Ada satu kepercayaan di kalangan otaku, bahwa kualitas anime ditentukan oleh nama studio animenya. Dalam satu hal, klaim ini mah wajar-wajar saja, karena nama studio itu seperti merek produk dan merupakan tanda paling gampang untuk dikenali oleh penonton anime. Kaya pedagang tongseng Solo pakai kecap Sukasari atau warung masakan Betawi pakai kecap Bango, pilihan itu dilakukan karena memang kedua merek tersebut sudah legendaris.
Namun, ada permasalahan jika kamu percaya hal ini mentah-mentah: bahwa kualitas anime ditentukan dengan ada cap studio Madhouse atau Bones di covernya. Padahal mayoritas sutradara, animator, desainer karakter, dan penulis skenario itu kerjanya freelancer. Mereka tidak terikat dalam satu studio dan kerja berdasarkan sistem proyekan ala kuli bangunan. Kalau satu studio mempekerjakan mereka untuk serial anime tertentu, mereka bakal ada di bawah naungan studio itu hanya sampai serialnya selesai.
Setahu saya, cuma ada satu studio yang mempekerjakan animator dengan sistem gaji tetap, yaitu Kyoto Animation. Kecuali posisi produser dan asisten produser, hampir semua studio anime mempekerjakan freelancer sebagai staf produksinya. Dari sini saja, mitos bahwa nama studio cukup untuk menjamin kualitas anime sudah patut dipertanyakan. Jika suatu anime diproduksi oleh studio sama tapi dengan tim berbeda, hasilnya pun bisa beda jauh. Seperti mi ayam Wonogiri, walaupun sama-sama pakai ayam kecap dan sawi, tapi beda tangan abang-abangnya, pasti beda rasa juga.
Contoh paling nyata adalah Haikyuu! To the Top, season keempat dari salah satu franchise anime paling populer saat ini. Jika melihat dari segi studio saja, nama Production IG tentunya sudah bisa memberi jaminan kualitas terhadap animasinya. Studio ini sudah berhasil menciptakan tiga season anime Haikyuu! yang dipuji oleh pembaca manga originalnya dan penonton anime biasa. Belum lagi studio ini memproduksi dua anime olahraga keren sebelum season 4, Welcome to the Ballroom dan Run with the Wind.
Walaupun begitu, kualitas animasi dari season 4 Haikyuu! dirasakan oleh banyak penonton menurun. Setelah episode 15, banyak penggemar Haikyuu! protes di internet karena inkonsistensi dan kesalahan dalam animasi. Usut punya usut, episode ini di-outsource ke studio lain yaitu 4tune. Ini bukan suatu hal baru, bahkan bisa dibilang candu utama banyak studio anime modern. Di era di mana kecepatan dan kuantitas menjadi utama, studio anime yang berjalan dengan sistem kerja kontrak tidak bisa melakukan produksi anime terus menerus.
Bahkan studio legendaris Madhouse, ternyata salah satu pelopor nomor satu dalam outsourcing animasi. Hampir 23 dari 26 episode season pertama Kaiji pada 2007 diproduksi oleh studio animasi Korea Selatan, DR Movie. Sedangkan di tahun 2017, lima dari dua belas episode ACCA 13 di outsource ketiga studio berbeda yaitu PRA, DR Movie, dan Gonzo. Cap studio pada cover di sini hampir tidak berguna karena mayoritas animasi dikerjakan oleh studio lain.
Outsourcing bukan saja satu-satunya penentu dalam berubahnya kualitas anime karena ganti personel juga bisa jadi sumber masalah. Kualitas animasi Haikyuu! sampai season ketiga dapat terjaga karena peran sutradara Susumu Mitsunaka. Pernah menjadi asisten sutradara anime Big Windup bersama maniak baseball Junichiro Taniguchi, Mitsunaka punya standar kualitas yang cukup tinggi. Gaya animasi serialnya fokus kepada keakuratan gerakan tubuh dan realisme dari olahraga tersebut. Makanya walaupun diproduksi oleh studio yang sama, Kuroko No Basuke dan Haikyuu! punya rasa berbeda karena diolah tangan berbeda.
Lalu ada Takahiro Chiba sebagai kepala animator untuk 37 episode Haikyuu!, berhasil menjaga kualitas animasi Haikyuu! dan bahkan ikut menganimasi opening serta ending dari serial tersebut. Makanya opening keempat dan ending ketiga Haikyuu! berasa lebih beda dari lainnya kan? Terus ada juga sutradara aksi Yasuyuki Kai yang berhasil memenuhi ekspektasi Mitsunakan terkait adegan realistik voli. Sayangnya baik Mitsunaka, Chiba, ataupun Kai, mereka tidak ikut dalam proyek Haikyuu! To the Top.
Di lain pihak, kamu nggak bisa serta merta mengklaim bahwa suatu anime jelek di produksi suatu studio. Kita lihat One Punch Man Season 2 dan studio JC Staff. Gampang menyalahkan JC Staff dan memuji Madhouse, tapi di saat bersamaan itu mengkerdilkan peran animator dari One Punch Man Season 1. Sutradara Shingo Natsume melakukan debut pertamanya di anime Space Dandy bersama sutradara legendaris Shinichiro Watanabe. Saya yakin ilmunya Watanabe pasti diturunkan juga ke dalam proyek One Punch Man Season 1.
Belum lagi kepala animator, Yoshimichi Kameda sebagai otak di balik kehebatan banyak adegan laga One Punch Man. Memulai karirnya dengan ikut proyek Fullmetal Alchemist Brotherhood, lalu menunjukkan kehebatannya sebagai animator di One Punch Man. Sekarang Kameda memutuskan untuk fokus di proyek Mob Psycho 100 besutan studio Bones. Baik Natsume ataupun Kameda, mereka berdua kariernya menanjak lewat anime besutan studio Bones.
Jadi kalau mau memuji studio mana berkontribusi paling banyak di anime One Punch Man, harusnya kita bilang studio Bones bukan Madhouse dong! Menurut saya solusinya gampang, yaitu cukup mengakui otak di balik kesuksesan One Punch Man adalah Natsume dan Kameda bukan Madhouse. Sama seperti Mitsunaka, Chiba, dan Kai adalah trio di balik kesuksesan Haikyuu!.
Memang gampang seolah-olah menganggap merek itu ada pengaruh ke kualitas, tapi kita jadi lupa esensi dari anime. Mereka dibuat oleh manusia, baik sebagai animator, desainer, ataupun sutradara. Bukan perusahaan animasi yang hanya mempekerjakan mereka dengan sistem kontrak untuk satu dua proyek. Bahkan dengan bayaran rendah dan waktu kerja panjang. Pada akhirnya kerja keras mereka yang menentukan kualitas dari tontonan kita hari ini.
Sumber gambar: YouTube The TV Regent
BACA JUGA 3 Film Korea tentang Kesenjangan Sosial selain Parasite dan tulisan lainnya dari Raynal Arrung Bua.