Muslimah Pakai Jilbab, tapi Dibuat Merasa Hina

Muslimah Pakai Jilbab, tapi Dibuat Merasa Hina

Muslimah Pakai Jilbab, tapi Dibuat Merasa Hina

Setiap orang boleh, kok, menerjemahkan tujuan dan makna muslimah menggunakan jilbab. Nah, kalau buat saya pribadi, jilbab adalah kain yang dipakai dengan niat dan sakral oleh muslimah. 

Muslimah yang mengenakan jlbab dinilai memiliki tanggung jawab yang besar. Maksudnya, setiap kami yang mengenakan jilbab wajib merealisasikan perbuatan-perbuatan islami. Tidak boleh melenceng sedikit saja dan harus selalu taat perintah agama. Perempuan berjilbab dinilai harus perfect dalam amalan agamanya. 

Penghakiman dari masyarakat

Kenapa demikian? Kenapa masyarakat selalu menilai “Kalau berjilbab, berarti kamu alim, ya?”

Soal alim atau tidak tentu bisa diperdebatkan. Manusia itu wadahnya salah. Namun, bagi saya sebagai muslimah, saya bangga sudah berusaha menganut perintah Al-Qur.’an. Lagipula, jilbab bukan sekadar untaian kain yang digunakan di kepala untuk menutupi rambut. 

Jilbab adalah identitas bagi muslimah yang memakainya. Dengan begitu, diharapkan kondisi ini bisa meningkatkan spiritual kita. Namun, sayangnya, sebagai muslimah yang berusaha menjalankan perintah agama, saya masih sering merasa bersalah dan hina. Iya, merasa hina karena terkadang masih tidak bisa menahan emosi untuk berkata kasar dan nggak berperilaku islami banget.

Hati yang terluka

Itu kondisi di dalam batin saya pribadi. Perasaan merasa bersalah dan hina juga bisa datang dari luar. Misalnya, ketika mendengar kalimat: 

“Kalau pake jilbab kok pacaran?”

“Loh, kok ngerokok? Bukannya kamu pakai jilbab?”

Topik di atas memang complicated. Sebuah kondisi yang membuat hidup muslimah itu jadi berat. Seakan-akan kami ini tidak boleh berbuat salah. Kami dipandang harus sempurna dalam segala hal. Ingat, kami juga manusia. Sama seperti wanita pada umumnya dan semua laki-laki di luar sana. Setaat-taatnya manusia, pasti tidak ada yang sempurna.

Apalagi kalau sudah membicarakan kesempurnaan dalam beragama. Misalnya muncul kalimat:

“Pakai jilbab kok salatnya bolong.”

Tidak ada manusia sempurna

Gimana, ya. Mau pakai jilbab atau tidak, tidak ada hubungannya dengan kesempurnaan beragama. Semuanya kembali ke diri masing-masing, bukan? Termasuk keputusan untuk menutup aurat dari kepala sampai kaki. Setiap muslimah pasti punya sudut pandang sendiri. Dan yang penting, setiap dari kita tidak mungkin sempurna.

Bisa jadi, di luar sana, ada seorang perempuan tidak berjilbab. Kerjaannya dugem dan dia juga merokok. Namun, diam-diam, dia rajin memanjatkan doa di sepertiga malam. Ada juga muslimah berjilbab, tapi nyatanya nggak pernah salat dan mulutnya racun, melukai perasaan orang lain, dan menunjukkan lekuk tubuhnya.

Kita nggak pernah tahu dan bukan tempat kita untuk menghakimi sesama hanya dari tampilan. Apalagi menghakimi tingkat keislaman seseorang cuma berdasarkan looks saja. It’s too shallow.

Menjadi muslimah di zaman sekarang ini memang challenging banget. Semua hal selalu dicari kesalahannya. Membuat usaha untuk menjalankan perintah agama itu jadi nggak enak. Padahal, beragama itu seharusnya bikin bahagia, kan?

Misalnya, rambut keluar lima helai saja, langsung dihakimi seperti ini:

“Niat pakai kerudung nggak, sih?”

Ciput kamu murahan, ya?”

Mengingatkan itu beda dengan menghakimi 

Sangat boleh mengingatkan tapi nggak harus sekasar itu, kan? Coba deh lihat ke diri sendiri lalu bertanya: 

“Apakah jilbab saya sudah sempurna?” 

“Apakah saya sendiri sudah menjalankan perintah agama secara sempurna?”

“Apakah saya nggak pernah ngomong kasar dan menyakiti hati orang lain?”

“Apakah saya nggak pernah berbuat dosa?”

Saya pribadi tentu saja bukan muslimah sempurna. Namun, setidaknya saya masih terus berusaha untuk memperbaiki diri dan belajar. Kadang, rambut saya masih sedikit terlihat karena aktivitas. Yah, setidaknya saya bisa bersyukur karena lingkungan saya nggak membuat masalah dengan kondisi itu. Mereka mengingatkan dengan cara paling enak di telinga. Sama sekali nggak menghakimi. 

Terakhir, kadar keimanan kita itu berbeda. Misalnya, sekali kelihatan nggak salat, dibilang kafir atau Islam-nya cuma KTP. Bisa jadi muslimah ini sedang berhalangan. Kalaupun nggak lagi berhalangan, kondisi itu bukan urusan kamu. Semua kembali ke keputusan masing-masing. Dosa juga ditanggung masing-masing. 

“Sok open minded banget, sih”

“Kan kewajiban setiap muslim itu saling mengingatkan.”

Masih terus memperbaiki diri

Iya, sebagai muslimah, tentu saya akan menerima masukan dari orang lain. Saling mengingatkan itu baik. Selalu ada usaha dari kami yang mengenakan jilbab untuk bisa menjalankan perintah agama sebaik mungkin. Namun, jangan menghakimi, dong. Seakan-akan kami ini manusia sempurna.

Kami paham, kok kalau jilbab itu bukan cuma kain. Ini adalah identitas, pelindung, dan kebanggaan saya sebagai muslimah. Semua orang pasti bakal menemukan tujuan hidup masing-masing dan tugas kita hanya mengingatkan ketika salah, sembari memperbaiki diri kita sendiri.

Semoga argumen ini bisa diterima

Penulis: Kurnia Ramadhani

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Biarkan Perempuan Berjilbab seperti Saya Bebas Berekspresi dan Menjadi Diri Sendiri

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version