Prasangka buruk lainnya, mungkin pemerintah setempat bingung bagaimana membuat tugu yang menggambarkan Kota Angin karena seperti yang kita tahu, angin tidak berbentuk, berwarna, maupun berbau. Nah, kalau ini persoalannya, mending mereka pesan ke seniman yang membuat patung biawak di Wonosobo. Saya yakin beliau bisa menanganinya karena punya daya kreativitas yang lebih tinggi.Â
Potensi yang terlewat begitu saja
Selain tidak ada simbol yang secara fisik menunjukkan Nganjuk Kota Angin, saya merasa pemerintah setempat tidak memanfaatkan julukan itu dengan baik. Padahal kondisi alam yang berangin itu bisa jadi potensi besar dari sisi energi terbarukan maupun wisata. Â
Keresahan saya ini juga pernah diungkapkan oleh komika lokal, Pras Jimbun melalui reels Instagram. Beliau membayangkan kalau Nganjuk punya pembangkit listrik tenaga angin dengan menggunakan kincir angin. Bukan cuma bisa mengurangi beban PLN, tapi juga bisa menghemat pengeluaran rumah tangga.
Saya jadi membayangkan, seandainya kincir angin itu betulan ada dan berdiri megah di pinggiran sawah dengan latar Gunung Wilis yang anggun. Pasti banyak orang tertarik melihatnya atau menjadikannya studi banding. Belum lagi kalau ada festival tahunan terkait angin digelar di sana seperti festival layang-layang atau festival kincir angin. Aduh, pasti wisatawan dari berbagai daerah berjibun datang seperti festival balon udara di Wonosobo itu. Bukan tidak mungkin hal itu mendongkrak ekonomi sehingga warga sekitarnya lebih sejahtera. Bahkan, bisa jadi Nganjuk nantinya punya julukan baru, Nederland Van Java misalnya. Apabila di-branding dengan apik, saya percaya potensi wisatanya akan besar.Â
Ada banyak hal bisa dikulik dari julukan Nganjuk Kota Angin. Sayangnya itu semua tidak digarap dengan apik oleh pemerintah maupun warga setempat. Julukan ini sebatas kata-kata yang digaungkan dari generasi ke generasi tanpa ditilik dengan lebih serius potensinya. Daripada cuma jadi kata-kata yang sia-sia dan mubazir, lebih baik julukan ini dihapuskan saja. Toh tugu atau landmark fisik lainnya juga belum dibuat. Kalaupun julukan ini dihapuskan, mungkin tidak ada orang yang bakal menyadarinya juga.Â
Penulis: Desy Fitriana
Editor: Kenia IntanÂ
BACA JUGA Sebagai Warga Asli Nganjuk, Saya Iri dengan Tugu Biawak di Wonosobo
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















