‘Munajat Cinta’ The Rock Indonesia: Karya Picisan yang Tetap Relevan dengan Zaman

Munajat Cinta The Rock Indonesia_ Karya Picisan yang Tetap Relevan dengan Zaman terminal mojok

Sejujurnya lagu “Munajat Cinta” tidak bisa dikatakan sepenuhnya buruk untuk ukuran sebuah karya musik. Ya tidak buruk seandainya kita tidak melihat nama di balik lagu ini, yaitu the one and only Ahmad Dhani. Untuk ukuran nama besar Ahmad Dhani, jelas lagu ini teramat sepele, pun sampai tak lolos kurasi Dewa 19 dan ditolak mentah-mentah oleh Once. Hingga terpaksa dioper ke project-an Ahmad Dhani lain yaitu The Rock Indonesia. Pun barangkali lagu “Munajat Cinta” hanya tak lebih buruk dari karya Ahmad Dhani seperti “Ku Ingin Kita Lama Pacaran di Sini” alias “Neng-neng-nong-neng”. Itu, thok!

Kesan picisan bukan hanya berdasar pada fakta bahwa lagu ini tak lolos kurasi Dewa 19, tapi juga pada lirik “Munajat Cinta” yang jauh dari kesan perangkaian kata ala Ahmad Dhani di karya-karya lainnya. Sederhana, easy listening, dan jauh dari kesan ngawang. “Munajat Cinta” adalah kontradiksi dari karya-karya terbaik Ahmad Dhani. Nilai plus mungkin hanya soal judul “Munajat” yang barangkali hanya akan lahir dari kepala dan tangan se-expert Ahmad Dhani. Kira-kira seperti itu pandangan dari orang yang awam dengan detail instrumen musik seperti saya.

Menariknya, walau secara kualitas memang biasa saja, secara pasar jelas lagu ini sangat menjual. Tak heran, untuk ukuran karya sepele, pada masa jayanya lagu ini  berhasil memuncaki tangga lagu MTV. Pun jika kita lihat hari ini soal angka di YouTube, “Munajat Cinta” barangkali hanya kalah dari “Pupus”, sementara secara telak mengungguli karya-karya Ahmad Dhani lain yang juga laku di pasaran seperti “Risalah Hati”, “Separuh Nafas” dan tak terkecuali lagu paling legendaris Dewa 19 “Kangen”.

Lagu ini memang fenomenal pada masanya. Saya yang kala itu masih bocah di mana masalah terbesar hidup hanya perihal matematika, tanpa bosan dan tanpa berdosanya menyanyikan lagu ini. Pun yang dilakukan teman-teman saya kala itu. Dari lirik yang sederhana, tentu kala itu saya cukup mampu menginterpretasikan lagu ini, dan barangkali sangat mengerti apa makna dari lagu ini. Ya, bedanya kala itu saya memandang persoalan asmara hanya sebatas waktu, kelak ketika dewasa Tuhan bakal enteng tangan mengamini doa yang diwujudkan melalui lagu “Munajat Cinta”.

Satu dekade lebih berlalu, “Tuhan kirimkanlah aku, kekasih yang baik hati” kata di reff-nya, ternyata bukan persoalan waktu semata, yang kelak bakal mudah terwujud ketika saya dewasa, semudah mendapat hadiah setelah merengek kepada orang tua sebagai prasyarat untuk disunat. Barangkali saya tak membayangkan lagu ini bakal tetap relevan ketika saya menginjak usia kepala dua, pun pikir saya kala itu. Barangkali saat ini saya tak berkutat pada persoalan yang saya pikir sepele semacam itu.

Lagu ini justru makin relevan di kala usia makin bertambah. Permohonannya bukan hanya kekasih, melainkan “kekasih yang baik hati”, “yang mencintai aku apa adanya”. Sangat to the point dan tak murah-murah. Sayangnya, hingga usia bertambah, Gusti Pangeran nampaknya belum mengamini permohonan itu, pun nampaknya usaha saya memang juga hanya sebatas meng-install Tinder saja. Muehehehe.

Kenyataan pahit tentu bukan hanya berujung sampai permohonan tak diturunkannya kekasih yang baik hati dan nrimo-nan, melainkan juga pada kenyataan kehampaan yang semakin hampa. “Cinta ini yang selalu pupus” bak mawar yang semakin layu dan tak ada yang memiliki. Saya tak pernah membayangkan betapa lagu remeh ini sebegitu menyentil di usia saya kini.

Ya, lagu ini akan tetap relevan dari hari ke hari, dari malam ke malam, seperti yang sudah-sudah. Bukan hanya tetap, tapi semakin relevan hingga Sang Gusti Pangeran mengabulkan dan menuntaskan permohonan sederhana yang sebenarnya  tak sederhana-sederhana amat itu. “Munajat Cinta” yang terkesan sepele, ternyata tak sesepele yang dibayangkan.

Malam di mana saya menulis ini adalah saksi, di mana lagu ini semakin terasa nyelekit oleh waktu. Di malam “ku sendiri, tak ada yang menemani”. Ada yang menemani, tapi itu sebatas kebulan tembakau, es teh plastik, dan suara war-wer-wor kipas saja. Dan kini, ketika “Munajat Cita” kembali diputar, lagu ini memiliki dua magis: Pertama, membangkitkan saya kembali ke masa kecil yang kala itu menyanyikan lagu ini dengan riang setiap hari. Kedua, lagu ini semakin menampol saya untuk menghadapi kekosongan-kekosongan yang akan kembali di hari-hari esok. Ya, seperti yang sudah-sudah.

Sumber Gambar: YouTube KaraIndo

BACA JUGA Lagu ‘Aku Bukan Superman’ Mengandung Lirik Kelam yang Salah Banget dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version