Tinggal di kota Sumenep selama kurang lebih satu bulan bikin saya rindu kota kelahiran. Sebab di Sumenep, saya agak bosan makan sate Madura. Tapi, luar biasanya, tinggal di kota yang dijuluki kota keris itu, saya jadi tahu salah satu tradisi khas orang sana. Nama tradisinya arebbe atau ater-ater, tradisi dalam rangka menyambut bulan puasa. Kebetulan, saya tinggal di sana pas mau bulan puasa.
Kata warga setempat, disebut tradisi arebbe, masyarakat mereka ketika mau memasuki bulan puasa atau seminggu mau lebaran suka saling mengantarkan makanan kepada tetangga maupun kerabat dekat. Kesannya, seperti berbagi makanan antar satu kampung atau desa. Jenis makanan yang dibagikan tidak perlu mewah, katanya. Saya masih ingat, dulu saya diberi sepiring nasi dan opor ayam sama warga sana. Tradisi ini, kata mereka, masih terus hidup hingga sekarang.
Tradisi ini sekilas mirip tradisi ngaliwet khas Sunda yang terus hidup dari generasi ke generasi berikutnya. Istilahnya, turun-temurun. Tapi, bedanya, acara ngaliwet tidak hanya dibikin pas mau bulan puasa seperti tradisi arebbe. Sebab ngaliwet, bisa dibikin kapan saja. Bahkan, acara ngaliwet ini bagi orang Sunda yang doyan makan nasi liwet kadang rutin dilakuin seminggu sekali.
Bagi masyarakat Sunda, tradisi ngaliwet ini unik. Keunikan ngaliwet terdapat di cara memasak nasinya. Sebab memasak nasi liwet, perlu keahlian dan ketelitian. Makanya, saya kalau ikut liliwetan, saya tidak mau di bagian memasak nasi. Takut gigih, euy. Paling, saya di bagian ngiris bawang merah, bersihin ikan asin, dan bagian-bagian yang kiranya mudah buat saya lakukan.
Dalam memasak nasi liwet, mungkin cara saya ini berbeda dengan teman-teman orang Sunda lainnya karena tiap daerah memang berbeda cara ngolahnya, pertama-pertama saya suka mengiris beberapa siung bawang merah. Lalu memasukan air dengan ukuran perbandingan beras. Dan yang tidak boleh terlewat, untuk meningkatkan aroma nasi liwetnya sering dilengkapi dengan daun salam, sereh, dan sedikit garam.
Tantangannya adalah masak nasi liwet ini kudu sekali jadi. Maka dari itu, kata temen-temen saya di bagian masak nasi, takaran airnya harus pas. Sebab jika tidak pas, nasi liwet akan jadi setengah matang atau sebaliknya, jadi lembek. Bahkan, jika airnya terlalu banyak, nasinya nanti seperti bubur. Inilah yang membuat saya ogah kalau di bagian masak nasi liwet.
Biasanya dalam tradisi ngaliwet ini lauknya bisa apa saja sesuai selera dan modal keuangan pihak penyelenggara. Kadang kalau pengin terlihat elit, suka beli bebek. Terus kami bakar bebek tersebut. Jenis ikan asinnya pun ikan peda. Sedangkan kalau keuangan pas-pasan, biasanya beli ayam kecil dan jenis ikannya pun hanya ikan tongkol. Tapi, dilengkapi juga dengan lalapan, tempe, tahu, jengkol, kerupuk dan tentu saja sambal nomor satu yang harus ada di tradisi ngaliwet ini.
Nah, hal unik lain dari tradisi ngaliwet ini adalah kalau nasi liwet dan lauknya sudah matang, akan disajikan di atas daun pisang sebagai alas makan. Nasi, lauk, lalapan, semua dibagi rata ke seluruh bagian daun pisang sesuai dengan jumlah orang yang ikut ngaliwet. Kemudian, kami makan ngariung babarengan. Sebelum makan, biasanya selfie-selfie dulu sebagai pelengkap buat Instastory. Ini lah yang selalu saya rindukan dari tradisi ngaliwet ini.
Waktu saya merantau ke Sumenep, saya di sana jualan umbul-umbul. Di sana banyak orang Sunda juga yang merantau dengan alasan macem-macem. Mulai dari jualan, tuntutan pendidikan, hingga tugas pekerjaan. Tapi, ketika sesama orang Sunda lagi pada ngobrol maka yang kami rindukan adalah tradisi ngaliwet ini. Bayangkan saja, hampir setiap hari kami makan sate Madura. Enak sih enak tapi agak bosan gitu.
Yang kami rindukan dari tradisi ngaliwet ini bukan hanya sekadar makan nasi liwetnya, tetapi kebersamaannya. Sebab bagi kami, ngaliwet sudah semacam simbol kekeluargaan. Dan bagi kami yang merantau, lalu berencana mau pulang kampung, ajakan seperti “Bray, urang ngaliwet, yuk!” kerap kami serukan.
Ada aktivitas gotong royong atau kerja sama dalam tradisi ngaliwet ini. Sebab, semua orang yang ikut liliwetan, mau tidak mau tanpa terkecuali harus berkontribusi. Maka, semua diatur. Misal, si A beli beras dan lauk pauknya. Kadang-kadang, beras ngambil di rumah masing-masing. Si B menyediakan peralatannya. Si C sebagai kokinya dan lain sebagainya. Saya sendiri di rumah jarang banget ngiris bawang atau mersihin ikan asin, tapi pas ngaliwet mah jadi sadar harus ikut berkontribusi.
Bagi saya, tradisi ngaliwet meski sederhana tapi mampu sebagai pelipur lara di tengah opsi makanan-makanan restoran yang merajalela. Dengan ngaliwet, saya bisa menepikan sejenak masalah pekerjaan dan drama hidup. Ngaliwet bisa bikin saya fokus pada suasana kebersamaan yang sangat berkesan. Tak ayal, jika ngaliwet bisa bikin mood saya baikan.
Ah, jadi pengin ngaliwet, euy.
BACA JUGA Kisah Mistis Tanjakan Panganten di Garut yang Melegenda dan tulisan Muhammad Ridwansyah lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.