Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Politik

Mural, Represi, dan Residu Orde Baru

Suwatno oleh Suwatno
16 Agustus 2021
A A
mural represi residu orde baru mojok

mural represi residu orde baru mojok

Share on FacebookShare on Twitter

“Ah…Delembhis kuro!! Kalau kayak gini mesti aku yang jadi sasaran.” Pardi mengumpat sesaat setelah mengecek gawainya. Joran dari bilah bambu di tangannya dihujamkan ke tanah. Cak Narto dan Solikin yang sedari pagi duduk khusyuk di sampingnya terkesiap mendengar makian tanpa aba-aba itu.

“Kamu kenapa, Di? Disuruh pulang istrimu, tah?” Tanya Cak Narto menggoda.

“Itu lho, Cak. Coba Sampean baca di grup wasap RW.” Jawab Pardi mecucu. Solikin dan Cak Narto bersamaan mengecek notifikasi.

“Teman2 karang taruna, tolong yang seperti ini jangan sampai kejadian di kampung kita, ya. Tolong jangan membuat kegaduhan. Cc: @Pardi Konpeksi.” Pak Sunoto Babinsa mengirimkan sebuah tangkapan layar berita penghapusan mural dengan tampilan mirip Presiden Jokowi di bilangan Tangerang.

“Njiihhh, siappp…tapi kenapa di-cc ke saya ya, Pak?” Pardi meluncurkan balasan ke grup dengan segaris urat di rahangnya.

*Pak Priyono is typing*

“Kan Sampean yang pernah nggambari tembok utara Polsek, Mas Pardi.” Pak Babinkamtibmas itu membalas pertanyaan Pardi. Mengakhirinya dengan deretan emot tangkupan tangan.

“Itu namanya reputasi, Pak Pardi. Insyaallah dibawa mati, hahaha.” Kanapi, yang hari ini tidak ikut mancing, mengolok kawannya itu. Rentetan emot manusia-kuning-terbahak-berurai-air mata di akhir kalimat semakin membuat kesal Pardi.

Baca Juga:

Menonton Film Eksil sebagai Cucu Jenderal Zaman Orde Baru Bikin Hati Saya Remuk Tak Berbentuk

Tangisan Buruh Alfamart yang Dimaki Atasan Bukan Tangisan Manja, Justru Itu Tanda Bahaya yang Tak Boleh Kita Abaikan

Beberapa tahun lalu Pardi, yang seorang pensiunan anak punk cum seniman jalanan itu, memang pernah membuat mural di tembok luar Polsek yang menghadap lapangan desa. Itu sebelum dia memutuskan menikah dan membuka usaha konveksi di seberang Koramil.

Sebuah mural penolakan pabrik semen yang rencananya akan beroperasi menambang batu kapur di pegunungan desa beberapa tahun lalu. Buntutnya, setelah beberapa kali dipanggil ke Polsek, Pardi diminta untuk menimpa mural yang dianggap provokatif itu.

Meski setelah bertahun ia tak lagi hobi corat-coret tempat umum dan selalu memberikan diskon untuk pesanan baliho dari instansi-instansi setempat, reputasinya sebagai vandalis memang belum kunjung hilang. Setidaknya di mata aparat penegak hukum desa.

***

“Sudah lah, Di. Pak Babin itu kan sak dermo menjalankan perannya. Ndak usah kamu ambil hati, lah.” Cak Narto berusaha menghibur. Tapi, Pardi masih terlihat kesal dengan mulut umak-umik.

“Aneh ya, Cak.” Pardi membuka diskusi,”Setelah 23 tahun reformasi, pemerintah kita masih alergi sama kritik. Bahkan cuma mural gitu aja bisa bikin geger media.” Dilemparkannya kail ke tengah deras arus sungai.

“Kalau kata petugas yang menghapus mural sih karena gambar itu dianggap sebagai bentuk penghinaan kepada simbol negara, Mas Di. Ini sedang dicari siapa pelakunya.” Solikin menimpali setelah memasukkan kembali gawai ke kantong celana.

“Bolak-balik kok gini terus. Kritik direpresi.” Semakin jauh Pardi melempar kailnya.

“itu semua memang residu, Ndes. Sisa-sisa ke-absurd-an Orde Baru.” Cak Narto menimpali dengan tatapan ke arah sungai.

“Maksudnya, Cak?”

“Dulu jaman orba, para bawahan sibuk menafsir gestur presidennya. Sering kali represi oleh terjadi bukan karena adanya perintah presiden atau alasan penegakan hukum. Tapi, karena adanya salah tafsir atas gestur presiden. Dan itu yang terjadi hari ini di kasus mural itu. Maka, menurutku, ini residu Orde Baru.”

“Mashok, Cak.” Pardi mengangguk.

“Gestur gimana, Cak? Residu apa?” Solikin yang lahir di era Reformasi tidak mengerti apa yang dimaksud Cak Narto.

“Gini, Kin, dulu seumpama presiden sedang mancing di sini, seumpama lho ya, terus kok kailnya sudah berjam-jam tidak tersambar ikan, lantas beliau berkelakar ‘wah ini mungkin karena di atas sana banyak yang nyetrum, makanya di sini nggak ada ikannya…’ para pengawal yang mendengar itu lantas membikin SK yang melarang orang nyetrum ikan di seluruh kali Nusantara. Lebih jauh, orang yang nyetrum ikan bisa diseret ke Koramil.”

