Kerja Full Time sebagai Musisi Kafe Ternyata Masuk Akal dan Menguntungkan Juga

Kerja Full Time sebagai Musisi Kafe Ternyata Masuk Akal dan Menguntungkan Juga

Kerja Full Time sebagai Musisi Kafe Ternyata Masuk Akal dan Menguntungkan Juga (Unsplash.com)

Saya heran sama orang yang nge-band di kafe-kafe. Terlepas mereka nge-band untuk sekadar mengisi waktu, memang passion, atau beneran berkarier, kok ya mau-maunya tampil berjam-jam membawakan puluhan lagu yang bayaran dan apresiasinya nggak seberapa itu. Bayarannya ngepres untuk biaya bensin dan rokok, sementara untuk sewa studio latihan atau ganti senar udah pasti nombok. Jadi musisi kafe nggak menguntungkan blas.

Eh, tapi itu dulu. Sekarang, saya justru sedang menekuni pekerjaan yang pernah saya pandang remeh sebelumnya: bekerja full time sebagai vokalis sebuah band spesialis musik rock di kafe-kafe di Kota Jogja. Ya, saya tahu, saya memang sedang menjilat ludah sendiri.

Kenapa malah nyemplung jadi musisi kafe?

Begini, sekarang live music sudah menjadi bagian penting di sebuah kafe. Live music bikin kafe terlihat lebih hidup dan cozy. Setiap saya ngopi dari kafe ke kafe, nyaris selalu ada live music-nya. Sekadar akustikan atau bahkan full band, setidaknya ada live music. Kalau kalian sering berkeliling dari satu kafe ke kafe lain, kalian pasti setuju sama saya.

Nah, karena peran musisi yang krusial untuk kafe itulah saya kemudian merasa tertantang. Lagi pula, kalau boleh jujur, cita-cita kecil saya ingin jadi kayak Jon Bon Jovi gitu. Seorang rock star yang sayang istri.

Bagi musisi amatiran, manggung di kafe tak ubahnya seperti tamtama militer yang berlatih perang. Panggung kafe atau Puslatpur (pusat latihan tempur) sama-sama menjadi ajang bereksplorasi dan meraih eksposur. Tempat ideal untuk mengasah skil dan menambah jam terbang sekaligus menunjukkan bakat dan potensi. Sebelum akhirnya benar-benar terjun langsung ke medan perang atau industri musik.

Dan benar saja. Setelah menahun menjadi musisi kafe, ternyata profesi ini nggak sesuram yang dulu pernah saya batin dan sepelekan. Khususnya soal bayaran dan apresiasi musisi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Sampai hari ini, profesi musisi kafe dapat saya andalkan sebagai tiang penghidupan untuk keluarga kecil saya.

Lantas, apa alasannya saya mempercayakan pekerjaan ini sebagai tiang penghidupan? Sini saya jelasin.

Fee kafe adalah upah pokok

Fee atau bayaran dari kafe adalah pendapatan pokok para musisi kafe. Sejatinya, nggak ada patokan pasti soal ini. Nggak ada undang-undang atau perda yang mengatur tentang UMR (Upah Musisi Reguler). Ini semua tergantung dari kesanggupan pihak kafe dan seberapa besar rate musisinya.

Umumnya di Jogja, pihak kafe akan memberikan upah pokok minimal 100 ribu rupiah kepada setiap personel untuk satu kali pentas. Nominal tersebut tentu jangan disamakan dengan fee kafe di kota-kota beken lainnya. Jelas jauh berbeda, ya. Rate tersebut juga hanya diperuntukkan buat musisi kroco yang lagi merintis karier, bukan untuk musisi sekelas Tri Suaka, Nayl Author, apalagi Tantri Kotak.

Untuk skema fee sebagai gambaran, misalnya band saya terdiri dari 5 personel, artinya pihak kafe setidaknya menyiapkan fee sebesar 500 ribu yang nanti dibayar kontan setelah kami manggung. Bayangkan jika kami ngamen 5 kali dalam seminggu, bayarannya sudah setara UMK Kabupaten Gunungkidul. Itu baru hitungan dari upah pokok, lho, belum termasuk saweran dan tip.

Selain itu ada model fee dengan sistem akumulasi. Jadi, pihak kafe akan membayar sekian rupiah kepada musisi untuk sekian penampilan. Misalnya, band saya dibayar 4 juta rupiah untuk 4 kali pementasan di kafe X. Selanjutnya, mekanisme pelunasan berikut terms and condition-nya menyesuaikan kesepakatan antara kedua belah pihak.

Serba-serbi saweran dan tip untuk musisi kafe

Kalau kalian sering ke kafe dan kebetulan ada live music-nya, pasti kalian sering menjumpai kotak saweran. Biasanya kotak ini ditaruh begitu saja di sekitar panggung atau dibawa keliling table-by-table. Sesuai namanya, fungsi kotak ini adalah wadah apresiasi untuk musisi yang tampil.

