“Lagu adalah suara terdalam keresahan masyarakat.” Itu kata kawan saya yang sok rebel-rebel senja. Yah, biasanya sih saya cuma jawab “bacot”.
Tapi, setelah dipikir-pikir ada benarnya lho. Bahkan musik paling ra cetho sekalipun tidak lahir dari kehampaan. Semuanya merangkum kehidupan di sekitar kita. Baik kehidupan ideal yang dimimpikan, atau kehidupan nyata yang sering menyesakkan. Apalagi bicara musik punk. Musik yang lahir, dari, dan bagi masyarakat akar rumput akan selalu relevan dengan masyarakat.
“Sunset di Tanah Anarki” punya SID menggambarkan perjuangan demi keadilan. “Lagu Cinta Kelas Pekerja” karya Begundal Lowokwaru menceritakan kehidupan cinta, kerja, dan persaudaraan. “Long Way to YK” milik Tango Tequila menggambarkan anak muda yang pergi merantau meninggalkan rumah. “Kelas Pekerja” gubahan Keotik apalagi, menggambarkan susahnya jadi pekerja yang “saling sikut mencari muka demi cari aman semata.”
Kalau disuruh membahas tentang musik punk dan maknanya, mending jangan lewat artikel ini. Lima ribu kata pun tak cukup membahas beberapa puluh lagu favorit saya. Tapi kali ini, izinkan saya membahas satu lagu yang tak lekang oleh waktu. Bahkan makin relevan di hari ini. Ketika kita terhantam dan digagahi pandemi ndlogok.
“Negri Ngeri” karya Marjinal, lagu inilah yang saya maksud. Sebuah lagu gubahan Mike Marjinal ini memang benar-benar melegenda. Bahkan masih dinyanyikan 15 tahun kemudian semenjak rilis. Dan tetap mendengungkan amarah, bahkan setelah band Marjinal tidak relevan lagi.
Ya maaf, saya masih senewen dengan opini band ini yang makin hari makin melempem melawan ketidakadilan. Padahal, band ini termasuk corong perlawanan pada masa reformasi. Saat masih bernama AA and AM dan ada cak Romi Jahat, kurang galak apa band ini?
Ya sudah. Jaman berganti, dan suara kontra tidak mati. Marjinal bisa jadi catatan kaki di sejarah, tapi “Negri Ngeri” akan abadi. Dan seperti yang saya bilang, “Negri Ngeri” makin relevan di masa pandemi ini. Mungkin cocoklogi, tapi mari kita breakdown liriknya.
Lihatlah negri kita (oh)
Yang subur dan kaya raya
Sawah ladang terhampar luas
Samudra biru, yeah
Siapa sih yang tidak membanggakan Indonesia yang penuh potensi alam dan manusia? Kan kita selalu bangga dengan subur dan kaya rayanya negeri ini. Dari pejabat sampai pengamen selalu memandang negeri ini yang penuh sawah dan dikelilingi lautan biru. Relevan? Sudah pasti!
Tapi rataplah negri kita (oh)
Yang tinggal hanyalah cerita
Cerita dan cerita, terus cerita (cerita terus)
Dari mimpi tadi, kita kembali ke realitas. Tidak hanya menatap, tapi rataplah, karena semua keindahan tadi tinggalah cerita. Meskipun selalu diulang-ulang sebagai penghibur diri sendiri. Tapi, dengan pembangunan yang merusak alam seperti di Sangihe serta Gunung Slamet, sampai lenyapnya sawah terhampar oleh perumahan di Sleman.
Tapi, tidak berhenti sampai di situ. Pandemi benar-benar menjadikan kekayaan negeri ini menjadi cerita. Dan ditegaskan di lirik reffrain ini.
Pengangguran merebak luas
Kemiskinan merajalela
Pedagang kaki lima tergusur, teraniaya
Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, angka pengangguran selama pandemi meningkat dari 4,9 persen menjadi 7 persen. Alias ada 9,7 juta orang yang menganggur. Menurut BPS, jumlah warga miskin meningkat lebih dari 2,7 juta jiwa selama pandemi. Dua lirik tadi seperti nubuat hari ini, setelah 15 tahun lamanya.
