Saya membuka Terminal Mojok Minggu malam, dan mendapati tulisan satu berjudul Nadiem Makarim, Milenial di Pemerintahan yang Membuat Hidup Orang Miskin Terasa Menjadi Makin Sial. Sebuah kritikan untuk Nadiem Makarim dari Mbak Aminah Sri Prabasari.
Kalau boleh jujur, saya awalnya nggak begitu tertarik dengan tulisan itu. Namun karena malamnya mendadak trending, saya jadi penasaran. Alhasil saya bacalah tulisan tersebut.
Gagasannya indah sekali. Mbak Aminah ini piawai juga dalam menorehkan kata-katanya. Meski sudah sering yang membahas Pak Menteri satu ini, saya boleh bilang, tulisan beliau ini adalah yang up-to-date. Data-data yang disajikan juga tak bisa dianggap sembarangan.
Mbak Aminah menyoroti polemik belajar via daring yang sekarang ini diterapkan Kemendikbud dibawah komando Nadiem Makarim. Beliau menulis, yang intinya, lewat kebijakan belajar daring itu membikin orang miskin terasa makin sial. Mbak lantas membandingkan Nadiem dengan menteri milenial di negara lain.
Dalam tulisannya, Mbak Aminah menilai Nadiem Makarim nggak kayak menteri-menteri milenial negara lain. Tak punya sepak terjang yang bisa dibanggakan untuk mengemban tugas sebagai menteri. Ditambah, karena nggak berasal dari partai, Nadiem Makarim, dianggapnya kurang dalam perpolitikan duniawi.
Iya…mungkin, dalam benak Mbak Aminah, orang partai yang layak jadi menteri. Sebab punya rekam jejak di dunia politik. Begitu bukan, Mbak?
Namun begini Mbak Aminah, Nadiem Makarim memang belum pernah dikabarkan masuk partai politik. Ia hanya sebatas Bos Gojek yang “ketiban untung” dilirik Pak Jokowi untuk ditugasi menjadi Mendikbud. Wajar saja kalau kebijakannya itu masih bau-bau bisnis.
Mbak keliru kalau mengatakan orang miskin bertambah sial selama kepemimpinan Nadiem Makarim sebagai Mendikbud. Apalagi hanya karena kebijakan sekolah daring selama masa pandemi. Lagi pula, kebijakan itu muncul karena keadaan yang memaksa.
Coba ngana pikir, masa di tengah pandemi begini kegiatan belajar mengajar masih dilakukan secara konvensional? Nanti bukannya mencegah, malah menimbulkan kerumunan (setidaknya di masing-masing kelas). Apa kita mau hidup berlama-lama bareng virus?
Oke…oke…kebijakan itu menyusahkan. Khususnya buat siswa-siswi yang nggak punya gadget canggih. Terus ada beberapa daerah yang belum terjangkau internet. Jangankan internet, tambang batu bara yang berhektar-hektar itu pun belum sanggup memenuhi kebutuhan listrik seluruh warga Indonesia.
Akan tetapi, menyalahkan Nadiem Makarim karena kebijakannya soal sekolah daring, yang dianggap membuat orang miskin makin sial, adalah tindakan konyol yang terkesan sentimen belaka. Menyediakan internet, listrik, gadget, dan kemiskinan itu bukan job desk-nya Nadiem. Mbak Aminah tahu kan Nadiem Makarim itu Mendikbud bukan Menkominfo, Menko PMK, atau Mensos?
Kalau Nadiem memutuskan dan meneken bahwa kebijakan pendidikan selama pandemi ini dilakukan secara daring, bukan berarti Nadiem pula yang harus memenuhi kebutuhan gadget dan koneksi internet. Tentu jika kalian tanyakan itu pada Nadiem, kemungkinan besar beliau akan terheran-heran sama seperti reaksi beliau saat tahu gaji guru honorer “menjerit”.
Harusnya, protes internet nggak merata itu kepada Pak Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) juga. Yang tiada lain adalah Pak Jhonny G Plate (Plate atau Plate ya bacanya?). Menkominfo yang berkewajiban menjamin fasilitas internet bisa dinikmati seluruh warga negara tanpa pandang kaya-miskin.
Perlu diakui, internet belum bisa merata. Misalnya Papua, di mana kabarnya, warganya belum seluruhnya bisa menggunakan internet, sebab aksesnya terbatas. Eh, akses sudah terbatas, pemerintah bisa saja main membatasi informasi seenaknya seperti kejadian rasisme waktu itu.
Coba ngana renungkan, masa untuk urusan koneksi, Nadiem Makarim yang tanggung jawab. Pusying pala Nadiem. Ngurus pendidikan saja masih meraba-raba. Mbak Aminah, soal kemiskinan juga bukan bagian dari tugas Nadiem Makarim.
Masih ada menteri-menteri Jokowi lainnya yang lebih layak disalahkan untuk menjawab problem kemiskinan. Itu loh Pak Muhadjir Effendy, si Menteri Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Perkara mengentaskan kemiskinan boleh loh ditanyakan ke beliau.
Orang miskin terasa lebih sial akibat kebijakan Nadiem, itu pangkal masalahnya bukan dari kebijakan sekolah daring. Melainkan orangnya saja yang miskin, nggak mampu beli gadget mahal untuk membuka Zoom, dan nggak punya uang buat beli kuota yang harganya melebihi beras sekilo.
Kalaupun tiap hari dikasih subsidi kuota, dan murid-murid yang nggak punya hape canggih dikasih cuma-cuma, itu sekadar solusi sementara. Yang mustahil diwujudkan, bahkan sejak dalam pikiran. Masalahnya kemiskinan, jadi yang harus diselesaikan itu.
Nggak semua kemiskinan lahir dari pendidikan yang rendah. Kemiskinan bisa disebabkan minimnya lapangan pekerjaan, kurangnya keterampilan, dan keringnya relasi ke perusahaan-perusahaan top. Mungkin Nadiem bisa mengatasi kurangnya keterampilan. Tapi jangan lupa, Pak Jokowi punya Bu Ida Fauziah, Menteri Ketenagakerjaan.
Kemiskinan bukan khayalan yang sengaja dibesar-besarkan. Melainkan kenyataan pahit yang suka tidak suka memang demikian adanya. Sedangkan barangkali dongeng yang sesungguhnya adalah fasilitas merata untuk segenap tumpah darah Indonesia.
Justru dalam kondisi semacam ini, orang miskin nggak perlu merasa sial, seperti apa yang ditulis Mbak Aminah. Dengan kebijakan sekolah di rumah, orang miskin mampu menunjukkan betapa miskinnya mereka. Betapa susahnya mengakses internet.
Nggak usah khawatir, media siap meliput. Ini isu yang mampu mendulang rating dan views sebanyak-banyaknya. Murid-murid yang kebetulan berasal dari orang tua miskin yang kesusahan menjalani sekolah daring bakal kelihatan, kok.
Nah tinggal kita tunggu apakah jeritan kemiskinan dan kepayahan menjalani sekolah daring itu sampai ke pemerintah. Bukan cuma ke Pak Presiden dan Mendikbud, Nadiem. Melainkan justru ke menteri-menteri lain yang seharusnya ikut bertugas menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang. Bukankah pembangunan SDM itu kerja kolektif?
BACA JUGA 8 Cara Mengatasi Motion Sickness, Nomor 5 Jangan Dicoba ya! dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.