Saya punya seorang adik yang masih kuliah nyambi driver ojol. Dia mengkredit motor di salah satu finance. Kini di tengah situasi pandemi penghasilannya menurun drastis dan dia bersandar pada kebenaran dari ucal-ucal janji Jokowi yang ngumumin bakal ada keringanan kredit bagi yang terdampak pandemi.
Setelah mengurus leasing kredit dan berharap tidak dapat tagihan-–setidaknya sampai kondisi perekonomian menjadi lebih baik-–eh, ternyata suara cantik operator dengan dinginnya memperingatkan “cicilan bapak bulan ini sudah terlambat.” Artinya, janji keringanan tadi, realisasinya masih jauh panggang dari api.
Paman saya seorang pengusaha UMKM juga mengalami nasib yang tidak lebih baik. Usahanya bukan lagi terdampak, tapi ambyar karena corona. Kini ia hidup dari tabungan dan sangat berharap pada leasing kredit. Sayang sekali hanya potongan bunga yang jumlahnya sama sekali tidak membantu yang didapatnya.
Di tengah terpaan ambyarnya perekonomian yang membuat aset-aset (baca: barang dagangannya) mengendap begitu saja di toko, ditambah hutang kredit di bank jumlahnya tidak main-main, semuanya semakin ngenes saja ketika ucal-ucal Jokowi ternyata tidak lebih dari janji politisi – tidak meringankan sama sekali.
Kini, di tengah situasi yang mencekik ini, BPJS malah ikut-ikutan seperti para kreditur-–menagih para penggunanya seolah mereka memiliki hutang kredit. Belum lagi ditambah kelakuan negara yang sudah diputus MK untuk menurunkan BPJS, eh malah dinaikkan lagi. Tidak berhenti di situ kini negara getol-getolnya menagih para penunggak dengan ancaman denda hingga 30 juta. Rakyat saat ini bukannya tidak mau membayar tapi tidak mampu membayar. Saya tegaskan sekali lagi tidak mampu membayar. Buat makan saja susah, malah diancam denda 30 juta rupiah.
Sudah gitu situasi diperparah dengan perpanjangan tangan negara (baca: buzzer beserta para pemuja pemerintah) yang malah memojokkan saudaranya yang tidak mampu membayar dengan menyuruh stop berlangganan saja, “kalau mau butuh ya memang harus isi ulang” kata-kata yang sering keluar dari jempol halus mereka.
Siapa sih yang tidak butuh BPJS?
Secara konseptual, BPJS adalah jaminan kesehatan yang sangat sosialis, benar-benar mewakili spirit Pancasila. Ya meski masih ada pembagian kelas tapi bisa dimaklumi, kemampuan finansial setiap orang berbeda, yang penting tujuannya adalah memberikan jaminan kesehatan kepada warga negara dengan semangat gotong royong. Warga negara yang mungkin dulunya tidak pernah berpikir akan merasakan pelayanan kesehatan rumah sakit bisa merasakan. Kini tidak hanya orang kaya yang bisa berobat berkat BPJS.
Saya teringat bagaimana ketika mendaftarkan kakek saya untuk berobat ke rumah sakit setelah mengurus rujukan yang ribetnya minta ampun, tapi bagi kami tidak masalah toh kami memang butuh hal ini, maka prosedur administrasi yang njelimet pun akan kami amini.
Saat itu saya harus berangkat pukul 05.00 karena pukul 06.00 pendaftaran rumah sakit untuk pasien BPJS. Karena pasien BPJS hanya bisa mendaftar hari itu juga jadi paginya harus datang sendiri mengambil nomor antiran. Bagaimana jika ternyata dokter praktiknya tidak ada hari itu? Berarti kedatangan Anda pagi-pagi sekali menjadi sia-sia sekali. Sabar…. jadi penikmat fasilitas terjangkau memang harus terima konsekuensi seperti ini.
Rumah sakit menerapkan peraturan itu juga karena membludaknya pendaftar BPJS sehingga mereka membedakan antara pendaftar BPJS dan non-BPJS, pendaftar BPJS tidak bisa memesan dari jauh hari, apalagi memesan secara online, mereka harus mendaftar pukul 06.00 pagi untuk jadwal kontrol sore hari. Beda dengan mereka yang mampu membiayai sendiri kesehatannya tanpa gotong royong,mereka boleh daftar dengan cara apa pun tanpa perlu ngantri pagi-pagi, bahkan tanpa perlu datang ke rumah sakit dan mendaftar jauh-jauh hari. Zaman memang sudah online bapak-bapak ibuk-ibuk, tapi tidak untuk para fosil penikmat jasa BPJS.
Di rumah sakit saya dikagetkan dengan keramaian para pendaftar BPJS, padahal saat itu masih subuh, namun antrian sudah ramai seperti barisan penerima BLT. Dulu rumah sakit yang saya kunjungi ini nyaris seperti rumah hantu saking sepinya. Namun, begitu BPJS hadir, warga yang sebelumnya tidak pernah berobat ke rumah sakit, kini mulai merasakan bahwa negara itu ada dan memberanikan diri datang ke rumah sakit.
Warga negara rela mengantri sedini hari demi merasakan kasih sayang negara kepada mereka. Namun kini ceritanya berbeda, BPJS yang sebenarnya adalah marwah konstitusi balik mengancam, merongrongi, dan menakuti warga negara seolah-olah mereka adalah pengutang yang harus melunasi hutangnya bagaimanapun caranya.
Dengan ancaman penghentian pelayanan kesehatannya beserta ancaman denda 30 juta, sebagai warga, saya jadi merasa diteror oleh negara sendiri. Saya yakin semua orang tidak akan berkeberatan membayar BPJS. Saya melihat itu ketika mengantri pagi-pagi, warga negara yang dulunya pura-pura sehat karena tidak punya uang sekarang memberanikan diri ke rumah sakit berkat BPJS. Bagi kami, rakyat kecil ini, BPJS adalah sebuah simbol kepedulian negara kepada kami. Jika nanti perekonomian pulih kami pasti tidak keberatan untuk membayar BPJS.
Di saat situasi mencekik seperti ini, para kreditor masih getol-getolnya menagih cicilan kredit kami masih bisa maklum. Kami bisa menerimanya karena itu hutang yang harus dilunasi. Namun, jika BPJS yang mewarisi marwah konstitusi—yang seharusnya menjadi pelindung kami malah ikut-ikutan jadi debt collector, kepada siapa lagi kami bersandar?
BACA JUGA Solusi Defisit BPJS itu Bukan Cuma Naikin Iurannya! dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.