Merayakan Idul Adha sebagai Minoritas di Jepang

Merayakan Idul Adha sebagai Minoritas di Jepang terminal mojok

Sudah mulai banyak pedagang kambing yang berjualan di pinggir jalan itu menandakan bahwa Idul Adha sebentar lagi. Meski nggak beli, saya suka memperhatikan kambing yang gemuk-gemuk itu. Ada yang kambing Jawa (warna hitam atau cokelat), ada yang gembel (warna putih). Kambing-kambing baik, sebentar lagi mereka jadi uang buat peternaknya.

Banyak yang protes keputusan pemerintah yang menyuruh kita beribadah dan merayakan Idul Adha di rumah saja. Tahun lalu saja kita sudah terpaksa nggak salat hari raya di masjid atau lapangan karena pandemi. Tahun ini kali kedua. Sepertinya PPKM darurat yang katanya akan diperpanjang juga akan melarang umat muslim berkerumun salat hari raya. Apa boleh buat? Untung salat Idul Fitri kemarin masih boleh ya, setidaknya bisa mengurangi rindu berhari raya seperti biasa yang kita lakukan sebelum pandemi.

Sebenarnya beribadah hari raya di rumah itu sudah biasa bagi para minoritas muslim di negeri rantau. Hari raya tak berarti spesial. Sebagai orang yang pernah merantau ke negeri minoritas muslim, saya akan bercerita tentang beberapa pengalaman saya di Jepang.

Hari raya bukan hari libur

Di Jepang, nggak ada hari libur nasional yang berhubungan dengan agama. Nggak ada hari libur Natal, Idul Fitri, atau hari raya agama lainnya. Kalau kebetulan hari raya jatuh pada hari kerja, itu berarti beraktivitas seperti biasanya. Kerja ya kerja, kuliah ya kuliah. Sesederhana itu. Paling mentok ya salat sendiri atau bersama keluarga di kos/asrama. Kalau ada teman, ya bisa bareng-bareng.

Kalau bisa izin/ cuti perusahaan untuk salat hari raya, ya izin. Kalau nggak bisa, ya sudah kerja biasa. Kalau anak kuliah sih masih mending bisa pakai jatah bolosnya untuk bisa ikut berhari raya.

Di negeri minoritas muslim seperti Jepang—terlebih di kota kecil—mana ada masjid atau perkumpulan yang bisa berjamaah. Mana bisa bersukacita merayakan hari raya bersama yang lain seperti di kampung halaman Indonesia.

Untuk bisa salat Jumat di masjid saja, setiap minggu kami harus menempuh perjalanan lebih dari satu jam dan harus ganti kereta. Kami juga mengeluarkan biaya transportasi sekitar 2500 yen (325 ribu rupiah). Coba bisa digowes, kami juga mau. Sayangnya terlalu jauh.

Jamaahnya pun bukan dari Indonesia saja, tetapi ada yang dari Pakistan, Bangladesh, Malaysia, Mesir, dll. Biasa kami saling memanggil brother atau sister.

Beda kalau di Tokyo, Indonesia sudah membangun masjidnya sendiri. Lumayan bisa mengobati kerinduan dengan berjamaah di sana.

Di wilayah Kansai, biasanya KJRI (perwakilan Pemerintah Indonesia) mengadakan salat hari raya Idul Fitri. Hanya Idul Fitri ya, Idul Adha nggak. Di masjid? Bukan, di sebuah gedung yang disewa khusus. Biasanya dengan aturan yang sangat ketat. Nggak boleh gaduh. Disarankan sudah wudu sebelum berangkat. Pembuangan sampahnya juga disesuaikan dengan aturan Jepang. Cukup ribet, tapi setidaknya mengobati kerinduan berkumpul sesama diaspora di sana. Setelah salat, biasanya ada ceramah ustaz dan pembagian kotak makan masakan Indonesia gratis.

Itu terjadi sebelum pandemi, sih. Saya yakin sekarang pasti nggak diperbolehkan seperti itu.

Merasakan hidup sebagai minoritas

Selain soal salat hari raya, hal yang paling agak mustahil dilakukan adalah penyembelihan hewan kurban. Di Jepang, penyembelihan hewan (seperti ayam, sapi, babi) itu wajib dilakukan di tempat jagal hewan. Di rumah sendiri saja nggak bisa, lho. Jadi, nggak bisa sembarangan menyembelih hewan di dekat masjid dengan alasan agama sekalipun.

