Nasib Orang yang Dicap Sebagai Perusak Barang. Emangnya Kami Sengaja?

Nasib Orang yang Dicap Sebagai Perusak Barang, Emangnya Kami Sengaja 'Merusak'? terminal mojok.co

Nasib Orang yang Dicap Sebagai Perusak Barang, Emangnya Kami Sengaja 'Merusak'? terminal mojok.co

Saat menempuh semester 5 di perkuliahan, om saya yang jadi kapten kapal cargo berkunjung ke Surabaya. Oleh karena selama berkunjung saya dianggap membantunya dalam banyak hal, maka saya “dititipi” sebuah Macbook generasi pertama yang tebalnya minta ampun. Teman-teman saya yang saat itu menggunakan laptop biasa pun berdecak kagum. Padahal mereka tahu bahwa itu adalah Macbook yang diproduksi pada 2006, bertahun-tahun yang lalu. Inilah sejarah awal mula saya dicap sebagai manusia perusak barang.

Jika mau berhitung, laptop tersebut sedang menunggu waktu untuk “wassalam”. Hal yang sama sebenarnya juga dikatakan oleh om saya, bahwa laptop tersebut bahkan sudah “dikanibal” dengan laptop lainnya sehingga performanya menuju ambang kepunahan.

Singkat cerita, setelah penggunaan selama kurang lebih tiga bulan, laptop yang menjadikan saya dicap “orang kaya” itu akhirnya menemui ajal. Bukan karena cara saya menggunakan. Tapi, lebih karena memang sudah tiba ajalnya aja tuh laptop. Sudah dua atau tiga kali juga si laptop saya bawa ke service, tetap saja pada akhirnya tidak tertolong.

Setelah teman-teman saya tahu bahwa barang itu sudah tidak bisa digunakan, seketika mereka geger. Sejak kejadian itu, saya dicap sebagai manusia perusak barang.

Pernah sekali waktu hape saya terjatuh di jalan, sampai layarnya retak. Teman-teman saya kembali menguatkan cap “perusak barang” pada diri saya. Di lain waktu, ketika terjadi “banjir lokal” di kontrakan yang saya tempati, beberapa buku bagus yang masih saya baca basah. Bahkan akibat banjir tersebut, bagian bawah lemari saya juga ikut-ikutan rapuh. Semakin lekatlah sebutan perusak barang pada diri saya.

Dari dua kejadian di atas, saya selalu jadi subyek yang disalahkan. Tentu saja, selalu sebagai perusak barang. Bahkan pada kondisi yang lebih sial lagi, speaker yang biasa kami gunakan bersama untuk mendengarkan lagu mengalami kerusakan, saya lagi yang disalahkan sebagai pembawa sial sehingga barang itu rusak.

Yang terbaru, di kantor yang saya tinggali. Pintu kamar mandinya jebol dan kran yang ditimpanya ikutan patah. Ya otomatis saya juga yang dianggap bersalah sebagai perusak barang. Wong saya sendiri yang tinggal di sini, siapa lagi yang merusak kalau bukan saya?

Padahal, teman-teman saya paham bahwa sebelum pintu itu benar-benar tanggal dari engselnya dan mengenai kran air, memang sudah ada tambalan sana sini di bagian dekat engselnya. Sebab setiap hari digunakan, kans rusaknya semakin besar pula. Belum lagi kran air yang entah sejak zaman kapan sudah mengakar di kamar mandi itu. Jelas saja, hanya berselang tujuh bulanan kami tinggal di kantor tersebut, ambyarlah si pintu. Masalahnya, karena kejadiannya menimpa saya dan bukan mereka, saya lagi yang disalahkan sebagai si perusak barang.

Begini, beberapa kejadian yang saya alami dan pada akhirnya mendapat cap perusak barang itu berhubungan erat dengan kondisi barang atau alat yang sudah reyot. Bukan mau mengelak. Ini kita sedang bicara tentang kebenaran. Bayangkan, saya “merusak” barang bekas orang yang sudah bertahun-tahun ia gunakan. Jika mau hitung-hitungan waktu ya sebenarnya barang itu sudah rusak sebelum saya sentuh. Tapi, kenapa jadi saya yang salah? Rasanya nggak adil aja gitu, saya bagaikan pengantar orang korupsi dan tidak mendapat bagian apa-apa kok malah saya yang dihukum mati? Kan nggak adil?

Nah, bagian lain yang teman-teman saya ini tidak mau apresiasi adalah barang baru yang saya gunakan dan bertahan selama bertahun-tahun. Saya membeli laptop baru sebagai pengganti Macbook yang saya “rusak” itu pada 2014 awal. Sejak saat itu sampai saat ini, laptop yang saya beli  masih bertahan dengan performa yang hanya turun sedikit dari sejak awal saya beli.

Laptop itu sendiri baru mengalami service pertamanya ketika digunakan oleh adik saya beberapa bulan yang lalu akibat kabel penghubung layarnya sudah waktunya ganti. Di satu sisi, saya tidak mau mengatakan sebab kerusakan itu adalah karena cara penggunaan oleh adik saya. Sebab secara hitungan, tetap saya yang lebih lama menggunakannya, yakni selama kurang lebih 5,5 tahun.

Itu baru laptop, belum barang lain yang umurnyalebih lama dari si laptop yang sudah berpindah tangan secara kudeta pada akhir 2019 itu.

Dulu, sebelum hijrah menggunakan Android, selama kurang lebih 3 tahun saya setia menggunakan hape Nokia 1203 pemberian abang saya. Sebuah hape murmer dan terkenal pada masanya dan punya keunggulannya ada pada senternya itu.

Pada akhirnya, kadang-kadang saya berpikir negatif kepada teman-teman saya yang memberi cap “perusak barang” kepada saya. Jangan-jangan mereka memang hanya ingin merisak saya? Pengin gitu sesekali saya balas ngomong begini ke mereka, “Iri bilang, bos!!!”

Saya yakin nggak cuma saya yang kental dengan image perusak barang. Selalu dianggap nggak pernah merawat barang dengan baik dan seolah segala yang saya miliki usianya nggak panjang umur. Asal tahu saja, melihat kekurangan orang itu memang lebih mudah daripada melihat kelebihannya. Mohon maaf, merusak barang itu kan bukan bakat, jadi jangan dibuat identik dengan seseorang gitulah. Nantinya seseorang itu jadi nggak pede untuk membeli barang mahal hanya karena takut nggak awet.

BACA JUGA Nasib Penjual Mp3 yang Setia dan Bertahan Selama 11 Tahun dan tulisan Taufik lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version