Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Metamorfosis Nama Panggilan Orang Bima Abadi sampai Mati. Terminal Mulok #03

Ang Rijal Amin oleh Ang Rijal Amin
16 Maret 2021
A A
Metamorfosis Nama Panggilan Orang Bima Abadi sampai Mati. Terminal Mulok #03 mojok.co/terminal

Metamorfosis Nama Panggilan Orang Bima Abadi sampai Mati. Terminal Mulok #03 mojok.co/terminal

Share on FacebookShare on Twitter

Banyak orang tidak puas dengan nama pemberian orang tuanya. Biasanya karena nama tersebut dianggap ketinggalan zaman. Tak heran bila mereka di kemudian hari mengganti nama yang dianggap lebih keren dan sesuai dengan situasi zaman. Namun, lain dengan orang Bima dan saya akan jabarkan bagaimana ini bisa terjadi.

Motif aksiologis untuk dipanggil dengan nama yang lebih keren itu memang dipastikan sia-sia belaka di kalangan orang Bima. Setinggi apa pun derajat seseorang, sesakti apa pun ilmunya, dan sebesar apa pun usahanya agar dipanggil dengan nama yang “likulli zaman wa makkan”, niscaya semua itu akan berakhir dengan ketidakbergunaan di hadapan kenyataan bahwa nama-nama untuk mereka telah ditakdirkan secara kultural.

Bagi masyarakat Bima, nama-nama kelahiran itu tidak akan dipakai sampai mereka mati. Ada fase ketika kemudian orang-orang tidak akan mengingat nama mereka oleh sebab panggilan kultural yang berlaku. Meski tak pernah secuil pun membayangkan akan mengubah nama, tetap saja kelak suatu hari nama mereka akan berubah dengan sendirinya.

Dalam tradisi penamaan, sebetulnya nama-nama bagi anak yang lahir di Bima mirip-mirip saja dengan kebiasaan umat Islam di Indonesia memberi nama untuk anak mereka. Semacam Hasan Basri, Ahmad Ghazali, Nur Sabriani, Syamsiah, dan sebagainya.

Tidak ada yang aneh dengan nama-nama islami seperti di atas. Semuanya baik-baik saja, kecuali pada bagaimana orang-orang kelak akan memanggil nama mereka. Begitu para pemilik nama menginjak usia 30-40 tahun ke atas, maka konsekuensi aksiologis akan muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap pemilik nama.

Bak sangkakala mampet kena air, bunyinya senyap namun maknanya tertangkap penuh, di mana Hasan Basri secara otomatis hilang dari ingatan kolektif masyarakat. Bukan karena Si Hasan telah mati, melainkan karena nama itu dengan sendirinya berubah menjadi Heso. Pun, Ahmad Ghazali yang kemudian dikenal sebagai Gezo, Nur Sabriani lantas dipanggil Nau, Syamsiah kemudian akrab disapa Sei. Nama-nama itu, abadi sampai mereka mati.

Banyak yang merasa aneh begitu mendapati nama mereka tiba-tiba berubah sedemikian rupa. Betapa tidak, sekira tiga puluh tahun menghabiskan usia bersama nama yang tercantum dalam KTP, tiba-tiba saja nama itu raib begitu saja dan diganti dengan nama yang lain. Semacam Gregor Samsa yang bangun di pagi hari dan menemukan bahwa ia bukan lagi Si Gregor yang semalam. Kalau Gregor berubah menjadi kecoa, maka syukurlah orang Bima hanya mengalami perubahan atas nama.

Jika perubahan Hasan menjadi Heso dan Ghazali menjadi Gezo membuat Anda menangkap pola perubahannya. Maka buanglah jauh-jauh pikiran itu. Sebab sesungguhnya, tak ada rumus dari perubahan yang terjadi. Contohnya, Muhammad akan berubah menjadi Hima, Ismail menjadi Mo’i, dan Ibrahim menjadi Boa.

Baca Juga:

Orang Sunda Punya Aksen Paling Indah di Indonesia, Terdengar Lembut dan Merdu di Telinga Arek Suroboyo seperti Saya

Punya Aksen Medok di Jakarta Itu Dosa Besar, Otomatis Dianggap Manusia Kasta Rendah

Begitu pula kalau ditambahkan nama perempuan, seperti Zubaidah yang berubah menjadi Bodi, Siti menjadi Sita, dan Fatimah menjadi Tamu.

Teman sekolah saya, Raudhatul Jannah, bisa saja berpikiran mengubah namanya menjadi Jessica Jane agar tampak kekinian. Tapi, kelak akan tiba masa ketika orang-orang tetap memanggilnya sebagai Janu. Sebab, akan lebih sopan bila memanggil seseorang yang bernama Jannah maupun Jane sebagai Janu. Justru, terkesan lancang bila seseorang memanggil dengan nama aslinya. Kalau tidak kena tabok, ya kena cecar.

Perlu diterangkan, ada dua tahap perubahan nama orang Bima. Katakanlah reformasi dan revolusi. Nah, yang saya jelaskan di atas sebetulnya adalah revolusi. Sebelum itu, terdapat perubahan awal berupa reformasi.

Perubahan secara reformis ialah perubahan yang tidak berpengaruh signifikan, macam reformasi 98, di mana elit-elit bekas Orde Baru tetap berkuasa dengan bertransformasi menjadi oligarki. Wajah-wajah lama itu tetap dapat dikenali.

