berkendara dengan kendaraan bermotor adalah dalam urusan belok. Ada yang menyalakan lampu sein mendadak atau malah lupa, ada yang bingung kapan memutuskan belok ketika di jalan besar. Menyalakan lampu sein secara mendadak atau malah lupa menyalakan lampu sein memang berbahaya. Namun, saya kira kesadaran menyalakan lampu sein secara tepat ini lebih besar dimiliki para pengendara dibanding ketepatan menentukan kapan saatnya belok.
Dalam urusan belok ini, sering kali ketika belok kanan di perempatan atau pertigaan yang ramai dan tidak ada bangjonya, banyak yang tidak sabar dan bingung. Akhirnya memutuskan untuk belok dengan cara ngiris tempe, begitu istilah populernya dalam masyarakat penutur bahasa Jawa.
Seperti apakah belok ngiris tempe itu? Coba diamati kebanyakan seperti apa tempe itu diiris. Kalau tahu jelas, kebanyakan bentuknya kotak. Kecuali dari awal memang disebut tahu bulat atau tahu bakso yang seringkali berbentuk segitiga. Kalau tempe, kendati ada juga yang kotak, tetapi sangat umum diiris berbentuk segitiga. Yang membedakan segitiga dengan kotak adalah pada segitiga ada garis miringnya sehingga bisa membentuk tiga sudut, sementara kotak lurus-lurus sehingga membentuk empat sudut.
Belok ngiris tempe adalah belok dengan cara membentuk garis miring. Orang yang belok memang sudah menyalakan lampu sein, tetapi karena takut salah kalau menunggu di tengah jalan, atau takut kelamaan karena kondisi jalan yang ramai, ia ambil jalan pintas dengan segera berbelok padahal jaraknya masih agak jauh dengan belokan. Kemudian orang yang belok mepet di sisi kanan.
Mepet di sisi kanan mendekati belokan itulah yang berbahaya. Karena arah berlawan orang yang belok kiri, yang tentu saja umumnya mepet pada sisi kiri akan bertemu dengan orang yang belok dengan cara ngiris tempe yang mepet pada sisi kanan. Akibat tidak fatalnya adalah kaget tetapi terkendali. Akibat fatalnya bisa tabrakan atau kalau kaget tidak terkendali dan jalan itu bersisian dengan sawah atau malah jurang, orang yang kaget tersebut bisa jatuh ke sawah atau jurang.
Menurut saya, belok dengan cara seperti itu adalah belok dengan cara pengecut. Mengapa? Pertama, belum saatnya belok sudah belok duluan. Sama halnya orang yang mengantre menyerobot antrean. Kedua, itu menunjukkan bahwa ia belum iguh dalam berkendara.
Lantas, bagaimana cara belok yang tepat? Pertama, menyalakan lampu sein tidak mendadak, kalau dihitung-hitung 5-10 meter sebelum belokan lah. Kedua, Melihat kondisi dari arah berlawan dan juga melihat di spion kanan, apakah akan ada orang yang menyalip kita dari sisi kanan. Kalau belum memungkinkan untuk belok, tunggu di tengah jalan—dengan tetap menyalakan lampu sein tentunya—yang dekat dengan belokan. Setelah memungkinkan, baru belok.
Saya kira, pada keadaan-keadaan seperti itulah ujian SIM dengan jalur yang benar ada fungsinya. Paling tidak orang yang memang secara umur sudah memenuhi syarat untuk untuk memiliki SIM itu bisa belajar tentang bagaimana cara berkendara yang baik, terutama di jalan-jalan besar yang ramai.
Saya tidak hendak menceramahi orang-orang supaya bikin SIM melalui jalan yang benar. Toh, praktik-praktik semacam nembak SIM itu sudah dinormalisasi di masyarakat. Yang jelas, kalau seseorang sudah berani berkendara dengan kendaraan bermotor, ya harus bertanggung jawab atas keputusannya. Tidak “sak enak udele dewe” cara berkendaranya. Berusaha untuk saling menyelamatkan satu sama lain. Yang sudah hati-hati saja kadang tidak selamat, apalagi yang tidak.
Sialnya, di belokan yang selalu saya lewati menuju tempat kerja, saya sering menemui orang dengan belok dengan cara ngiris tempe. Saya kaget, orang tersebut juga kaget. Untung saja nasib baik masih mau menyertai saya dan orang yang belok dengan semacam itu.
BACA JUGA Udah, Ngaku Aja Kalau Nyanyi Sambil Berkendara Itu Asyik Betul! dan tulisan Dani Ismantoko lainnya.