Di Kendal, musim panas dan musim hujan sama-sama tidak pernah benar-benar ramah. Ketika kemarau datang, panasnya terasa menyengat sampai ke tulang. Tetapi ketika hujan turun, air datang dari segala arah. Dari langit, dari sungai, dan yang paling setia datang dari laut. Sebagai kabupaten yang berada di pesisir utara Pulau Jawa, Kendal punya hubungan yang cukup rumit dengan air.
Laut memberi penghidupan, tapi juga perlahan mengambil kembali ruang hidup warga. Rob bukan cerita baru. Ia sudah jadi bagian dari rutinitas, seperti alarm pagi yang berbunyi tanpa diminta. Dari Kecamatan Kaliwungu sampai Rowosari, warga pesisir hidup berdampingan dengan genangan. Khusus di Kendal kota Kelurahan Balok, Kalibuntu, Bandengan, dan Karangsari, air laut bisa datang hampir setiap hari. Pagi dan sore. Datang menggenang, lalu pergi sebentar, sebelum kembali lagi keesokan harinya.
Rob di Kendal memang belum separah Sayung Demak. Tetapi bukan berarti bisa dianggap sepele. Bagi warga yang mengalaminya, rob tetaplah air asin yang masuk rumah, merusak lantai, menggenangi jalan, dan perlahan menggerus harapan.
Rob yang tidak pernah benar-benar pergi di Kendal
Bagi orang luar, rob mungkin cuma dianggap genangan air setinggi mata kaki. Tapi bagi warga pesisir Kendal, itu berarti banyak hal. Ada tambak yang gagal panen, perabotan rusak, jalan berlumpur, hingga aktivitas harian yang selalu terganggu.
Mayoritas warga di wilayah pesisir Kendal menggantungkan hidup dari laut dan tambak. Nelayan kecil dan petambak ikan menjadi kelompok yang paling dulu merasakan dampaknya. Air rob yang datang tanpa kompromi sering menyapu ikan di tambak. Sekali kena, bisa langsung gagal panen.
Kalau panen gagal, bukan cuma rugi uang. Itu berarti tidak ada pemasukan. Mau alih usaha juga tidak mudah. Mau tetap melaut? Ikan sekarang susah. Bisa pulang membawa ikan buat makan hari itu saja sudah termasuk rezeki bagus.
Tambak yang terus-menerus kemasukan air asin juga makin sulit dirawat. Mau dijual? Tidak laku. Siapa juga yang mau beli tambak yang tiap bulan kena rob. Harga tanah turun pelan-pelan, seiring naiknya air laut. Di titik ini, rob bukan lagi soal bencana alam. Ia berubah menjadi soal kelas sosial.
Rumah bebas banjir di Kendal adalah privilege
Di Kendal, rumah bebas banjir kini menjadi semacam kemewahan. Mereka yang punya uang akan memilih pindah. Cari rumah di wilayah yang lebih tinggi, jadi tidak perlu mengepel lantai rumah tiap hari yang basah karena banjir.
Sementara yang uangnya pas-pasan biasanya mengambil opsi rumah subsidi. Syaratnya cuma satu: yang penting bebas banjir. Mau jauh dari tempat kerja, mau jauh dari laut yang dulu jadi sumber hidup, tidak masalah. Yang penting tidak bangun pagi dengan kaki terendam air.
Bahkan ada juga warga yang nekat beli tanah dekat hutan. Alasannya sederhana, harganya murah dan relatif aman dari rob. Soal akses dan fasilitas, itu urusan nomor sekian.
Lalu bagaimana dengan yang tidak punya pilihan sama sekali? Mereka tetap tinggal. Bertahan hidup di antara genangan air. Mencoba menyusun ulang rutinitas hidup agar cocok dengan jadwal rob. Mengangkat barang setiap sore, menurunkannya lagi setiap pagi. Begitu terus bertahun-tahun.
Bencana ternyata tidak pernah adil. Ia selalu lebih kejam pada mereka yang tidak punya cukup uang untuk menghindar.
Menanam bakau, menunggu harapan
Pemerintah daerah, mahasiswa, dan komunitas aktivis lingkungan sebenarnya tidak tinggal diam. Beberapa kali kegiatan penanaman mangrove atau bakau dilakukan di bibir pantai Kendal. Spanduk dipasang, dokumentasi diambil, berita dipublikasikan.
