Setelah pembagian rapot di akhir semester seharusnya menjadi kabar gembira bagi guru manapun. Setelah penatnya mengurus siswa dan rumitnya menyelesaikan rapot kenaikan kelas, guru (harusnya) punya waktu liburan seminggu hingga dua minggu. Namun, kondisinya berbeda dengan guru sekolah swasta di Kabupaten Bandung Barat.
Dari apa yang saya alami dan beberapa teman yang mengajar di sekolah swasta Kabupaten Bandung Barat, liburan berminggu-minggu itu ibarat mitos. Baru saja menyelesaikan rangkaian acara wisuda kenaikan kelas siswa, hanya selang dua hari berikutnya, guru-guru sudah langsung masuk. Para siswa menikmati masa liburan mereka, sedangkan guru masih harus berjibaku dengan persiapan semester depan yang mana memakan waktu liburan semesternya.
Sekilas info, sekolah swasta tempat saya bekerja memang sedang di batas ambang, juga para siswa yang masuk tidak mencapai target, maka dari itu rapat persiapan untuk menyambut semester baru dimajukan lebih awal. Rapat demikian biasa kita sebut dengan lokakarya. Baru hari pertama memasuki lokakarya guru, saya sudah dibuat syok dengan adanya indeks ketercapaian pegawai yang baru.
Niatnya bagus, tapi…
Dalam indeks tersebut, terdapat kurang lebih 14 poin yang perlu dipenuhi guru-guru selama mengajar di sekolah. Sampai saat ini hanya beberapa poin yang saya hafal. Misalnya saja sebagai guru harus memiliki catatan mengenai karakteristik seluruh siswanya, atau dapat mengidentifikasi gaya belajar siswa dan dapat menerapkan pembelajaran diferensiasi di dalam kelas. Intinya, keseluruhan poin itu dibentuk agar siswa dapat merasa senang belajar di sekolah. Sekaligus orang tua dapat merasa tenang sudah menitipkan anaknya di sekolah.
Sebetulnya bagus juga apa yang diniatkan sekolah agar pembelajaran semester depan bisa berjalan sesuai dengan target dan harapan. Namun, sayangnya di antara poin-poin tersebut tidak ada satu pun yang membuat guru merasa bahagia. Padahal, siapa yang sebetulnya bisa membuat siswa merasa senang ketika di sekolah? Siapa yang bisa berkomunikasi dengan orang tua dengan baik agar orang tua merasa tenang untuk menitipkan anaknya di sekolah?
Kalau gurunya sendiri kurang diperhatikan dan banyak tugas yang dibebankan sehingga membuatnya merasa sengsara, jangan harap semua indeks tersebut bisa tercapai semua. Kecuali, memang guru di sekolah swasta Kabupaten Bandung Barat ini diciptakan sebagaimana lilin. Membiarkan dirinya habis untuk menerangi sekitar.
Guru itu yang utama
Sampai kapan mau berpikiran bahwa siswa dan orang tua merupakan objek pendidikan yang utama? Ya, memang tidak sepenuhnya salah. Namun, cobalah sekali-kali untuk menaruh guru sebagai yang utama. Selama ini kita sudah terbiasa dengan sistem guru dibentuk sebagai pelayan yang hanya bertugas mentransfer ilmu kepada siswanya. Padahal banyak tugas lain yang dikerjakan oleh guru di luar jobdesk yang dia emban.
Memang, tanpa siswa guru bukanlah apa-apa. Namun, jika dibalik, akan jadi apa siswa tanpa adanya guru?
Terbiasa dengan kata ikhlas dan syukur
Balik lagi, setelah banyaknya penderitaan yang dialami oleh guru, nyatanya profesi satu ini selalu ada obat ampuh sebagai pelipur lara. Yap, ikhlas dan syukur. Padahal pemangku kebijakan sekalipun mengaminkan bahwa tugas guru-guru itu sulit, pekerjaan yang mempertaruhkan dunia akhirat seseorang, apa yang dikelolanya berupa manusia, bukan makanan ataupun barang. Namun, mengapa rasanya sulit sekali untuk menghargai kinerja guru dengan harga yang pantas?
Berharap siswa bisa senang dan juga orang menjadi tenang, tetapi di sisi lain guru digaji dengan honor yang begitu horor. Sisanya diberi kata-kata mutiara agar guru bisa kuat dan kembali bersemangat untuk mengajar di kelas. Sistem pendidikan yang begitu mengerikan.
Itulah sedikitnya hal yang saya rasakan sebagai guru swasta di Kabupaten Bandung Barat, tatkala para murid atau guru lainnya masih bisa merasakan liburan yang membahagiakan bersama keluarga mereka. Jadi, mau sampai kapan lupa kalau yang membuat siswa senang dan orang tua tenang itu adalah guru? Sedangkan guru dan keluarganya pun butuh makan dan keperluan lain yang tidak cukup dengan sekadar ucapan syukur dan ikhlas.
Penulis: Handri Setiadi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kata Siapa Gaji Guru Swasta itu Bercanda? Gaji Kami Gede kok (Syarat dan Ketentuan Berlaku)!