Seringnya band saya membawa keliling wadah tersebut meja demi meja tamu alias “jemput bola”. Adanya interaksi langsung antara musisi dan tamu kafe akan menciptakan jalinan komunikasi yang interaktif di antara keduanya. Tamu akan merasa lebih dihargai sebagai penonton dan lebih nyaman kalau misalnya mau request lagu.

Hal ini sangat mungkin akan mendongkrak pundi-pundi saweran. Apalagi ditambah dengan adanya kemiripan uang kertas edaran baru, yaitu antara nominal 2 ribu dan 50 ribu, banyak kasus tamu sering keliru nyemplungin duit. Sering-sering aja sih kalau begini, hehehe.

Selain itu, ada juga tamu yang nyawer langsung naik ke panggung. Bisa dengan cara salam tempel atau bahkan dikipas-kipasin kayak host Super Deal. Biasanya ini terjadi karena lagu favorit atau lagu request-nya tamu kafe dibawain oleh musisi yang tampil. Bisa juga karena mereka ngefans sama personel band yang manggung. Tapi alasan yang terakhir ini bikin kepedean mampus, sih.

Peluang saweran atau tip selanjutnya bisa didapatkan musisi dari pemilik kafe dan jajarannya. Kalau mereka kebetulan hadir dan puas dengan sajian musik si band, mbok yakin nyawernya blas nggak itungan. Band saya pernah disawer 2 juta sama bos besar salah satu kafe di bilangan Karangmalang, Sleman. Edan.

Jadi, bisa dibilang saweran atau tip adalah sumber pendapatan terbesar bagi musisi reguler kafe. Sebab, hasilnya bisa berkali-kali lipat lebih banyak ketimbang fee kafe. Saweran juga nggak melulu berwujud uang. Saya pernah disawer sebungkus rokok, voucher belanja, sampai khamr.

Aplaus dari tamu kafe bikin musisi senang sekaligus sadar diri

Selain besaran bayaran yang didapat, aplaus dari tamu juga bisa menjadi tolak ukur kepuasan mereka terhadap si musisi kafe. Bentuk aplaus ini bermacam-macam. Bisa berupa tamu ikut bernyanyi dari kursinya, mengabadikan lewat gawainya, atau bahkan standing applause kayak juri Liga Dangdut.

Sering juga ada tamu yang melambaikan tangan ke kanan-kiri sambil menyalakan senter atau korek api. Kalau udah begini, vibes-nya kayak di konser beneran. Yah, mirip-mirip konser band Padi waktu bawain lagu “Harmony”. Kalau sudah begini artinya para tamu terbawa ambience sajian musik dari para musisi kafe.

Sebagai penghibur, tentu saja kami harus semaksimal mungkin menampilkan performa yang perfek. Maka ketika terbayar kontan dengan riuh aplaus tamu, gayung bersambut kata pun terjawab. Tamu riang, band pun girang.

Sebaliknya, jika nggak ada aplaus, praktis membuat kami muhasabah diri. Kira-kira apa yang membuat para nggak rileks menikmati musik kami? Jangan-jangan ada yang salah dengan ketukan drum yang keluar tempo, vokal yang fals, atau gitarnya kurang stem? Atau kami-kami yang ngeband ini kurang enak dilihat?

Perut dan kantong aman berkat menu-menu komplemen kafe

Selain fee, musisi reguler selayaknya juga mendapatkan komplemen atau bonus berupa makanan dan minuman dari pihak kafe. Sebab, keduanya adalah wujud apresiasi dari pihak kafe untuk musisi. Menu-menu komplemen tersebut umumnya sama dengan menu yang dijual. Walau terkadang ada juga “hidden menu” atau “spesial menu request” yang diminta dan disediakan khusus untuk musisi kafe.

Oleh karena menu-menu tersebut disediakan secara gratis, sering kali saya sengaja nggak makan dulu dari rumah ketika akan manggung di kafe. Selain dalam rangka penghematan, kesempatan itu saya gunakan untuk mencicipi menu-menu andalan kafe tersebut. Lidah bergoyang, perut aman, kantong pun nyaman. Nikmat betul.

Begitulah yang saya alami sejauh ini selama menggeluti profesi sebagai musisi kafe. Sejak pertama kali nyemplung sampai hari ini, saya semakin yakin bahwa pekerjaan ini bukan saja mampu membuat saya bertahan dan menjadikannya sebagai sumber penghasilan utama semata. Profesi ini juga menjadi batu loncatan karier saya.

Di balik itu semua, banyak juga hal yang bikin mangkel dan capek. Namanya juga kerja, kan. Tapi mengingat pekerjaan ini sebagai passion yang dibayar, rasanya enteng-enteng saja untuk dilakukan, sih.

Jadi, buat kalian yang hobi bermusik, nggak ada salahnya menyalurkan bakat kalian di panggung-panggung kafe terdekat. Sebab, persis seperti kata Jon Bon Jovi, “Take a chance, sometimes it’s all you need.”

Penulis: M. Wildan Sidqi Purwanto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Kultur Cover Lagu di Kafe dan Minimnya Pengetahuan Soal Performing Rights.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version