Monumen Rawagede, Saksi Bisu Pembantaian Sadis dalam Puisi Karawang-Bekasi

Monumen Rawagede, Saksi Bisu Pembantaian Sadis dalam Puisi Karawang-Bekasi

Monumen Rawagede, Saksi Bisu Pembantaian Sadis dalam Puisi Karawang-Bekasi (pixabay.com)

Setelah tinggal beberapa tahun di Kota Pangkal Perjuangan, Karawang, saya baru menyadari ternyata di sini ada wisata bersejarah yang bernama Monumen Rawagede. Monumen ini terletak di desa Balongsari (dulunya Rawagede), kecamatan Rawamerta, sekitar 30 menit dari pusat kota Karawang. Tempatnya memang agak masuk ke pedesaan dan berada di tengah-tengah pemukiman warga. Kali pertama ke sana rutenya cukup membingungkan dan solusi terakhir ketika Google Maps tidak bisa menolong, bantuan warga sekitar sungguh berguna dalam menemukan tempat bersejarah ini.

Untuk masuk ke monumen kita hanya dikenakan biaya 2500 rupiah saja. Monumen ini berbentuk kerucut dan memiliki dua lantai. Di lantai atas atau ruangan utama kita akan disambut oleh patung seorang perempuan yang tengah memangku dua anak lelakinya yang tergolek tak bernyawa. Di samping bagian atas patung berwarna kuning emas itu terdapat potongan puisi Karawang-Bekasi. Tepat di belakang monumen ini terdapat taman dan ada 183 makam di sana. Di mana di bagian tepi, semua dindingnya terdapat ukiran yang menyiratkan peristiwa Rawagede kala itu.

Mungkin banyak orang yang sudah mengenal puisi Chairil Anwar yang berjudul Karawang-Bekasi, tapi tak banyak orang yang tahu sejarah di balik puisi tersebut. Saya salah satu orang yang tak paham tentang makna puisi ini. Mungkin karena saya mengenal puisi ini dari kacamata guru bahasa Indonesia, sehingga saya hanya belajar bagaimana intonasi pengucapan puisi ini saja. Dalam pelajaran sejarah sendiri, peristiwa ini seperti ter-skip di memori saya. Entah, saat pelajaran sejarah saya ngantuk di kelas atau mungkin guru saya sedang rapat PGRI sehingga terlewati, saya juga tidak paham. Yang pasti cerita tentang peristiwa Rawagede ini justru baru saya tahu setelah lulus dari bangku sekolah. Masa iya sejarah sepenting ini tidak masuk di materi sejarah, kan nggak mungkin juga ya?

Peristiwa Rawagede ini terjadi pada 1947, dua tahun setelah Indonesia merdeka. Meski Indonesia sudah merdeka namun tentara sekutu bersama Belanda belum juga move on dari tanah jajahannya. Mereka masih berharap untuk balikan lagi dan menjalin hubungan toxic agar bisa menguasai Indonesia lagi. Namun, ternyata Indonesia sudah tidak mau diperdaya lagi, sehingga perlawanan untuk mengusir sekutu dan tentara Belanda terus digalakan.

Pada saat itu tentara Belanda tengah mengincar Mayor Jenderal TNI Lukas Kustaryo yang merupakan Komandan Kompi Siliwangi. Lukas dianggap sangat cerdas dalam mengatur strategi hingga melakukan penyerangan berkali-kali terhadap pos Belanda. Hanya saja Lukas sangat licin dalam bergerilya sehingga sulit untuk ditangkap. Tentara Belanda bahkan sampai melakukan sayembara dengan hadiah yang cukup besar untuk kepala Lukas Kustaryo.

Gara-gara mata-mata yang cepu, akhirnya tentara Belanda tahu kalau Lukas Kustaryo berada di Rawagede. Sebelum tentara Belanda datang, warga sekitar sudah terlebih dahulu memberi tahu Lukas untuk segera meninggalkan tempat itu. Ada dua versi yang menyebutkan tentara Belanda datang pada sore hari sebelum maghrib, dan ada yang bilang bahwa tentara Belanda datang di kala subuh. Intinya kala itu ratusan tentara Belanda datang ke desa itu untuk menggeledah semua rumah, lalu mengumpulkan semua lelaki di tanah lapang. Semua orang memilih bungkam dan tak mau menjawab saat ditanya ke mana perginya Lukas Kustaryo. Oleh karena tak mendapatkan jawaban, akhirnya tentara Belanda menembak mati 400-an warga sipil tak berdosa itu.

Pembantaian ini terjadi di desa Rawagede, sebuah desa di Karawang yang berbatasan dengan Bekasi. Mungkin inilah alasan dari Chairil Anwar memilih judul puisi ini. Saya baru mengerti makna tentang “tulang” yang dimaksud dalam puisi itu. Ratusan nyawa melayang dalam waktu sekejap. Terbaring ratusan mayat dari Karawang hingga Bekasi.

“Tulang-tulang” ini seolah mencari arti dari nyawa yang telah mereka korbankan. Mereka memang benar tidak mengangkat senjata untuk melawan penjajah. Mereka hanya diam. Bungkam. Namun, kebungkaman mereka ini memiliki arti yang sangat dalam. Betapa setianya mereka pada bangsa ini, hingga tak mau berkhianat, meski nyawa taruhannya. Mereka diam demi menyelamatkan kemerdekaan bangsanya, yang mana mereka menganggap bahwa Lukas Kustaryo perlu dilindungi demi perjuangan bangsa ini mempertahankan kemerdekaan. Mungkin inilah definisi diam adalah emas yang sesungguhnya.

Seorang ibu-ibu tua penjual kopi di monumen ini bercerita bahwa dulu semua lelaki di desa ini ditembak tak bersisa, hanya meninggalkan anak-anak yang menjadi yatim dan para perempuan yang menjadi janda. Itulah makna di balik patung perempuan yang merengkuh anak laki-laki di pangkuannya. Tak terbayangkan betapa menyayatnya suara tangisan perempuan kala itu yang menangisi suami, ayah, bahkan anak laki-lakinya yang terbaring tak bernyawa.

Menurut saya monumen ini sangat recommended banget untuk dijadikan tujuan wisata. Mari memberi arti atas perjuangan mereka. Seperti bait terakhir dalam puisi Karawang-Bekasi,

“Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi”

Penulis: Reni Soengkunie
Editor: Rizky Prasetya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version