Beberapa kali, saya sering bepergian sendirian Jogja-Solo menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL). Sebanyak itu pula saya belajar bagaimana bertahan hidup di tengah situasi kereta yang selalu penuh sesak. Meski begitu, menurut saya, KRL memang selalu dapat dijadikan pilihan, khususnya untuk orang-orang yang nggak punya banyak waktu. Bayangkan, Jogja-Solo kalau ditempuh pakai KRL hanya satu jam, lho, lebih cepat 1 jam daripada menggunakan motor.
Namun, memang kita nggak bisa minta banyak hanya dengan modal tiket delapan ribu rupiah. Alhasil, rasanya, naik KRL Jogja-Solo seperti naik Prameks zaman dulu. Masih dipadati penumpang, masih kesulitan bernapas juga pada jam-jam sibuk.
Saya pernah mendapati seorang ibu-ibu yang pucat mukanya karena terlalu lama berdiri saat KRL Jogja-Solo penuh sesak. Stasiun-stasiun yang dilewati KRL menyiarkan pengumuman tidak bisa menambah kapasitas penumpang, mengakibatkan beberapa harus menunggu jadwal selanjutnya untuk pulang. Dan, ya itu hal yang lumrah terjadi, meski seharusnya hal ini selalu jadi bahan evaluasi.
Namun, seperti yang saya katakan di awal, saya sering menaiki KRL Jogja-Solo dan akhirnya belajar pelan-pelan dari pengalaman. Hingga akhirnya, saya dapat menyimpulkan bahwa menempati gerbong paling belakang di KRL adalah upaya memperpanjang umur.
Gerbong belakang KRL adalah kunci
Bagi kalian, orang-orang komuter Jogja-Solo yang hanya bisa mengandalkan KRL sebagai transportasi utama, tapi nggak kuat berdesakan di gerbong, seperti saya yang gampang merasa lemas dan capek, menempati gerbong paling belakang adalah pilihan bijak. Gerbongnya sepi, meskipun nanti ramai orang, rasanya nggak sesak seperti gerbong urutan depan.
Petugas KRL pun pernah mengarahkan saya menjelang dua menit keberangkatan kereta untuk berlari ke gerbong paling belakang. Katanya, gerbong belakang masih kosong banyak! Dan, ternyata memang benar, terhitung naik dari Stasiun Solo Balapan sampai Stasiun Tugu Yogyakarta pada saat jam pulang kerja, saya masih bisa duduk santai bahkan sampai ketiduran.
Salah seorang teman, sebut saja Bima (23 tahun) juga sepakat kalau gerbong belakang adalah penyelamat. Ia mengaku gerbong belakang adalah pilihannya sejak lama. Di sana, memang akan lebih didominasi oleh penumpang laki-laki ketimbang perempuan dan anak-anak.
Menurutnya, penumpang laki-laki lebih senang berebut kursi gerbong belakang KRL agar mereka lebih leluasa. Tidak harus beradu argumen dengan ibu-ibu yang masih rempong mengurus anak yang sedang aktif-aktifnya. Bocil kematian yang suka ribut melihat pemandangan di jendela hingga orang-orang yang membawa banyak barang dan memakan tempat.
Tempatnya orang malas berlari
Menempati gerbong belakang juga bisa menjadi solusi bagi penumpang KRL yang nggak bisa ikut naik dari stasiun sebelumnya. Iya, sudah menjadi hal lumrah kalau banyak penumpang yang naik dari satu atau dua stasiun sebelumnya demi mengamankan kursi. Makanya, kalau kamu terlambat, naiklah di gerbong belakang, niscaya masih bisa leluasa untukmu memilih tempat duduk.
Alasan logis juga kenapa akhirnya gerbong paling belakang itu sepi adalah orang-orang malas berlari. Iya, yang berhenti di peron biasanya adalah gerbong yang letaknya berada di tengah rangkaian. Sementara, kalau mau naik di gerbong belakang, jelas penumpang harus berlari sekitar 5-6 gerbong terlebih dahulu. Namun, buat saya, sih itu tetap worth it, capeknya ‘kan cuma di awal saja.
Ya, itulah cara memperpanjang umur buat kamu yang kesehariannya naik KRL terus. Namun, sebagaimana pengguna, kalau boleh menyarankan, ya sebaiknya KRL Jogja-Solo bisa menambah gerbong, sih atau menambah jam keberangkatan agar para penumpang tidak menumpuk di stasiun selama satu jam untuk menunggu KRL jam selanjutnya.
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Kesalahan Sepele KRL Jogja Solo yang Cukup Mengganggu Penumpang