Bicara penggusuran, ini sih bukan hal baru, tapi menjadi istimewa semenjak pandemi. Tidak usah jauh-jauh, represi aparat saat PPKM darurat benar-benar menganiaya dan menggusur PKL. Ada yang dirubuhkan warungnya, direbut gerobaknya, dan disemprot water cannon dan disinfektan yang berbahaya.
Bocah-bocah kecil merintih
Melangsungkan mimpi di jalanan
Buruh kerap dihadapi penderitaan
Bagaimana bocah kecil tidak merintih. Pertama, mereka golongan rentan Covid-19. Menurut IDAI, setiap minggu ada ribuan anak meninggal. Sisanya pun melangsungkan mimpi “di jalanan”, karena sekolah tanpa tatap muka yang tidak efektif.
Bicara buruh, jelas selalu dihadapi penderitaan. Tamparan dari UU Cipta Kerja pada masa pandemi ini jelas makin menyakiti para buruh. Lebih parah lagi, banyak perusahaan dan pabrik menjadi kluster Covid-19 karena tidak menahan operasi. Sudah jatuh, tertimpa tangga.
Inilah negri kita (oh)
Alamnya kelam tiada berbintang
Dari derita dan derita, menderita (derita terus)
Lirik ini memang mempertegas situasi negeri ini hari ini. Bintang kejayaan negeri yang subur dan kaya raya tidak lagi bercahaya. Kelam oleh derita, derita, menderita (derita terus). Semua situasi di atas dipertegas oleh kelam yang digambarkan lirik ini.
Sampai kapankah derita ini? (Au-ah)
Yang kaya darah dan air mata
Yang senantiasa mewarnai bumi pertiwi, ah
Sampai kapan kita harus hidup dalam pandemi? Jawabannya memang “au-ah”, karena tidak ada yang tahu kapan pandemi ini berakhir. Bahkan setelah kita berkubang darah dan air mata. Kematian akibat pandemi benar-benar mengerikan, bahkan disempurnakan kematian puluhan jiwa dalam satu malam di RS Sardjito.
Air mata keluarga dan sanak saudara terus mewarnai bumi pertiwi ini. Karena duka cita seperti antri di antara kita. Hari ini kita berduka oleh kabar kematian dan kemiskinan, esok gantian orang lain. Tapi, di tengah situasi serba susah ini, lirik berikutnya menggambarkan situasi lebih keji.
Dinodai, dinodai
Digagahi, digagahi
Dikuasai
Digagahi, dihabisi para penguasa rakus
Lirik nakal ini benar adanya. Apalagi bicara penanganan amburadul masa pandemi. Mulai dari PPKM yang tidak jelas, menggenjot ekonomi tanpa memikirkan keselamatan, sampai kolapsnya fasilitas kesehatan.
Siapa yang menodai, menggagahi, dan menghabisi kita? Ya penguasa rakus seperti kata Marjinal. Dari korupsi bansos sampai proyek tidak penting di tengah pandemi. Betapa rakusnya mereka sampai kita seperti diruda paksa. Tidak lagi ada harga diri karena setiap lini kehidupan kita memang digagahi oleh mental rakus ini!
***
Bukannya berniat cocoklogi, apalagi menyuarakan negativisme. Tapi kenyataan memang seperti itu, Masbro, Mbakbro. “Negri Ngeri” memang lagu dengan lirik ngeri. Sama seperti situasi hari ini yang memang ngeri.
Terserah pandangan anda tentang Marjinal dan kultur punk. Tapi, band lawas ini sukses memberi gambaran tentang situasi negeri ini. Dulu memang terkesan “lebay” bagi banyak orang. Tapi hari ini? Benar adanya kan?
Semoga lirik “Negri Ngeri” segera tidak relevan dalam kehidupan kita. Meskipun “au-ah”, percayalah bahwa kita bisa mentas dari pagebluk ini. Dan untuk anda yang menjiwai kultur Punk, selalu ingat pesan Mahatma Gandhi: “Punk yo punk tapi yo adus!” Tetap mandi agar bebas penularan Covid-19, dan tetap Punk karena negeri ini tidak baik-baik saja!
BACA JUGA Pentingnya Kerja Cerdas dan Work-Life Harmony agar Ngarso Dalem Nggak Kerja 24/7 dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.