Masalahnya, bakau butuh waktu. Tidak bisa langsung hari ini ditanam, besok rob berhenti. Warga yang tiap hari berhadapan dengan air tentu tidak bisa sepenuhnya menggantungkan harapan pada sesuatu yang hasilnya baru terasa entah berapa tahun lagi.
Sementara itu, kawasan industri di kawasan pesisir utara pulau Jawa terus berkembang. Gudang, pabrik, dan kawasan industri baru berdiri di area yang dulunya mungkin menjadi daerah resapan alami. Air laut yang dulu masih bisa “bernapas”, kini terdesak dan mencari jalan lain, akhirnya mereka memilih untuk masuk ke permukiman warga.
Setiap tahun, rob terasa makin tinggi. Pelan, tapi pasti. Ada kabar bahwa pemerintah akan membangun jalan lingkar di pesisir Kendal yang sekaligus difungsikan sebagai tanggul laut. Konsepnya terdengar menjanjikan. Tapi sampai sekarang masih sebatas rencana. Belum jelas kapan dimulai. Atau jangan-jangan, hanya akan berhenti sebagai wacana.
Warga sudah terlalu sering mendengar janji. Mereka sekarang lebih percaya pada tinggi air daripada tinggi kata-kata.
Musim hujan dan banjir dari hulu
Kalau rob datang dari laut, banjir musim hujan datang dari daratan. Kecamatan Kaliwungu dan Kaliwungu Selatan sudah lama dikenal sebagai langganan banjir. Begitu hujan deras turun beberapa jam saja, air langsung naik.
Warga Kecamatan Kota Kendal lebih parah lagi, sebagai ibu kota kabupaten, hampir semua desa di wilayah ini setiap hujan deras selalu terendam banjir. Belum lagi desa-desa di Kecamatan Kendal Kota, Ringinarum, Weleri, hingga Rowosari.
Polanya hampir sama. Hujan deras, sungai meluap, jalan dan rumah terendam. Masalahnya bukan cuma curah hujan. Di wilayah Kendal atas, eksploitasi galian C berjalan secara ugal-ugalan. Tanah dikeruk, bukit diratakan, sungai dipaksa menampung lebih banyak air dan lumpur.
Alih fungsi hutan menjadi perkebunan juga memperparah keadaan. Hutan yang seharusnya menahan air kini kehilangan fungsinya. Air hujan tidak lagi meresap, tapi langsung turun ke hilir dengan membawa air, lumpur dan sampah. Ketika air sampai di bawah, warga yang menanggung akibatnya.
Galian C dan debu yang tidak terlihat di laporan
Galian C sering dibungkus dengan kata “pembangunan”. Padahal dampaknya terasa nyata di kehidupan sehari-hari warga Kendal. Banjir adalah salah satunya. Tapi bukan satu-satunya. Debu beterbangan, jalan rusak, truk dump lalu lalang dengan muatan berlebih dan kecepatan seenaknya. Keselamatan warga sering jadi taruhan.
Anak-anak berangkat sekolah harus berbagi jalan dengan truk besar. Warga menutup rumah rapat-rapat bukan karena dingin, tapi karena debu. Ironisnya, keuntungan dari galian C tidak selalu kembali ke warga sekitar. Yang menikmati hasilnya segelintir. Yang menanggung dampaknya, jutaan orang.
Kendal di persimpangan nama
Kendal sering dijuluki kota santri, kota beribadat. Julukan yang lahir dari sejarah panjang pesantren dan kehidupan religius warganya. Tapi julukan itu pelan-pelan mulai terancam.
Kalau persoalan rob dan banjir terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Kendal akan lebih dikenal sebagai kota banjir. Kota yang tiap musim hujan viral karena banjir, dan tiap musim kemarau tetap basah oleh air laut. Padahal dulu, gang-gang kecil di Kendal lebih sering dipenuhi suara anak mengaji, bukan suara pengumuman datangnya banjir.
Masalah ini tidak bisa diserahkan ke satu pihak saja. Warga dan pemerintah harus duduk bersama. Bukan sekadar rapat formal dan foto bersama, tapi benar-benar memikirkan solusi jangka panjang.
Kalau tidak, air akan terus naik. Dan Kendal akan terus tenggelam bukan hanya secara fisik, tapi juga secara makna. Karena pada akhirnya, kota bukan cuma soal bangunan dan jalan. Tapi tentang apakah warganya masih bisa hidup dengan layak, tanpa harus setiap hari bertanya besok air akan setinggi apa lagi?
Penulis: Andre Rizal Hanafi
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















