Merayakan Satu Dekade Romantisme Saya dengan Pangkas Rambut Bang Salim

3 Kesamaan Garut dan Madura Selain Dikenal sebagai Penghasil Tukang Cukur terminal mojok.co

3 Kesamaan Garut dan Madura Selain Dikenal sebagai Penghasil Tukang Cukur terminal mojok.co

“Yang fana adalah waktu, pangkas rambut Bang Salim abadi.” Begitulah kira-kira plesetan puisi yang cocok karya Sapardi Djoko Damono untuk menggambarkan eksistensi Bang Salim dari waktu ke waktu.

Untuk yang tinggal di sekitaran Pademangan, Jakarta Utara, mungkin tidak asing lagi dengan tukang pangkas rambut kenamaan atau kami biasa panggil Bang Salim. Tukang pangkas rambut paling demokratis dan anti hierarki kelas sosial ekonomi.

Sampai saat ini, saya masih ingat betul bagaimana bentuk bangunannya. Bangunan yang sama sekali tidak ada tembok batu, semua serba triplek. Ah, ya, saya lupa, ada satu sisi yang bertembok batako untuk menggantung kaca, sisi yang memanfaatkan tembok bangunan di sebelahnyaーyang kalau tidak salah sebelum tempat itu menjadi bengkel motor, ia adalah warung madokur biasa saya beli rokok sembari menunggu giliran cukur.

Saya adalah langganan akut Bang Salim dalam waktu, yang kalau saya ingat-ingat mungkin sudah hampir satu windu lebih. Mulai dari model rambut paling rebel sampai model pesanan sekolah yang harus rapi dan sopan. Saya masih ingat betul pertemuan pertama saya dengan mesin cukur milik Bang Salim ini, mesin cukur yang akhirnya bertemu dua kali dalam dua jam. Sebab, waktu awal saya cukur memang gaya model rambut yang saya pilih adalah mohawk. Sebuah model rambut yang mungkin hampir semua anak sepantaran saya atau di atas saya pakai karena keracunan gaya rambut Ipang dan Nugie pada film Realita, Cinta Rock N’ Roll. Belum genap satu jam jadi punk kontemporer, ibu saya sudah teriak yang mungkin hampir satu kampung dengar.

“Otak lo di mana, hah? Masih SD nggak usah kebanyakan tingkah. Rambut segala lo gaya-gayain, cukur lagi tuh rambut, lo rapihin. Bocah kok banyak banget lagunya.” Begitulah kira-kira bunyi petuah sentimen ibu saya.

Karena anak Bang Salim adalah adik kelas saya, jadi saya sendiri sudah lumayan akrab. Kalau saya cukur rambut obrolan kami tidak jauh dari topik bola. Mulai dari tim sepak bola favorit dan obrolan pasti selalu ditutup dengan kata-kata orang tua kebanyakan; “Jangan banyak main, sekolah yang bener.” Dan jika saya beruntung, kadang harga cukur rambut bisa dikurangi dua ribu. Lumayan.

Seperti yang saya bilang di atas, Bang Salim adalah tukang cukur paling demokratis dan anti hierarki. Etos kerjanya nggak pandang jabatan, dia bakal tetap suruh antre buat siapa pun. Entah mereka datang pakai mobil atau jalan kaki, kecuali sudah booking antrean tempat via telepon.

Pangkas rambut Bang Salim sudah lumayan banyak bikin perubahan tarif. Ia juga pernah suruh orang buat bantu-bantu dia, tapi nggak bertahan sampai seminggu. Pasalnya, orang-orang lebih pilih antre buat di tanganin sama Bang Salim ketimbang rekan profesinya, pun saya, karena skeptis aja sih. Jadi, karena ada penambahan tenaga kerja nggak punya pengaruh banyak, ya mau nggak mau akhirnya Bang Salim terpaksa harus berhentiin rekannnya.

Sudah hampir dua tahun setelah lulus sekolah dan bulatin tekad buat gondrong, saya lumayan rindu suasana pangkas rambut Bang Salim yang setiap saya cukur selalu punya niat buat tanya: Apa profesi dia selain jadi tukang cukur? Dan kenapa dia selalu pakai jersey Manchester United KW tahun 2007 tiap service pelanggan?

Pernah di waktu tertentu saya tanya apa kiat-kiat dia soal usaha pangkas rambutnya yang panjang umur. Caranya sederhana kata beliau, “Yang paling penting doa, Mas. Jangan lupa jujur sama selalu senyum aja, terus buat tambahan, sih, saya mulai belajar buat nggak geli sama kutu hehehehe.”

Sebagai seorang pelanggan setia, di mata saya Bang Salim adalah lelaki yang kepalang baik. Andai dia termasuk orang yang punya nasib lebih beruntung dari sekarang, seorang filantropis seperti beliau seharusnya hari ini sudah menjadi aparatur negara yang nggak segan buat bantuin kawanan bebek nyebrang jalan. Tapi apa mau dikata, usut punya usut, beliau lebih senang jadi dirinya hari ini, bikin banyak teman katanya.

Apa pun dinamika hidup yang dilewatin Bang Salim yang udah bawa dia sampai puncak karier sebagai tukang cukur profesional skala lokal paling terkenal, saya cuma kasih pesan, “Bang, kalau sediain koran, tolong jangan yang kedaluwarsa satu hari.”

BACA JUGA Tukang Pangkas Rambut Berpenghasilan 45 Juta Tiap Bulan: Makanya Jangan Suka Menyepelekan Pekerjaan Orang atau tulisan Muhammad Muslim lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version