Orang-orang di tempat saya itu paling suka mencocok-cocokan. Dari hal-hal remeh, sampai yang sentimentil. Dari hal-hal yang lumrah sampai yang sama sekali sukar dinalar, semua bisa dihubung-hubungkan. Barangkali kalau ada perlombaan adu ilmu cocokologi, orang-orang di sekitar saya itu pasti akan jadi juara. Bahkan Anji dan Jerinx saya yakin bakal nangis darah. Saya akan cerita lebih lanjut tentang cocokologi aneh yang melabeli orang hobinulis pasti lancar ngerjain skripsi.
Sebenarnya lambat laun, kebiasaan main cocokologi ini mengusik kehidupan saya. Hidup saya yang semula tenang, tentram, dan senantiasa berbahagia, mendadak penuh dengan kemasygulan semenjak saya jadi korban cocokologi. Ironisnya, pelakunya bukan cuma teman saya, tapi juga orang tua saya sendiri.
Hal itu saya alami tatkala mulai menjabat sebagai mahasiswa tingkat akhir. Yang sudah tak ada lagi perkuliahan, tapi masih harus berperang secara terbuka dengan skripsi. Itu semakin sulit lantaran saya mendapat perlawanan yang cukup sengit dari dua kubu.
Satu dari kubu rasa malas, yang kedua dari kubu orang-orang yang sukanya main cocokologi bahwa saya bisa ngerjain skripsi dengan mudah karena memiliki hobi menulis.
Saya nggak menampik bahwa saya memang punya hobi nulis. Tapi, saya juga harus mengakui bahwa saya adalah mahasiswa biasa. Sama seperti mahasiswa pada umumnya, saya juga kadang malas-malasan dan merasa kesulitan dalam menggarap skripsi. Meskipun baru tahap pembukaan alias proposalnya doang.
Ihwal kemalasan, mungkin semua orang mengalaminya dan nggak bisa diganggu gugat. Namun, kalau diukur-ukur secara sistemik dan empirik, teman saya yang tak punya hobi menulis justru lebih mampu dalam urusan ngerjain skripsi daripada saya. Buktinya mereka udah kelar duluan.
Tapi, ini penting saya utarakan, jujur saja selain urusan asmara, terkait pemahaman terhadap penulisan skripsi dan tetek-bengeknya, saya juga mengalami cukup ketertinggalan. Ibaratnya yang lain udah lima langkah menjelang finish, saya masih bersiap-siap lari.
Musababnya saya termasuk komplotan mahasiswa yang malas membaca panduan penulisan skripsi. Kalau boleh jujur, saya lebih suka dan tertarik membaca LKS daripada panduan penulisan skripsi. Bukan apa-apa, cuma terkadang kalimat-kalimat di buku panduan penulisan skripsi itu lebih sukar dipahami daripada jokes-nya Coki Pardede.
Sudah kalimatnya disusun dengan gaya akademis tingkat tinggi, dipahami susah setengah mati, eh pada realitanya masih banyak beberapa bagian buku yang nggak sesuai, manakala dihadapkan dengan dosbing atau staf jurusan.
Walau sudah membaca bukunya cermat-cermat, pun nggak bisa menjamin apa yang ditulis sesuai. Salah-salah, mahasiswa yang justru diserang balik oleh dosen. Jika keliru, mahasiswa dianggap nggak baca buku panduannya.
Akhirnya, saya memilih bertanya ke teman untuk sekadar tahu sistematika menulis dan ngerjain skripsi. Itu baru soal sistematika penulisan, belum soal metodologi penelitian, variabel penelitian, dan judul. Nah judul ini yang terkadang bikin rumit.
Setiap mahasiswa mau lulus jalur skripsi wajib melewati fase-fase tertentu agar judul penelitian bisa ditekken dan mulai mengerjakan. Kalau nulis sembarang dan dikirimkan ke media itu gampang. Misalnya terdapat kekurangan di bagian judul, redaktur yang akan mengubahnya supaya lebih bagus. (Jangan ditiru, kalian juga harus belajar nulis judul bagus hahaha-red)
Kalau skripsi, mahasiswa mungkin akan dibimbing untuk menentukan judul. Sekadar membimbing sih nggak masalah. Tapi, masalahnya ketika terjadi perbedaan antara satu otoritas dengan otoritas lain, itu yang bakal jadi masalah.
Maksudnya gini, saat judul skripsi diterima oleh dosen pembimbing akademik, kemudian diajukan ke jurusan itu belum tentu di-acc. Buntutnya mahasiswa harus mengulang lagi mengajukan judul dari dosen pembimbing akademik. Beberapa mahasiswa mungkin juga akan mengalami kendala serupa. Mesti bolak-balik mengurus ke staf jurusan, dosen, dst. dst..
Ya mending kalau dosennya enak ditemui, jika tidak, tentu penyakit malas akan menyerang. Kayak saya ini, judul sudah lancar semua, di-acc dan dapat dosbing. Eh, lha kok, sampai dosbing suruh diubah judulnya. Yang itu artinya saya harus ke jurusan lagi.
Nggak akan lama kalau yang diminta ganti cuma judulnya. Tapi, lain ceritanya jika konteks yang akan diteliti yang disuruh ganti. Beruntung saya nggak begitu, tapi permasalahan saya terletak di variabel dan konten proposal.
Di mata orang lain, kendala-kendala tadi seolah nggak ada apa-apanya bagi saya. Saat saya dihubungi seorang teman, dan dia nanyain saya progres ngerjain skripsi, dia langsung mengklaim dengan statemen bahwa saya pasti mudah ngerjain skripsi karena hobi nulis. Atau teman saya itu bakalan bilang, orang yang biasa nulis pasti ngerjain skripsinya bakal lancar.
Sungguh saya membayangkan hal itu menjadi kenyataan. Seandainya memang hobi menulis ini bisa betul-betul mendukung kecepatan dan ketepatan saya dalam mengerjakan skripsi. Tapi seperti biasa, realita tak sesuai ekspektasi.
Saya justru lebih sering menulis artikel daripada merampungkan skripsi. Selain itu masalah berikutnya adalah protokoler penyusunan skripsi yang mau nggak mau harus saya ikuti. Kalau biasanya nulis nyantai, ini harus bisa menulis dengan aturan ketat akademik.
Sedangkan teman saya yang kurang hobi menulis malah cekatan merampungkan skripsi dan sukses membahagiakan orang tuanya. Saya ucapkan selamat. Sedangkan saya sendiri hanya sanggup untuk bungkam ketika orang tua ikut-ikutan mengira bahwa saya bisa dengan mudah menyelesaikan skripsi karena terbiasa menulis.
Pengin sekali saya bilang ke orang tua bahwa menulis artikel dan menulis skripsi merupakan dua hal yang berbeda. Namun, apalah hendak dikata, mulut saya seakan terkunci kala orang tua menodong pakai cocokologi begitu.
BACA JUGA Panduan Membedakan Kota dan Kabupaten Pekalongan biar Nggak Salah Lagi! dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.