Jika disuruh nostalgia masa kecil dan ditanya hal apa yang pertama saya ingat adalah isu penculikan. Memang pada awal 2000-an isu penculikan selalu beredar dan selalu dikait-kaitkan dengan tumbal proyek.
Dan kebetulan pada zaman saya SD, lagi marak-maraknya pembangunan daerah termasuk jembatan yang menghubungkan antarwilayah. Cerita ini selalu ada dari mulut ke mulut para orang tua. Bapak-bapak yang biasa membantu proyek suka menceritakan mengenai tumbal kepala yang dijadikan pondasi jembatan. Dan lucunya lagi kita percaya kalo mobil jip itu adalah mobil penculik. Alhasil kalo liat mobil jip dijalanan pasti langsung lari terbirit-birit wkwk.
Cerita mengenai kepala yang dijadikan tumbal proyek untuk dijadikan fondasi jembatan sudah ada sejak masa penjajahan ratusan tahun lalu. Katanya, hal ini benar terjadi pada proyek konstruksi era 70–80-an.
Menurut kisah para orang tua, fenomena tumbal ini terjadi di proyek konstruksi jembatan. “Orang proyek” akan mencari sepasang anak kecil (laki-laki dan perempuan) di lokasi sekitar proyek. Dua anak malang yang berhasil dibujuk ini nantinya akan ditimbun hidup-hidup dengan beton di pilar penyangga jembatan sebelah kanan dan kiri. Hal ini bertujuan supaya roh dua anak ini menjadi penjaga jembatan, dan membuat jembatan menjadi kokoh dan awet.
Tapi, pikir lagi. Hal sekejam itu–tumbal proyek—dilakukan supaya jembatannya kuat? Nggak masuk akal kan? Saya jadi inget satu cerita sejarah, tapi ini lebih mirip sebuah anekdot.
Jadi saat itu negeri ini masih mengandalkan rakit untuk menyeberang sungai. Lalu datanglah insinyur-insinyur Belanda untuk membangun burg atau jembatan. Oleh karena minimnya pengalaman yang dimiliki warga, mereka kebingungan dan bertanya kepada para meneer tersebut. “Bagaimana cara yang ampuh agar kami bisa membangun jembatan yang kuat dan awet?” “Dengan ini!” jawab salah seorang meneer sambil menempelkan jari telunjuknya tepat di kepala orang yang bertanya. Dari dialog tersebut, warga berasumsi bahwa untuk membangun jembatan yang kokoh, maka harus menggunakan kepala manusia.
Tentu saja tidak ada yang mau kepalanya dijadikan tumbal. Maka muncullah dongeng orang potong kepala untuk mencari tumbal dengan cara menculik dan memenggal kepala. Padahal bagi para meneer Belanda, saat ia menunjuk kepala, itu berarti menggunakan isi kepala untuk menghasilkan jembatan yang kokoh, alias otak.
Dari cerita di atas, sudah jelas toh, bahwa tumbal kepala di jembatan itu sesuatu yang salah kaprah. Tapi, ya untuk kepastiannya, sih, nggak tau juga. Bukan karena saya nggak percaya hal gaib lho, soalnya membangun jembatan itu pasti dan seharusnya berhubungan dengan ilmu pengetahuan.
Ngomongin proyek di masa sekarang, saya kira fenomena tumbal-sulam sudah jarang terdengar. Bagaimana tidak? Selain sudah dikaruniai ilmu pengetahuan dan akal sehat, keselamatan seluruh tenaga kerja—dari kepala proyek sampe kuli tukang gali—dijamin dan diatur dengan baik dan ketat.
Buat yang masih meyakini kalo ritual-ritual tumbal proyek diperlukan agar jembatannya kuat, sekarang gini deh. Anggap aja kamu adalah pemerintah yang mau bikin jembatan, kamu bakal ngasi proyek ini ke kontraktor, atau ke dukun? Kamu mau adukan semennya ntar dicampur kembang kamboja? Wqwqwq~
Memang Sspanjang sejarah peradaban manusia di banyak belahan bumi manapun, ritual permintaan dengan mempersembahkan nyawa manusia sudah terjadi sejak sejarah masih ditulis di dinding goa. Tujuannya mulai dari meminta hujan, menuntaskan wabah penyakit, minta menang perang, dan lain-lain. Tapi, kalau mau dipikir-pikir lagi, logika naruh orang hidup-hidup sebagai tumbal proyek biar kuat itu nggak masuk akal. Iya, kan?
BACA JUGA Cerita Pedih di Balik Mitos Bukit Gundaling dan tulisan Lilih Siti Nurhasanah lainnya.