Berarti nggak mungkin ada? Ya ada. Pernah ada jamaah yang meminta izin untuk menyembelih tetapi prosedurnya sangat rumit, termasuk minta izin ke pemerintah daerah jauh-jauh hari sebelumnya. Saat penyembelihan saja dijaga polisi. Pembuangan sampahnya juga harus benar-benar diperhatikan. Ribet banget.

Meski sebenarnya bisa-bisa saja dilakukan, mungkin penyembelihan ini lebih baik nggak dilakukan saja, sih. Bagaimanapun juga image sebagai minoritas muslim juga harus dijaga demi keselamatan bersama. Stereotip sebagai orang asing sudah cukup membuat tertekan, apalagi kalau ada stereotip miring lagi soal Islam. Sekiranya nanti ada tempat jagal hewan milik muslim, mungkin bisa lah menyembelih di sana sesuai aturan pemerintah.

Selain soal penyembelihan, azan dan takbir juga nggak boleh dilakukan dengan menggunakan pengeras suara. Bisa menyebabkan polusi suara. Memang benar sih, kalau nggak kepepet banget, menyalakan klakson mobil saja sangat jarang terjadi di Jepang. Benar-benar menjaga kenyamanan bersama.

Makanya kemarin pas heboh Zaskia mengomentari soal takbiran dengan pengeras masjid, saya teringat zaman rantau dulu. Itulah hebatnya mayoritas, apa-apa semacam boleh dilakukan. Menjadi mayoritas itu terkadang memang jadi seenak sendiri, padahal ada minoritas yang sama-sama punya hak.

Rendang

Kalau pengin makan rendang saat Idul Adha atau Idul Fitri tiba gimana, dong?

Ya, telepon Ibu biar dikirimin. Fotonya doang tapi, hehehe. Bisa bikin sendiri kok sebenarnya. Daging sapi halalnya bisa beli di toko Asia yang banyak jual daging halal dan bumbunya pakai bumbu instan. Rasanya memang gak se-asoy bikinan Ibu, tapi mau bagaimana lagi. Masih mending sekarang banyak toko online yang menjual makanan, daging, dan bumbu halal. Dulu harus pergi ke masjid dulu, baru bisa belanja.

Hah, masjid? Iya, biasanya di dekat masjid ada toko halal. Di dekat masjid Kobe memang ada toko yang menjual berbagai makanan halal. Harganya kalau dibilang murah, ya nggak, kalau dibilang mahal, yaaa mau bagaimana lagi. Tempe saja 1000 yen (130 ribu rupiah) hanya dapat 3 biji. Per bijinya sama besarnya dengan tempe yang dijual 3000-an di warung sayur dekat rumah. Mi instan juga 100-an yen (13 ribu rupiah). Itu belum yang lain, ya. Cuma mau bikin sambal tempe dan mendoan saja harus merogoh kocek dalam. Duh.

Kalau susah mencari makanan halal, mau nggak mau harus memasak sendiri. Tapi, sekarang juga bermunculan restoran Indonesia, kok. Restoran dengan konsep warteg dan angkringan juga sudah ada, lho, di Jepang. Jadi, untuk urusan rendang, opor, dan masakan Indonesia lainnya masih bisa diusahakan.

Saya yakin di negara minoritas Islam lainnya, para muslim juga merasakan apa yang saya rasakan. Mau di Eropa, Amerika Selatan, Asia Timur, bahkan mungkin di Afrika, minoritas muslim harus bisa beradaptasi menjadi orang yang bisa tetap menjalankan perintah agama sekaligus menjaga hubungan baik dengan warga sekitarnya. Sepinya hari raya, beratnya puasa dan tarawih karena sendiri dan perbedaan waktu yang kadang cukup wow, dan mencari makanan halal adalah perjuangan tersendiri. Tapi di situlah kita belajar bahwa menjadi minoritas itu adalah salah satu bentuk keahlian yang harus diasah agar kita menjadi manusia yang lebih manusiawi. Eh.

BACA JUGA 5 Kelompok Warga dan Tugas Mereka Saat Penyembelihan Hewan Kurban dan tulisan Primasari N Dewi lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version