Dari dulu, Jalan Braga ini bisa dibilang salah satu ikonnya Kota Bandung. Wajar, karena tempat ini punya banyak bangunan yang punya nilai sejarah tinggi. Arsitektur unik peninggalan zaman kolonial di jalan ini menjadi daya tarik yang mungkin tidak bisa di temukan di tempat lain di Bandung. Tempat ini jadi magnet untuk turis mancanegara datang setiap minggunya.
Sejujurnya buat saya yang tinggal di kota ini sejak kecil, hal ini jadi terlihat biasa. Saking seringnya lewat, tak merasa ada yang spesial. Tapi mungkin itu ada hikmahnya, sebab jadi turis di tanah kelahiran justru bukanlah hal yang menyenangkan.
Meski tak asing, saya tahu kalau Braga berubah. Melihat perbandingan ketika saya masih sekolah, hingga sekarang, cukup banyak perubahan yang terjadi. Salah satu yang mencolok mungkin jalannya sudah tidak memakai aspal lagi, diganti batu andesit, mungkin agar terasa seperti jalanan di Eropa.
Karena jalan ini tidak terlalu panjang, dan kita bisa lalui dengan berjalan santai, perubahan sedikit saja akan terasa, terutama bagi mereka yang sering mengamati kiri dan kanan.
Pandemi datang, menghantam apa pun yang telah berdiri tegak. Jalan Braga pun tak luput dari ini. Setelah semuanya (sepertinya) berakhir, Jalan Braga tak lagi sama.
Ketika pandemi, tempat ini juga sempat mengalami mati suri. Saya yang biasa nongkrong setiap malam minggu, harus menyudahi kebiasaan itu dalam waktu cukup lama. Tidak terbayang berapa banyak kerugian yang di alami tempat-tempat usaha di sepanjang jalan ini. Apalagi mengingat turis-turis asing yang tidak jadi datang.
Kini setelah sekian lama, saya akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Jalan Braga. Sebenarnya tempat ini sudah mulai aktif kembali semenjak awal tahun. Sayangnya saya baru bisa menyempatkan diri bulan-bulan ini.
Jalan ini kembali ramai dikunjungi orang, terutama menjelang sore. Saat bubaran kerja, atau pulang anak sekolah. Kebanyakan orang datang untuk berwisata kuliner, atau sekadar nongkrong.
Banyak hal yang masih sama, penjual lukisan dan sketsa yang membuka lapak di pinggir jalan. Beberapa pengrajin yang menjual dagangannya. Beberapa tempat kuliner legendaris yang sudah ada puluhan tahun masih mencoba peruntungan di jalan ini. Hal-hal familiar yang saya temukan dulu, masih saya rasakan. Bahkan masih banyak orang yang menggunakan spot-spot foto di sini untuk berkreasi, menghasilkan foto diri terbaik.
Satu hal yang berubah mungkin hanyalah, hadirnya tempat-tempat usaha baru, yang sayangnya seperti saya bilang, mengubah warna Braga.
Sebenarnya dari dulu saya adalah orang yang paling tidak setuju kalau bangunan di tempat-tempat ini dipugar atau diubah bentuknya. Tidak ada yang bisa membeli sejarah, dan saya selalu yakini itu.
Tapi roda perekonomian memang selalu membutuhkan perubahan. Pada akhirnya kita terpaksa harus rela untuk melihat banyaknya bangunan yang berubah, entah untuk maksud apa. Untungnya tidak semua, karena masih ada yang tetap menggunakan bentuk aslinya, dengan sedikit modifikasi.
Sebagian dari tempat-tempat usaha inilah yang pada akhirnya mengubah wajah Braga. Tapi saya tidak bisa protes, karena mereka jugalah yang membuat tempat ini tetap ramai dikunjungi.
Bahkan terakhir ketika saya lewat ada sekitar dua bangunan yang sedang dirombak. Entah apakah mereka akan mengubah bentuk aslinya atau tidak. Entah apalagi yang berubah di jalan ini.
Jalan Braga, setelah pandemi, jadi tempat yang familiar dan asing dalam waktu yang sama bagi saya. Perubahan tak terelakkan bikin saya asing, meski saya berusaha meyakinkan diri saya bahwa saya kenal tempat ini.
Entah itu bagus atau tidak, saya tak tahu. That is for you to decide.
Penulis: Sandy Erlangga
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Braga Menjelang Kumuh, Julukan yang Pantas Disematkan pada Jalan Tertua di Bandung