Sudah dengar atau baca wacana kebijakan terkait pembelajaran jarak jauh (PJJ) permanen yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Makarim baru-baru ini? Atau sudah muak dengannya? Nyatanya, nggak semengerikan itu kok. Seruput kopi Anda selagi hangat, dan simak alasan mengapa kebijakan Pak Nadiem sama sekali bukan langkah yang buruk (tapi judulnya yang nggak pas, kerap menimbulkan miskonsepsi):
Bukan literally “jarak jauh”
Pak Nadiem Makarim dihujani kritik, mulai dari politisi, pengamat pendidikan, dosen, pelajar, hingga masyarakat awam. Deretan argumen dari berbagai perspektif siap siaga dalam genggaman para kritikus. Mayoritas masyarakat setuju bahwa kebijakan PJJ permanen dari menteri kita satu ini tidak (atau belum) cocok dengan keadaan negara kita saat ini.
Nggak ada yang salah dengan semua kritik itu. Namun terlintas satu pertanyaan di benak saya. Oke, semua kritik ini logis, tetapi apakah semua ini relevan?
Memang betul judulnya “pembelajaran jarak jauh permanen”. Tapi nyatanya, Pak Nadiem sendiri nggak pernah bilang akan menghapuskan pembelajaran tatap muka. Toh beliau juga menginginkan semua anak kembali pergi ke sekolah seperti biasa.
Bukan memindahkan gedung sekolah ke perangkat elektronik kita, tapi memanfaatkan teknologi dalam keseharian pembelajaran tatap muka yang konvensional. Itu yang ingin diterapkan Pak Nadiem Makarim.
Lalu apa bedanya (dengan sebelum pandemi)?
Sebagai contoh, ambillah Google Classroom, salah satu platform pembelajaran daring yang awam digunakan akhir-akhir ini.
Lewat Classroom, murid yang dulu mesti mondar-mandir nyari guru atau dosennya, sekarang bisa mengunggah tugas esainya lewat hape. Guru atau dosen yang dulu mejanya dipenuhi kertas esai muridnya yang berserakan, tinggal buka laptop dan mengakses hasil pekerjaan semua muridnya. Ketik-ketik dikit, nilai sudah diinput dengan rapi. Semuanya hanya dengan sentuhan jari. Nggak cuma jauh lebih praktis, pembelajaran pun tetap dapat berlangsung sekalipun pandemi ini memisahkan kita.
Akan tetapi, di sisi lain, kita keukeuh bahwa pembelajaran tatap muka adalah yang terbaik. Pelajar pasti ngerti susahnya belajar mandiri dari rumah tanpa bimbingan guru secara langsung.
Kalau gitu, teknologi nggak ada gunanya, dong? Jangan terlalu cepat menyimpulkan, karena ini jawaban yang lebih tepat: pembelajaran berbasis teknologi meningkatkan efisiensi, tetapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan efektivitas pembelajaran tatap muka.
Ketidaknyamanan yang timbul terutama di kalangan pelajar beberapa bulan ini disebabkan oleh perubahan ekstrem dari metode pembelajaran tatap muka dengan sedikit atau tanpa bantuan teknologi, ke arah sebaliknya, yakni pembelajaran menggunakan teknologi tanpa tatap muka. Ini yang membiaskan pandangan kita terhadap kedua metode pembelajaran, membuat kita mengagung-agungkan pembelajaran tatap muka, tetapi menganggap teknologi sama sekali nggak ada gunanya.
Untungnya, Pak Nadiem memahami kelebihan masing-masing metode tersebut. Saya kira nantinya, sebagian aspek pembelajaran, misalnya mekanisme pemberian dan pengumpulan tugas, didigitalisasi untuk meningkatkan efisiensi peserta didik maupun tenaga pengajar, sedangkan proses belajar mengajar seperti diskusi, kerja kelompok, atau kegiatan praktikum tetap melalui tatap muka untuk mempertahankan efektivitas pembelajaran.
Siapa yang nggak mau, bisa belajar dengan efektif dan efisien?
Tapi kan nggak semuanya punya akses elektronik!
Saya yakin Pak Nadiem nggak sebodoh itu untuk berpikir anak-anak yang tinggal di pelosok bisa tiba-tiba punya laptop dan Wi-Fi yang canggih.
Pihak Kemendikbud sendiri mengklarifikasi bahwa penerapan PJJ pascapandemi mengadopsi model hibrida atau campuran yang bersifat fleksibel terhadap kondisi masing-masing sekolah. Sekolah A yang mampu, sudah bisa menerapkannya secara maksimal, sedangkan sekolah B yang kurang mampu bisa menerapkan sedikit demi sedikit, seiring berjalannya waktu dan meningkatnya aksesibilitas teknologi.
Nggak semuanya harus all-or-nothing.
Buru-buru menerapkan kebijakan baru, padahal masih ada masalah yang belum tuntas. Gimana sih?
Keputusan Pak Nadiem untuk menerapkan PJJ permanen mungkin tampak tergesa-gesa, seakan melupakan masalah pendidikan lainnya. Infrastruktur yang belum memadai, kualitas pengajar yang masih perlu ditingkatkan, gagap teknologi di kalangan masyarakat, semuanya belum tuntas. Akan tetapi, perlu diingat bahwa salah satu landasan beliau membuat keputusan tersebut adalah… momen.
Momen gimana maksudnya? Pandemi ini telah memaksa masyarakat untuk beradaptasi dan mulai terbiasa dengan teknologi, yang harus diakui telah menjaga kelangsungan proses pembelajaran beberapa bulan ini. Mumpung udah “keciprat'” ini menjadi momentum yang tidak dapat ditunda bagi Pak Nadiem untuk basah sekalian, yakni sekaligus mengembangkan model pembelajaran berbasis teknologi.
Entah ya, gimana dengan permasalahan pendidikan lainnya. Yang jelas, ini adalah saat yang tepat dan tak dapat ditunda untuk menerapkan kebijakan Pak Nadiem.
Empat argumen dari perspektif yang agak beda sebelumnya mudah-mudahan tidak membuat kopi Anda menjadi hambar, apalagi membuat Anda ingin membanting cangkir kopi Anda. Bukan itu tujuan opini dan perspektif ini. Paling tidak, beberapa paragraf tadi bisa sedikit meluruskan miskonsepsi mengenai kebijakan Mendikbud Nadiem kita yang tadinya kita tolak mentah-mentah.
Kalau dipikir-pikir, masalah kebijakan Pak Nadiem satu ini cuma satu: judulnya nggak pas. Wong namanya aja “PJJ permanen”, sampai Komisi X DPR RI pun menolak mentah-mentah karena konteksnya dikira rancu. Seharusnya Pak Nadiem tahu sendiri dong pola pikir masyarakat kita yang terkadang asal menyimpulkan ini perlu informasi sejelas-jelasnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.