Beberapa tahun ini, katanya, western food, menggeser keberadaan makanan tradisional. Namun, pandangan itu, menurut saya, keliru. Saat ini, justru nasi padang yang “menggusur” keberadaan makanan tradisional.
Kata “menggusur” di sini maksudnya nggak menghilangkan. Menurut saya, berkat kekuatan rasa dan harga semakin terjangkau, nggak heran, kalau keberadaannya semakin banyak di berbagai tempat.
Selain itu, makanan dari Sumatera Barat ini juga sudah diadaptasikan ke lidah setempat. Misalnya dengan munculnya “nasi padang jawa”. Jadi, keberadaannya memang sangat diterima di mana saja.
Daftar Isi
Kenapa bisa “menggusur” makanan tradisional?
Kenapa bisa sampai “menggusur” makanan tradisional? Sekarang, mari kita coba membandingkan jumlah warung nasi padang dengan warung makanan tradisional di daerah kalian. Tentunya yang punya makanan khas masing-masing, ya.
Misalnya Jogja punya gudeg, Jakarta punya soto betawi, Palembang punya pempek, dan lain-lain. Mungkin jumlahnya sudah didekati oleh keberadaan warung nasi padang. Makanya, nggak heran kalau saat ini warung padang lebih dominan. Apalagi saat ini ada “paket 10 ribu” berisi ayam dan nasi lengkap dengan sambal dan sayur khas.
KFC dana McD? Sudah pasti jumlahnya kalah. Lha wong dari harga saja sudah jauh berbeda. Sudah begitu, nasi padang lebih bikin kenyang bagi beberapa orang, khususnya mahasiswa. Bukan begitu?
Semakin mudah menemukan warung nasi padang
Saat ini, kita bisa dengan mudah menemukan warung nasi padang. Di kota besar, hampir di setiap titik, setidaknya kita bisa menemukan satu, entah yang asli Minang, atau yang sudah beradaptasi dengan lidah setempat.
Karena hampir semua orang bisa menerima rasa nasi padang, maka warung ini jadi salah satu top of mind untuk mengisi perut. Nggak heran sih, karena mereka menyajikan menu yang beragam. Mulai dari rendang yang pernah jadi makanan paling enak di dunia, tunjung, gulai kepala kakap, gulai otak, daun ketela rebus, dan masih banyak lagi.
Perpaduan menu tersebut memang tidak pernah gagal “menghasut” kita untuk menikmatinya bersama nasi putih hangat mengepul dan sambal ijo yang harum. Meskipun memiliki cita rasa yang kuat karena dimasak bersama belasan rempah-rempah, nasi padang cenderung cocok bagi lidah masyarakat kita.
Selain itu, ya soal harga, nggak bisa dibantah. Sekarang harga paketan mereka murah meriah dan mengenyangkan.
Nama nasi padang yang lebih akrab di telinga
Menurut saya, faktor nama juga berpengaruh di sini. Misalnya saja Jogja dengan kuliner khas yang dari sisi rasa, sama-sama menarik. Kalau main ke Jogja, kamu bisa menikmati gudeg, tempe benguk, brongkos, mie lethek, bahkan walang goreng.
Namun, nama-nama tersebut kalah tenar ketimbang nasi padang. Namanya masing asing, bahkan untuk orang Jogja sendiri. Sudah gitu, nggak semua tempat menjual makanan tradisional tersebut.
Rumah makan yang menjual gudeg tentu masih lestari di Jogja. Tapi lagi-lagi, jumlahnya kalah banyak. Kuliner khas seperti walang goreng juga hanya akan dijumpai di daerah Gunungkidul. Nggak gampang nemu walang goreng di Kota Jogja atau Sleman, misalnya.
Begitulah, makanan tradisional Indonesia tidak melulu tergeser oleh western food, tapi malah nasi padang. Ini juga menunjukkan bahwa banyak makanan khas Indonesia yang rasanya bisa diterima luas. Selain itu, bisa diadaptasikan ke lidah lokal. Oya, tentu saja, soal harga dan porsi bermain di sini.
Penulis: Anita Sari
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Warteg Semakin Mahal, Wajar jika Kalah Saing dengan Warung Nasi Padang Murah