Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti pelatihan menjadi surveyor lapangan di sebuah hotel di Surabaya. Suatu kali, instruktur kelas mengeluh karena banyak peserta perempuan belum kembali ke ruangan setelah coffee break selama 15 menit. Salah satu peserta perempuan menjelaskan bahwa kawan-kawannya masih mengantri di toilet perempuan.
Kejadian itu membuat saya berpikir. Nggak cuma di hotel, hal ini juga sering terjadi di bioskop, misalnya. Antrian di toilet perempuan seringnya lebih panjang dibandingkan toilet umum untuk laki-laki. Misalnya di toilet laki-laki di hotel tadi. Saya justru menemui keheningan, saking nggak ada orang sama sekali di sana. Sedangkan di sebelah, yakni toilet perempuan, malah antri hingga ke luar ruangan.
Apakah mungkin, alasan antrian panjang di toilet perempuan itu karena perempuan lebih gampang dan sering buang air kecil? Rasa-rasanya, sepertinya nggak, deh. Saya sendiri yang laki-laki juga suka beseran. Kalau menurut saya, antrian itu terjadi karena beberapa alasan.
Kloset urinoir di Indonesia masih bias gender
Alasan pertama menurut saya adalah kloset urinoir alias kloset berdiri di Indonesia itu masih bias gender. Kloset urinoir di Indonesia hanya bisa digunakan oleh laki-laki, tapi tidak untuk perempuan. Urinoir di Indonesia masih sangat patriarki. Itu sudah.
Usut punya usut, ternyata urinoir ini sebenarnya masih baru-baru saja ditemukan. Kisaran abad 19 atau 20. Masih sangat muda jika dibandingkan dengan kloset jongkok atau duduk yang sudah ditemukan di abad 16 atau 17.
Nggak tahu, deh. Desainnya saja itu patriarki banget. Semacam nggak ada inovasi untuk toilet perempuan. Kenapa nggak pada bikin inovasi semacam urinoir untuk membantu perempuan. Padahal ya, urinoir ini sukses mengurangi antrian di toilet laki-laki.
Oleh sebab itu, perempuan hanya bisa memanfaatkan ruangan kamar mandi. Makanya, antrian jadi mengular.
Padahal ya, di abad 20, sebenarnya sudah ditemukan kloset urinoir khusus perempuan. Bahkan, sekitar tahun 2000, kloset urinoir khusus perempuan sudah dapat ditemui di banyak toilet umum di Eropa.
Sebagai info, bentuk urinoir khusus perempuan ini hampir mirip dengan urinoir laki-laki. Namun, di bagian bawahnya lebih memanjang dan agak lebar dikit untuk menampung air seni. Jadi, si perempuan akan berdiri agak ngangkang alias meregangkan kaki ketika buang air kecil dengan urinoir khusus perempuan tersebut.
Jumlah ruang toilet sama dengan laki-laki
Alasan kedua adalah karena jumlah ruangan toilet perempuan dan laki-laki itu, terkadang, sama. Jika kamar mandi di laki-laki ada tiga, kamar mandi perempuan juga jumlahnya tiga.
Inilah keanehan, bahkan tidak berkeadilan gender. Mereka yang bikin itu apa nggak memikirkan realitas atau pengalaman berhajat laki-laki dan perempuan itu berbeda. Kenapa coba ruangan toiletnya dibangun dengan model dan jumlah yang sama?
Logikanya, toilet laki-laki ditunjang oleh urinoir. Jadi, jika di laki-laki ada tiga ruangan kamar mandi ditambah lima urinoir, setidaknya toilet laki-laki dapat menampung delapan orang. Hal ini nggak mungkin terjadi di toilet perempuan yang hanya diberi fasilitas tiga kamar mandi misalnya, tanpa urinoir.
Jadi, menurut saya, kalau nggak bisa memberikan fasilitas urinoir khusus perempuan seperti di Eropa, minimal, ruangan kamar mandinya itu ditambah. Jika di toilet laki-laki ada tiga ruangan kamar mandi, plus lima urinoir, toilet perempuan seenggaknya ada lima atau enam ruangan kamar mandi.
Pada akhirnya, akan sangat bijak ketika membangun sesuatu itu mempertimbangkan pengalaman penggunanya. Biar antrian di toilet perempuan nggak terjadi antrian panjang, paling minimal, adalah memperbanyak jumlah ruangan kamar mandi. Sama-sama enak, bukan.
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 5 Dosa Tak Terampuni Ketika Membangun Toilet Umum