“Jadi, saking haibatnya sosok presiden, sampai-sampai gestur dan guyonannya pun disalahtafsirkan yang berujung represi. Tapi, itu contoh lho ya…dan itu dulu. Hehehe.” Cak Narto menjelaskan dengan tersenyum aneh.

“Lha, terus maksudnya residu apa, Cak?” Solikin penasaran.

“Ya gitu, Kin. Kultur menafsir gestur presiden itu masih terbawa sampai sekarang. Gitu aja masa kamu ndak ngerti.” Pardi menimpali dengan kesal.

“Apa maksud Sampean gestur Presiden Jokowi ketika melihat mural itu disalah tafsirkan oleh jajaran di bawahnya gitu, Cak?” Kejar Solikin.

“Aku sih malah nggak yakin kalau presiden pernah melihat mural itu, Kin. Menurutku, penghapusan itu ya bentuk ekspresi khawatir yang berlebihan saja dari seorang bawahan. Semacam rasa takut kalau terlihat ‘tidak bisa menjaga ketertiban…” Cak Narto mengangkat tangannya, membuat gestur tanda petik, “…maka mereka menafsir. Sebelum ditegur, mending mural itu segera dihapus.”

Cak Narto melemparkan kreteknya ke arus sungai.

“Cak, jangan buang sampah sembarangan, pamali.”

“Hehehe, maaf. Lanjut ya. Ketika aksi semacam itu memantik kontroversi di masyarakat karena dianggap sebagai bentuk represi dari aparat, akhirnya yang keluar pernyataan blunder semacam itu tadi, Kin.”

“Blunder yang mana, Cak?”

“Ya itu tadi, yang katanya mural itu bentuk penghinaan simbol negara. Padalah kamu tentu tahu kalau presiden bukan simbol negara, tho…” Solikin manggut-manggut.

“Dan hal semacam itu yang terjadi di banyak hal lainnya, Kin, seperti razia buku, razia postingan medsos atau pembubaran diskusi-diskusi. Semua itu dilakukan bukan karena alasan penegakan hukum. Seringnya ya karena budaya menafsir gestur presiden yang sudah mengakar semenjak Orde Baru dulu. Selain karena caper juga, siiih.” Jelas Cak Narto terkekeh.

“Presiden lima tahun sekali diganti kok nggak boleh dikritik…hadeuh…” Pardi kembali mecucu. Tapi sejurus kemudian Ia tampak sumringah ketika akhirnya seekor ikan gabus menyambar kailnya.

***

Gemuruh arus sungai yang membelah desa terdengar begitu ritmis. Di dahan pohon saman sepasang burung cendet melompat-lompat.

Belalang yang sedang mengerat dedaunan sejenak berhenti, menengadah ke arah langit, seperti bertanya, Tuhan, kapan pandemi ini usai?

BACA JUGA Jokowi dan Memori Orde Baru yang Masih Membekas dan tulisan Suwatno lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 30 Agustus 2021 oleh

Tags: Demokrasikolom cak nartomuralorde baruPojok Tubir Terminalrepresiresidu
Suwatno

Suwatno

Penulis adalah bapak (muda) dengan tiga orang anak. Tinggal di Palangka Raya.

ArtikelTerkait

Ketika Retorika Politikus Indonesia Memprediksi Juara Euro 2020

21 Juni 2021
menggelar hajatan di tengah pandemi mojok

3 Alasan Orang Nekat Menggelar Hajatan di Tengah Pandemi

2 Agustus 2021
Suka Duka Jadi Satgas Covid-19: Dicari Saat Ada Paparan, Dimusuhi Saat Beri Imbauan terminal mojok.co

Satgas Covid-19: Dicari Saat Ada Paparan, Dimusuhi Saat Beri Imbauan

30 Juni 2021
Pejuang Kita Tidak Minta Izin Belanda Waktu Bikin Mural

Pejuang Kita Tidak Minta Izin Belanda Waktu Bikin Mural

16 Agustus 2021
Mentakwil Pertarungan Politik di Tahun 2020

Mentakwil Pertarungan Politik di Tahun 2020

10 Februari 2020
korea selatan jepang barat tenno heika banzai mojok

Korea Selatan, Jepang Barat, dan Netizen Indonesia yang Kebablasan

3 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

7 Fakta Surabaya yang Bikin Kota Lain Cuma Bisa Gigit Jari

7 Fakta Surabaya yang Bikin Kota Lain Cuma Bisa Gigit Jari

30 November 2025
Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

Pengalaman Nonton di CGV J-Walk Jogja: Murah tapi Bikin Capek

4 Desember 2025
Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

Jalur Pansela Kebumen, Jalur Maut Perenggut Nyawa Tanpa Aba-aba

2 Desember 2025
Menanti Gojek Tembus ke Desa Kami yang Sangat Pelosok (Unsplash)

“Gojek, Mengapa Tak Menyapa Jumantono? Apakah Kami Terlalu Pelosok untuk Dijangkau?” Begitulah Jeritan Perut Warga Jumantono

29 November 2025
4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
5 Hal yang Jarang Diketahui Orang Dibalik Kota Bandung yang Katanya Romantis Mojok.co

5 Hal yang Jarang Diketahui Orang di Balik Kota Bandung yang Katanya Romantis 

1 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.