Awal tahun 2019 saya mengalami kejadian aneh. Saya tiba-tiba linglung setelah seharian baca buku sendirian di kamar. Pikiran saya kacau. Seperti sesak, bingung, dan ingin menangis tanpa alasan yang jelas.
Satu-satunya yang terngiang dalam pikiran saya saat itu adalah: apa tujuan hidup saya? Untuk apa saya dilahirkan? Untuk apa saya terus bertahan dan melanjutkan kehidupan yang menjemukan ini? Apa yang ingin saya cari?
Pertanyaan-pertanyaan itu terasa sangat menakutkan. Karena saya tidak menemukan jawabannya. Setiap kali saya coba menjawab secara normatif, batin saya menolak. Misalnya, saat saya menjawab, tujuan hidupku ya untuk beribadah kepada Tuhan, menebar kebaikan, membahagiakan orang tua, mencapai cita-cita, dll.
Ah, bullshit! Sosok lain di diri saya menegur penuh amarah. Beribadah pada Tuhan yang mana? Nyatanya, setiap kali salat tak pernah khusyuk dan benar-benar tulus ingin bersua dengan Tuhan. Asal jungkar-jungkir sambil mengucap Allahuakbar. Memangnya, kamu sedang nge-prank Tuhan?
Lalu, apa itu membahagiakan orang tua? Menanyakan kabarnya saja sangat jarang. Kamu bilang ingin menjadi anak yang berbakti tapi masih sering bikin mereka sakit hati.
Ah, cita-cita! Cita-cita yang mana? Sehari-hari kamu hanya terjebak kerja, kerja, kerja, dan menunggu datangnya gaji. Bahkan, kamu lebih sering mengorbankan idealisme demi mewujudkan visi yang didengungkan bosmu. Jadi, itukah cita-citamu sekarang? Jauh-jauh merantau hanya untuk mewujudkan impian seorang bos yang tak kaukenal secara pribadi?
Sudaaahhh, cukup! Saya merasa terpojok dan hanya bisa menangis. Saya mulai cari pembelaan. Saya manusia biasa. Tak mengapa jika saya belum bisa beribadah secara khusyuk, menyenangkan hati orang tua, atau sukses mewujudkan cita-cita. Tapi, batin saya enggan menerima pembelaan itu. Pikiran saya terus dibuntuti pertanyaan, “Untuk apa saya hidup?”
Ini sangat mengganggu. Selama beberapa minggu saya sering melamun dengan tatapan kosong. Ditambah lagi, saya mengalami flu (batuk, pilek, meriang, dan sakit kepala yang cukup aneh. Terasa pusing, namun denyutnya tak beraturan dan sangat menusuk). Ya Allah, sakit macam apa ini?
Anehnya lagi, nafsu makan saya hilang. Ini kejadian langka seumur hidup saya. Baru kali itu saya tidak nafsu makan. Saya lapar, tapi nyaris hanya makan 1-2 sendok nasi. Saya malas mengunyah nasi karena terus diikuti pertanyaan, “Untuk apa saya hidup?”
Lagi-lagi saya hanya bisa menangis. Tapi kali ini tidak sendirian. Karena saya ditemani sepiring nasi yang juga ikut menangis. (Hah, maksudnya? Bukankah kata orang tua dulu, kalau makannya tidak dihabisin, nanti nasinya nangis? Hehe… skip.)
Setelah berminggu-minggu terkungkung pertarungan batin, saya coba mencari jalan keluar. Sebenarnya ini gara-gara apa sih? Mungkinkah saya depresi? Atau, inikah yang disebut insecure di masa-masa quarter life crisis?
Mendekati usia seperempat abad membuat saya overthinking. Semuanya terasa njomplang saat menyadari betapa banyak ekspektasi yang harus rela bertepuk sebelah tangan. Mulai dari pekerjaan, cita-cita yang terpendam, hingga kehidupan percintaan. Bodohnya lagi, saya malah membanding-bandingkan diri sendiri dengan pencapaian teman yang jelas-jelas ramashok di skenario Tuhan.
Saya sering mengutuk diri sendiri yang tak mempunyai kegiatan positif selain hanya disibukkan urusan kerja, kerja, dan menunggu datangnya gaji. Tidak ada lagi hobi atau tenggelam dalam produktifitas berkarya. Saya merasa pikiran saya semakin tumpul dan tak berguna.
Capek menyalahkan diri sendiri, saya memilih untuk berdamai. Memaafkan segala yang terlewat dan menyambut datangnya kesempatan baru. Pada masa itulah Terminal Mojok menjadi salah satu penyelamat saya. Di tengah krisis kepercayaan pada diri sendiri, Terminal Mojok menghadirkan ruang kebebasan tempat saya bisa menulis sekehendak hati dan pikiran saya.
Bagi saya, itu adalah kebahagiaan tersendiri. Kembali menulis setelah hampir tiga tahun vakum menulis blog adalah kebahagiaan tak terkira. Ibarat kembali dipertemukan orang tersayang yang telah lama menghilang.
Setiap harinya saya memang masih menulis. Tapi, saya menulis konten-konten promosi untuk perusahan tempat saya bekerja, bukan untuk saya pribadi. Setiap hari saya hanya menulis menurut permintaan atasan, bukan atas kreatifvtas dan kehendak bebas saya pribadi. Saya menulis semata-mata untuk mengejar cuan, bukan untuk menyuarakan hati dan pemikiran. Lama-kelamaan, bekerja sesuai passion yang saya kira akan menyenangkan, nyatanya berubah menjemukan.
Di situlah saya sangat bersyukur menemukan Terminal Mojok. Ia bukan hanya wadah yang memberi kesempatan saya menulis sekehendak hati dan pikiran saya secara bebas. Namun juga salah satu obat penyembuh pada saat kondisi mental saya dalam keadaan tidak baik-baik saja. Saya merasa Mojok telah ikut andil dalam membangkitkan harapan dan kepercayaan diri saya lagi. Sejak tulisan pertama saya terbit di Terminal Mojok, saya merasa masih ada kesempatan untuk terus berkarya dan berbenah.
Terima kasih Mojok. Kedengarannya ini memang lebay. Tapi kalau mengutip kata seorang teman, apa sih yang lebih romantis daripada sebuah kejujuran? Sukses selalu ya! Selamat datang wajah baru Mojok 🙂 Semoga semakin uwuwuuu~
BACA JUGA Yakin Sudah Merdeka? Nyinyiran Tetangga dan Kenangan Mantan Saja Masih Sering Menjajah dan tulisan Riris Aditia N. lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.