Pertama, memaksakan diri membeli mobil padahal nggak punya lahan parkir. Makin memalukan lagi kalau mobilnya parkir sembarangan dan memakan bahu jalan hingga mengganggu pengendara jalan lain. Giliran mobilnya diserempet, malah emosi. Sikap seperti ini jauh lebih norak dan memalukan, sih.
Kedua, memaksakan memiliki mobil, tapi nggak bisa membaca rambu lalu lintas hingga merugikan orang lain. Contohnya, nggak bisa membaca marka jalan, menerobos lampu merah, mendahului dari lajur kiri, dan nggak menyalakan lampu sein saat belok, adalah hal-hal yang dimaklumi banyak orang padahal hal tersebut memalukan dan menyusahkan orang lain. Kalau belum bisa berkendara dengan baik di jalan raya, mending naik bus aja. Serahkan urusan berkendara pada ahlinya, yaitu pak sopir.
Pandangan pejabat Surabaya yang pro kendaraan pribadi
Saya nggak sepenuhnya menyalahkan masyarakat Surabaya yang masih berpikiran kalau naik bus itu nggak keren, simbol kemiskinan. Sebab, pandangan seperti itu tentu nggak lahir begitu saja. Ada faktor eksternal yang turut memengaruhi cara berpikir warga. Salah satunya tentu saja karena pejabat di Surabaya selama ini cenderung pro dengan mobil, bahkan aktivitas membeli mobil didukung sepenuhnya. Kalau bisa diberi diskon besar-besaran, supaya banyak orang Surabaya memiliki kendaraan pribadi.
Saya masih ingat dalam salah satu forum lingkungan, Ibu Risma, yang waktu itu masih menjadi Wali Kota Surabaya, mengatakan jika blio nggak ingin melarang warga Surabaya membeli mobil. Bu Risma berpendapat, jalan Surabaya belum macet, polusinya masih bisa dikurangi dengan banyaknya pohon yang ditanam di Kota Pahlawan.
Fyi, Bu Risma dulu juga menolak sumbangan bus dari Kemenhub dengan alasan Surabaya butuhnya trem. Akibatnya, di saat kota lain sudah memiliki bus trans, sebut saja TransJakarta, TransJogja, dan trans-trans lainnya, Surabaya baru memiliki Trans Semanggi dua tahun lalu (Desember 2021) atau setelah blio lengser dari jabatan wali kota.
Senada dengan Bu Risma, Wakil Wali Kota Surabaya saat ini, Bapak Armuji, juga pernah mengajak warga Surabaya untuk naik motor agar terhindar dari kemacetan. Sebuah tips yang aneh dan konyol. Di saat pejabat di negara maju meminta warganya beralih ke transportasi umum yang ramah lingkungan, pejabat di Surabaya malah meminta warganya naik sepeda motor. Hidup leasing motor dan mobil!
Sampai artikel ini ditulis, saya juga belum pernah melihat ada pejabat di Surabaya yang menggunakan transportasi umum sebagai pilihan. Yang ada, mereka terus mengeluh kenapa Suroboyo Bus dan Trans Semanggi sepi. Aneh, kan? untuk apa mengeluh bus sepi di saat mereka sendiri nggak pernah naik dan memberi contoh kepada warganya. Kalau hanya gembar-gembor dengan kalimat “Ayo, Rek, numpak bus” anak SD juga bisa, nggak harus menjadi pejabat dulu.
Jangan malu naik bus
Meskipun saat ini warga Surabaya masih belum memiliki transportasi umum yang terintegrasi dan masih banyak kampung di Surabaya yang belum dilewati Suroboyo Bus, Trans Semanggi, dan feeder. Saya tetap berharap makin banyak warga Surabaya yang mau menggunakan bus (transportasi umum) dan mulai mengurangi ketergantungannya pada kendaraan pribadi.
Naik bus itu keren, Rek, yang memalukan itu punya mobil, tapi nggak kuat bayar parkir. Naik bus juga bagian dari menjaga bumi kita agar lestari. Meskipun nggak bisa menghijaukan dunia, setidaknya kita bisa memilih untuk melestarikan alam dengan nggak berkontribusi menciptakan lebih banyak polusi.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Transportasi Publik di Surabaya Dibuat Sekadar untuk Gimik Politik.