Kalau mendengar kata “Lamongan”, pasti konotasinya adalah makanan. Entah soto atau bahkan pecel lele beserta tenda pinggir jalannya. Iya, Lamongan memang identik dengan makanan enak nan mengenyangkan.
Selain itu, warga asli Lamongan mungkin akan menyematkan kata “jalan” dan “rusak” ketika mendengar kata Lamongan. Ya gimana hampir semua kondisi jalan di sini memang rusak.
Dari sana, saya selalu tertawa ketika melihat sebuah konten yang berusaha keras untuk meromantisisasi Lamongan. Sebab, selain nggak perlu dilakukan, usaha tersebut juga nggak natural. Hasilnya jadi kelihatan maksa.
Daftar Isi
Warga Lamongan pasrah dengan kondisi yang gini-gini aja
Sebagai warga, saya sudah sangat pasrah dengan kondisi Lamongan yang memang begini-begini saja. Dalam kondisi tersebut, tiba-tiba saja teman saya mengajukan pertanyaan random. “Apa yang membuatmu bangga menjadi warga Lamongan?” tanyanya.
Saya berpikir dengan cukup keras. Sebab, seperti yang saya katakan di atas, kalau diingat, saya hampir tidak menemukan sisi romantis dari Lamongan.
Tidak ada tempat estetis di sini. Transportasi umumnya pun wadaw… Bahkan saya tidak menemukan program kerja dari pemerintah daerah yang benar-benar bagus. Lamongan memang terkesan dikelola secara ugal-ugalan.
Namun, setelah berpikir agak lama, saya menemukan satu hal yang membuat saya bangga menjadi warga Lamongan. Kabupaten ini tidak bisa diromantisisasi.
Tidak ada yang bisa diromantisisasi di sini
Gimana mau romantisisasi, lha tidak ada sisi romantisnya. Kondisi jalan di Lamongan saja lebih banyak yang berlubang. Kemudian tiap musim hujan pasti ada wilayah yang selalu banjir. Ruang terbuka hijau juga tidak banyak di sini.
Iya, justru karena tidak bisa diromantisisasi, saya jadi bangga. Karena dengan itu, Lamongan tercipta untuk dicintai apa adanya.
“Tapi, bukankah romantisisasi sebuah kota adalah hal yang baik?”
Betul, di satu sisi sangat betul. Akan tetapi, romantisisasi tersebut juga cukup riskan jika dilakukan secara serampangan.
Banyak dampak yang terjadi akibat romantisisasi tersebut yang membuat masalah di daerah akhirnya tertutupi dan tidak terselesaikan secara tuntas.
Di Bandung misalnya, berita tentang geng motor yang brutal masih cukup mencekam dan saya masih belum menemukan solusi yang presisi dari pejabat publik. Selain geng motor, tentu masih banyak masalah di Bandung yang ada di benak warganya. Akan sangat kurang bijak jika solusi yang dilakukan adalah dengan melakukan romantisisasi sebuah kota saja.
Pun saya teringat dengan nasib Jogja dan Malang, yang secara kebetulan saya pernah merantau dan tinggal agak lama di sana. Kedua kota tersebut juga sering disematkan kata romantis padahal warga sekitar menolak mentah-mentah julukan tersebut.
Kenapa demikian? Sebab masalah sosial menjadi tidak tampak. Jogja misalnya, kota yang diromantisisasi dengan biaya hidup yang murah. Padahal jika diamati dengan saksama, harga kos dan makanan di sana tidak semurah itu juga.
Jika Lamongan ikut-ikutan diromantisisasi…
Bayangkan saja jika Lamongan akhirnya diromantisisasi. Masalah jalan rusak tidak akan pernah menjadi isu yang hangat diperbincangkan lagi.
Berita tentang bapak-bapak yang menambal jalan raya dengan uangnya pribadi tidak akan sampai di telinga banyak orang, sebab akan langsung diberikan serangan balik berupa romantisisasi kota beserta embel-embel kata-kata bijak dan background hujan rintik-rintik. Atau bisa saja langsung diserang dengan pertanyaan “KTP mana?” persis seperti kota sebelah. Bisa saja lho ini.
Oleh karena itulah saya bangga dengan kondisi Lamongan yang memang tidak bisa diromantisasi. Lagi pula kalau sudah cinta dan bangga, kenapa harus mencari-cari alasan? Bukankah cinta paling tulus adalah ketika mencintai apa adanya?
Atau jangan-jangan, pemerintah daerah memang sengaja membuat jalan yang rusak serta hal-hal yang tidak nyaman lainnya agar warga mencintai Lamongan apa adanya. Mungkin lho ini. Saya kan memang orang yang suka berprasangka baik.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Susahnya Menjadi Anak Kabupaten Lamongan: Bikin Iri sama Anak Surabaya, Malang, dan Jogja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.