Hape kamu mulai sakit-sakitan? Nggak segahar dulu lagi? Nggak apa-apa, ganti aja. Nggak usah sentimentil dengan menyebut ada banyak cerita di balik hape itu. Kalau memang berat dilepas, disimpan juga boleh. Disimpan loh ya, bukan dipaksakan untuk tetap dipakai. Apalagi dengan alasan hemat alias nggak mau boros.
Serius, tidak ganti hape dengan alasan berhemat itu sungguh konyol. Begini, dalam KBBI, hemat berarti berhati-hati dalam membelanjakan uang, tidak boros, cermat. Nah, kalau memang ganti hape karena sudah tidak beroperasi dengan baik, ya namanya bukan boros. Kan emang perlu. Selain itu, ganti hape baru bahkan upgrade ke yang spesifikasinya lebih canggih itu. Ini alasannya.
Pertama, biar nggak ngrepotin teman
Saya punya teman. Dia ini orang sibuk yang nggak cuma menangani satu dua pekerjaan, tapi banyak dan sering keluar kota pula demi pekerjaannya itu. Sayangnya, hape dia kentang, Gaes. Gampang banget mati. Jadi kadang ditelpon nggak bisa, dikirimi chat WhatsApp pun centang satu. Pas ditanya, jawabannya sama, “Hape aku mati.”
Kalau lagi kumat, teman satu ruangan jadi andalan dia untuk urusan hubung-menghubungi orang. “Tolong dong telponin si A, WA-in si B, hape aku mati.” Begitu pun kalau kita ada perlu mendesak dengan blio. Mau nggak mau menghubungi teman yang satu ruangan, “Ada Bu X? Saya mau ngomong dong sama Bu X.” Begitu. Repot, kan jadinya?
Perihal hapenya yang hobi mati ini, sudah banyak teman yang mengingatkan dia untuk segera ganti. Lha masa orang sibuk hapenya matinan, kalah sama kaum rebahan. Tapi, jawabannya selalu sama: hemat.
Kedua, tuntutan
Hare gene, rasa-rasanya hampir semua hal serba online. Untuk itulah sebagai manusia yang hidup di jaman ini, kita dituntut untuk memiliki alat penunjang komunikasi yang mumpuni. Nggak perlu yang merk buah itu, keluaran China juga nggak masalah. Yang penting nggak matinan. Biar dihubungi gampang, gitu.
Jadi, alangkah konyolnya jika ada orang yang notabene mampu, tapi masih mempertahankan hape yang sudah sakit-sakitan. Orang seperti ini mungkin sebenarnya adalah warga Kerajaan Majapahit yang terlempar ke tahun 2020. Jadi dia nggak ngerti betapa pentingnya hape sebagai alat komunikasi.
Dulu, saya juga termasuk orang yang ogah ganti hape. Pikir saya, ah yang penting masih bisa buat WhatsApp sama telpon. Paling baterai cepat habis doang, di-charge cukup. Begitu pikir saya. Tapi, ternyata saya salah. sekarang bukan lagi sebatas telpon dan kirim pesan saja. Ada proses kirim dan terima file, install aplikasi penunjang, dll. Artinya, hape butuh ruang penyimpanan yang cukup, sesuatu yang saya tidak miliki. Akhirnya, saya mantapkan diri buat upgrade ke jenis yang ruang penyimpanannya lebih besar. Kesel tau bolak-balik ada notifikasi “ruang penyimpanan Anda penuh”. Rasanya sakit kaya dapat e-mail penolakan dari Terminal Mojok. Hiks.
Ketiga, ganti mindset
Ganti hape itu tidak sama dengan gaya gayaan. Ini yang harus kita pahami. Ganti hape, apalagi jika sudah tidak mumpuni, adalah suatu kewajaran. Nggak perlu takut dicap nggaya oleh orang lain hanya karena kita beli baru. Kenyataannya, kita beli karena butuh. Perkara yang kita beli adalah keluaran terbaru, ya bagus. Artinya kita diberi kelapangan rezeki untuk hal tersebut.
Keempat, lebih produktif
Hape yang performanya menurun, akan berpengaruh juga dengan kinerja kita. Bayangkan situasi ini, ada beberapa hal mendesak yang harus kita urus, ehhh… tiba-tiba nggak mau nyala. Atau lagi telpon-telponan penting, tau-tau mati. Kesel, kan? Belum kalau ada beberapa file yang nggak bisa kita buka gara-gara ruang penyimpanan penuh. Duh, pengen nangis aja.
Artinya, kalau memang punya hape baru bisa bikin kita lebih produktif, kenapa nggak? Alangkah bagusnya kalau energi yang kita keluarkan untuk misuh-misuh gegara nge-hang, kita pakai untuk hal lain. Jadi, sekali lagi, jangan konyol dengan mempertahankan hape yang sudah sakit-sakitan. Upgrade itu sah-sah saja kok, terutama buat kamu-kamu yang memang kerjaannya banyak berhubungan dengan orang lain. Yang penting ada duit buat beli.
BACA JUGA Lomba yang Pemenangnya Ditentukan Jumlah Like Terbanyak Itu Menyebalkan atau artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.