Begitu pula pada nama. Seperti Amin yang hanya berubah menjadi Ami, Akbar menjadi Akba, Ismail menjadi Sma’i. Reformasi ini adalah konsekuensi dari tindak tutur masyarakat Bima yang menghilangkan huruf akhir dari sebuah kata. Walaupun untuk beberapa nama terpaksa kehilangan bagian awal demi kemudahan pengucapan.

Hal demikian tidak saja berlaku untuk nama, melainkan segala hal. Contohnya, “astagfirullah” berubah menjadi “astagfirulla”, atau “ember” menjadi “embe”. Mirip dengan mengganti presiden, tapi mempertahankan pemilu berbiaya mahal, tidak akan mengubah banyak hal.

Sementara tahap kedua adalah revolusi, perubahan terjadi secara besar-besaran sebagaimana saya jelaskan di awal. Revolusi terjadi pada rentang umur tertentu, berbeda dengan reformasi yang terjadi sejak seorang bayi mendapat nama.

Apabila reformasi dianggap biasa-biasa saja, perubahan revolusioner terhadap nama justru dianggap sebagai sesuatu yang memalukan di awal abad ke-21 ini. Sebab terkesan kuno, mudah terkena ejek, dan membingungkan. Bayangkan saja ketika Bu Nurhayati dan Bu Fatimah berkenalan.

“Eh, Guru baru namanya siapa?”

“Nurhayati, Bu. Panggil saja Bu Tau.”

Lantas disambar Bu Fatimah, “Tau apa, Bu? Tahu segalanya? Jangan sok tahu deh.”

“Emang, ibu namanya siapa?” tanya Bu Tau.

“Saya sih Fatimah, dipanggil Bu Tamu.”

“Loh, kita kan lagi di sekolah, Bu. Dikira rumah saya apa, ya?”

Tiba-tiba datang seorang siswa bertanya, “Mejanya Pak Moa di mana ya, Bu?”

“Di sana,” jawab keduanya sembari menunjuk ke arah berbeda. Bu Tau menunjuk meja Pak Usman, dan Bu Tamu menunjuk ke meja Pak Arman—keduanya sama-sama dipanggil Pak Moa.

Siswa bernama Jakariah yang harusnya disapa Jaka tapi mengubah nama panggilannya menjadi Jack dan kelak tetap saja dipanggil Jeko itu mengernyit karena lupa nama asli Pak Moa Sosiologi itu siapa. Sementara Bu Tau dan Bu Tamu tertawa bersama-sama.

*Terminal Mulok adalah segmen khusus yang mengulas tentang bahasa dari berbagai daerah di Indonesia dan dibagikan dalam edisi khusus Bulan Bahasa 2021.

Sumber gambar: Laman Resmi Bima

BACA JUGA Cuan, Cengli, Cincai, dan Percakapan Encek-encek Hokkian Mix Jawa. Terminal Mulok #02 dan tulisan Ang Rijal Amin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 16 Maret 2021 oleh

Tags: bahasa daerahnama panggilanorang BimaTerminal Mulok
Ang Rijal Amin

Ang Rijal Amin

Tinggal di Facebook Ang Rijal Amin

ArtikelTerkait

Memahami Bahasa Medan Sehari-hari biar Kamu Nggak Ngerasa Digas

Mengenal Bahasa Medan Sehari-hari biar Kamu Nggak Ngerasa Digas

10 April 2020
Budaya Memanggil Gelar itu Sudah Final, Prof. Ariel Heryanto! terminal mojok.co

Budaya Memanggil Gelar itu Sudah Final, Prof. Ariel Heryanto!

4 Oktober 2020
Bahasa Palembang, Bahasa Daerah yang Gampang Dipelajari

Bahasa Palembang, Bahasa Daerah yang Gampang Dipelajari

8 November 2023
bahasa medan Kata 'Apa' dalam Konteks Bahasa Medan Itu Sakti dan Serbaguna terminal mojok.co

Kata ‘Apa’ dalam Konteks Bahasa Medan Itu Sakti dan Serbaguna

21 Februari 2021
Oh, Ternyata di Melawi 'Sungai' Disebut 'Laut' Terminal mojok

Oh, Ternyata di Melawi ‘Sungai’ Disebut ‘Laut’

7 Februari 2021
3 Alasan Bahasa Betawi Ora Layak Jadi Muatan Lokal di Depok terminal mojok.co

3 Alasan Bahasa Betawi Ora Layak Jadi Muatan Lokal di Depok

27 Desember 2021
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025
5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru Mojok.co

5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru

2 Desember 2025
Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang Mojok.co

Rekomendasi Tempat Jogging Underrated di Semarang, Dijamin Olahraga Jadi Lebih Tenang

3 Desember 2025
Lamongan Megilan: Slogan Kabupaten Paling Jelek yang Pernah Saya Dengar, Mending Diubah Aja Mojok.co Semarang

Dari Wingko Babat hingga belikopi, Satu per Satu yang Jadi Milik Lamongan Pada Akhirnya Akan Pindah ke Tangan Semarang

30 November 2025
Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang (Unsplash)

Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang dengan Pesona yang Membuat Saya Betah

4 Desember 2025
Saya Pengguna Setia Transjakarta dan Setuju kalau Tarifnya Naik asal 4 Hal Ini Terpenuhi Mojok.co

Saya Pengguna Setia Transjakarta dan Setuju kalau Tarifnya Naik asal 4 Hal Ini Terpenuhi

29 November 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.